Senin, 30 November 2009

Pengabdian Sang Security


Pahlawan tanpa tanda jasa selama ini melekat erat pada para tenaga pendidik, namun bukan kritikan bila pengabdian mereka masih mendapat imbalan jasa yang cukup setimpal atas jasa-jasa mereka. Berbeda dengan nasib anggota Pertahanan Sipil (HANSIP), hanya dengan imbalan seragam hijau-hijau, sepatu hitam, dan tongkat yang menjadi kebanggaannya, mereka dengan sukarela menjalankan tugasnya membantu aparat keamanan menjaga ketertiban masyarakat. Berikut ini kisah Hiron Bamunti, salah seorang anggota Hansip asal Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Tempaan alam yang keras tampak tergambar pada raut muka yang keriput dan tampak lebih tua dari usia sesungguhnya dari pria kelahiran Oksibil 40 tahun silam ini. Menjalani masa kecilnya, sama seperti anak-anak pegunungan Papua lainnya, dengan kondisi alam yang keras, Hiron tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan tabah serta tahan terhadap semua kesulitan hidup yang menimpanya. Perannya sebagai Hansip dimulai sejak tahun 1975, pada saat itu Hiron masih berumur tujuh belas tahun.Tugasnya sebagai Hansip dimulai dengan ikut andil dalam membantu pemerintah membuka kampung-kampung dan distrik-distrik baru di daerah Pegunungan Bintang. Bukan pekerjaan mudah melaksanakan tugas ini karena ia mesti berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dengan kondisi alam yang terjal dan berbukit bersama petugas lainnya.
Sebuah pengalaman tidak terlupakan baginya pada tahun 1989, ketika ia dan beberapa temannya berangkat ke wilayah negara tetangga Papua Nugini (PNG) untuk membujuk ratusan penduduk yang menyeberang kesana akibat kesulitan perekonomian serta ketakutan akibat tuduhan sebagai anggota GPK. “Waktu itu daerah kami menjadi daerah operasi militer, sehingga banyak penduduk yang melarikan diri kesana (Papua Nugini-red), karena takut,” kenang Hiron. Di sana Hiron dan teman-temannya mesti berjuang keras meyakinkan mereka untuk pulang ke kampung halamannya. “Setelah saya dan teman teman menjelaskan bahwa mereka telah keliru, karena lari tidak menyelesaikan masalah dan tidak perlu takut dengan tentara, akhirnya mereka mau kembali ke kampung halamannya,” ujar Hiron. Menurut Hiron, Ia dan teman-temannya tidak pernah mendapat maupun mengharap penghargaan atas jasa-jasa mereka tersebut. “Kami hanya membantu dengan ikhlas, dan tidak berharap diberi imbalan jasa, atau penghargaan. Penghargaan yang paling indah itu asalnya dari Tuhan,” kata pria berpostur kecil ini.
Tahun 2003, setelah pemekaran Kabupaten Pegunungan Bintang dari Kabupaten Puncak Jaya, akhirnya Hiron ditugaskan sebagai penjaga keamanan di kantor DPRD, Kabupaten Pegunungan Bintang, dengan gaji sebesar Rp1.500.000. Menurutnya gaji sebesar itu tidak mencukupi untuk ukuran Oksibil saat itu. (Sebagai perbandingan saat ini harga semen di Kabupaten Pegunungan Bintang mencapai Rp1.200.000/sak, sementara harga bensin sebesar Rp40.000/liter).
Lima tahun bertugas di Kantor DPRD, akhirnya pada awal tahun 2009 ia kemudian di tugaskan untuk menjaga keamanan di kantor Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang. Keikhlasan, dan pengabdian, serta loyalitas diperlihatkan Hiron dan kawan–kawannya yang lain seperti Paulus Abintamo, Anton Abintamo, Leo Mimin, serta Salsan anjing setianya, mengamankan aula kantor Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang, lokasi dimana berlangsungnya Rakerda dan Musrenbang daerah. Setiap pagi sebelum pukul 08.00 WIT, Hiron harus memimpin rekan-rekannya membersihkan halaman aula, selanjutnya mereka mesti stanby di pos masing-masing, di setiap sudut kantor Bupati selama kegiatan berlangsung sampai berakhir pada pukul 20.00 WIT.
Tidak hanya sampai disitu ketulusan yang di tunjukkan Hiron. Bersama pemilik tanah adat Betkum Uropdana lainnya, mereka dengan sukarela menyerahkan tanah adat tersebut untuk dijadikan arel pembangunan kantor bupati Kabupaten Pegunungan Bintang.

Berjuang untuk keluarga
Di sela himpitan ekonomi Hiron juga tidak tidak pernah menyerah pada keadaan. Tekadnya untuk memperbaiki nasib keluarganya ditunjukkan dengan perjuangannya menyekolahkan anaknya yang berjumlah enam orang. Hanya dengan bekerja sebagai petani sayur-sayuran, jagung dan ubi-ubian, Hiron bersama sang istri, Basylia Kasibmabin mampu menyekolahkan semua anaknya, tanpa bantuan orang lain. Lewat perjuangan kerasnya, saat ini salah seorang anaknya telah bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil pada dinas pertanian Kabupaten Pegunungan Bintang. Saat ini Hiron dan Basylia masih harus menanggung beban biaya kuliah dua orang anaknya. Tidak tanggung-tanggung, salah seorang anaknya saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester lima salah satu perguruan tinggi di Jakarta, sementara seorang lagi duduk dibangku kuliah semester dua di salah satu perguruan tinggi di Jayapura. Selain itu salah seorang anaknya saat ini masih duduk dibangku sekolah SMU di Jayapura, sementara kedua anak lainnya duduk di bangku SD. “Semua ini terjadi karena pertolongan Tuhan. Saya sangat berharap salah seorang anak saya bisa menjadi seorang polisi, karena bagaimanapun saya sudah bertekad untuk menjadikan anak saya lebih baik dari saya, dan saya tidak akan menuntut balas atas semuanya” kata pria yang dulunya bercita-cita jadi polisi ini. Yepmum, Telepe, Asbe, Labmum, Jelako.(R3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar