Rabu, 25 November 2009

Balada: Abraham Wukah



Hidup sebatangkara jauh dari tanah kelahiran dan sanak famili bagi sebagian orang mungkin lazim, dan bukan sebuah persoalan. Namun apa jadinya bila penderitaan tersebut ditambah oleh kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk menjalani hidup
Abraham Wukah yang akrab disapa Bram misalnya. Sosok laki-laki asal pedalaman Wamena ini tergolong manusia bertekad baja. Sejak tahun 2002 Bram mesti berjuang sendiri menghidupi dirinya, tanpa tanpa bantuan orang lain di dengan kodisi cacat pada kakinya, dikota Jayapura. Menurut Bram cacat itu harus diterimanya sejak masih bayi, ketika ia baru berumur satu minggu. Dari cerita yang diperolehnya dari sang ibu Kumeh, waktu masih bayi ia terjatuh dari bale-bale buatan ayahnya, sehingga harus mengalami patah tulang kaki. Seorang dokter yang berasal dari Belanda mengusulkan untuk mengamputasi kakinya, namun karena kedua orang tuanya tidak tega, akhirnya Bram mesti tumbuh dengan kaki kirinya yang tidak normal, sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
Warisan sang ayah dan siksaan ibu tiri
Ayah Bram, Waukmo ternyata tidak berumur panjang. Karena sakit, ia kemudian meninggal dunia, di saat Bram masih sangat kecil yang tidak mengerti apa-apa. Walaupun ayahnya mempunyai harta warisan yang tidak sedikit untuk ukuran pedalaman, namun tetap saja kebahagiaan tersebut tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh Bram. “Dahulu bapak saya memiliki banyak kebun seperti kopi, kacang, kedelai, kebun sayur, bahkan beternak sapi,” ungkapnya. Bukan hanya sampai disitu penderitaan Bram. Perebutan harta warisan sang ayah oleh ibunya dengan ibu tirinya, sering melibatkan dirinya menjadi korban amarah. “Saya sering dimarahi ibu tiri, bahkan saya pernah dilempar dengan bara api waktu saya baru berumur empat tahun,” kenang Bram.

Hijrah ke Jayapura
Menjalani masa kecilnya, tanpa kasih sayang sang ayah, membuat Bram seperti kehilangan arah hidupnya. Apalagi sanak familinya tidak peduli lagi dengannya. Sempat mengecap bangku sekolah hingga kelas tiga Sekolah Dasar, Bram mesti rela berhenti sekolah karena terbentur biaya serta kehidupan keluarga yang morat-marit. “Waktu itu kehidupan sangat susah. Untuk makan aja terkadang saya harus mencuri kacang dan batatas (sejenis ubi), dari kebun orang lain untuk sekedar menahan lapar. Namun kondisi ini tidak membuatnya patah arang. Tahun 2002, tepatnya saat ia berumur tujuh belas tahun Bram memutuskan untuk mengadu nasib ke Jayapura. Namun bukan persoalan gampang mewujudkan niatnya tersebut, karena perjalanan dari Wamena ke Jayapura harus ditempuh dengan pesawat terbang, sementara ia sendiri tidak memiliki biaya tiket, yang tergolong cukup mahal. Bram tidak putus asa. Demi tekad bulatnya tersebut ia memberanikan diri menghadap petugas bandara untuk meminta bantuan untuk memperoleh surat jalan. Bram sunguh beruntung, dan atas kebaikan dari petugas bandara, Bram akhirnya diijinkan naik pesawat tanpa membayar sepeser pun.

Sebatangkara
Setibanya di Abepura, Bram harus menghadapi kesulitan yang tidak kalah peliknya. “ Waktu itu saya bingung mau tinggal dimana. Saya akhirnya meminta ijin ke pihak Gereja Bethel Jemaat Gunung Kemuliaan, Abepura untuk tinggal di gedung gereja, sambil membantu menjaga dan memelihara kebersihan gedung gereja. “ Saya menjaga gedung gereja sambil mencoba mencari pekerjaan,” katanya. Tahun 2005, Bram kemudian diterima bekerja di perusahaan penerbangan MAF (Mission Aviation Fellowship), di Sentani. “ Saat itu saya bekerja sebagai tukang cuci mobil perusahaan, dengan penghasilan sebesar dupuluh ribu rupiah per hari, namun pekerjaan itu tidak dijalani setiap hari. Terkadang hanya dua kali seminggu sehingga hasilnya jelas tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Pekerjaan ini terus saya lakoni hingga dua tahun,” katanya lagi.

Loper koran
Tahun 2007, sekali lagi Bram mendapat pukulan berat. Bagai petir disiang bolong ia mesti menerima kabar kepergian sang ibu untuk selama-lamanya. Bram sempat pulang ke Wamena untuk memberi penghormatan terakhir bagi ibunda tercinta, bahkan sempat pula membuat sebuah kolam ikan, yang dipercayakan kepada saudaranya. Sekembalinya dari sana bungsu dari tujuh bersaudara ini kemudian beralih profesi sebagai penjual koran, tabloid, dan majalah. “Lumayan saya memperoleh keuntungan Rp1.600 sampai Rp5.000 per eksempelarnya,” akunya. Dari hasilnya bekerja sebagai loper inilah Bram berhasil membangun sebuah gubuk berukuran tiga kali empat meter disamping gedung gereja. Bahkan ia bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. “Jika saya sudah punya banyak tabungan saya berniat membuka usaha, namun belum tahu usaha apa yang potensial,” katanya optimis. Setiap harinya Bram bisa menghasilkan keuntungan hingga dua ratus ribu rupiah. “Saya tidak mampu menyewa rumah kost, sehingga untuk menghemat saya mendirikan gubuk ini untuk menetap,” ujar Bram. Setiap pagi kira-kira pukul 06.00, Bram sudah berangkat dari kediamannya ke tempat mangkalnya di depan pintu masuk Saga Mall Abepura, dibantu kedua tongkat besi rancangannya.
“Terkadang bawaan berat jadi saya terpaksa naik ojek,” timpal Bram. Pukul 12.00, Bram kembali ke gubugnya untuk makan siang sekaligus melepas lelah hingga pukul 16.00. Ternyata pekerjaan ini dirasa cocok sehingga Bram tidak berniat mencari pekerjaan lain. Di lingkungan tempat tinggalnya, maupun tempat kerjanya ia cukup disenangi rekan-rekannya, karena memiliki kepribadian yang sopan.

Melayani Tuhan lewat musik
Menurut Bram ia tidak pernah mendapat perhatian dari kerabatnya yang ada di kota Jayapura, namun ia tidak pernah dendam terhadap mereka. “Saya tetap optimis walaupun mereka tidak peduli dengan saya. Saya juga tidak dendam sama orang-orang yang pernah menyakiti saya disana (Wamena –red). Jadi semuanya saya serahkan sama Tuhan,” kata lajang berumur 25 tahun ini. Tinggal di lingkungan gereja tdak disia-siakan Bram. Ia selalu menyempatkan waktu senggangnya untuk berlatih musik secara otodidak. “ Saya belajar keyboard sendiri tanpa bimbingan khusus. Syukurlah saat ini saya sudah bisa mengiringi jemaat yang beribadah, dan itu anugerah Tuhan yang luar biasa bagi saya,” tandasnya.
(Pat/CR 8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar