Sabtu, 31 Juli 2010

FOJA Edisi 26 / VI / 2010

Hukuman Mati Bagi
Koruptor?


Papua, anak emas dari timur. Agak sombong, maklum alamnya kaya raya. Elok nian orang dan panoramanya. Pekik merdeka bikin Jakarta ketar-ketir. Otonomi khusus (Otsus) diberi. Triliunan rupiah dikucur. Korupsi merajalela. Pejabat dan keluarganya mandi uang dari pancuran korupsi. Jelata berebut dari yang menetes. Kemiskinan mengental. Kemelaratan menggumpal. Lantas hukuman macam apakah yang pantas bagi si koruptor? Kepada Julian Howay dari FOJA Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih mengupasnya secara lugas dan tuntas bagi pembaca sekalian. Selamat mengikuti...!!!

Seperti apa Anda melihat fenomena korupsi di Papua?
Dari konteks ketatanegaraan kekuasaan itu cenderung korup. Power tend to corrupt, kata Lord As ton. Jadi , kekuasaan i t u cenderung disalahgunakan orang. Itulah yang sebenarnya membuka ruang terjadinya korupsi. Untuk konteks pemberantasan korupsi di Papua, hingga kini saya lihat belum maksimal. Padahal, meski cakupan wilayah Papua begitu luas, namun yang lakukan korupsi hanya segelintir orang. Sepertinya ada kesepakatan-kesepakatan dalam tanda petik. Seharusnya itu tidak perlu dilakukan antara koruptor dan aparat penegak hukum. Saya lihat ada kasus korupsi yang mestinya diproses hukum, tapi faktanya tidak. Tidak ada tindak lanjut secara normatif.

B a g a i m a n a d e n g a n akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua?
Sa y a l iha t a kunt a b i l i t a s (pertanggung jawaban) publik, secara umum di Indonesia, lebih khusus di Papua memang masih rendah. Karena akuntabilitas itu berkaitan dengan partisipasi. Maka akuntabilitas tidak boleh berdiri sendiri. Harus ada partisipasi rakyat yang tinggi. Kalau tidak ada partisipasi dalam penyelenggaraan kekua s a an, bi s a dika t aka n akuntabilitas pemerintah tidak berjalan baik. Pertanyaannya, apakah pejabat kita terbuka? Soalnya, kalau berbicara uang, pasti gelap semua. Tidak ada akuntabilitasnya.


Lalu kinerja Inspektorat dan BPKP sendiri seperti apa?

Ba g i s a y a b a d a n pengawasan internal , seperti Inspektorat (dulu: Bawasda-red) itu bukan pengambil keputusan akhir, lho. Badan ini sifatnya hanya memberi rekomendasi. Keputusan t e r a k h i r a d a p a d a gubernur. Dalam konteks p e n e g a k a n h u k u m untuk memberantas ko rups i , menurut saya Inspektorat itu t idak ada gunanya. Pertanyaannya, apakah I n s p e k t o r a t b i s a melanjutkan temuannya? Karena suatu temuan bisa ditindaklanjuti atau tidak tergantung gubernur. Saya kira kita masih sulit. Intinya sapu kotor tidak mungkin bisa membersihkan lantai. Begitu juga soal transparansi. Mestinya hasil temuan badan pengawas tidak ditutup-tutupi. Ini dalam rangka keterbukaan, demokratisasi, partisipasi dan akuntabilitas. Masakan menyangkut uang rakyat/ publik kok dirahasiakan. Yang bisa menjadi rahasia hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Kalau soal akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan p e n g g u n a a n a n g g a r a n , rahasia apa yang mau disembunyikan? Di negara-negara maju tidak seperti itu, hanya di negara kita saja yang seperti ini.

Kabarnya pemekaran wilayah menjadi celah pejabat lakukan korupsi. Menurut Anda?
Sederhana saja. Kalau kita bicara korupsi, maka yang korupsi sebenarnya siapa? Pasti, pejabat. Korupsi tidak dilakukan masyarakat. Pejabat, penguasa, pengambil keputusan, itulah pelaku korupsi. Terlepas dari apakah mereka berkomplot dengan pihak lain, tapi intinya pasti pejabat. Kenapa pemekaran itu bisa menimbulkan kemungkinan korupsi? Nah, sederhana saja. Dari evaluasi nasional menunjukkan bahwa belanja aparatur di Indonesia lebih besar ketimbang belanja publik (rakyat). Bahkan ada beberapa daerah sampai 98 persen dari APBD hanya untuk aparatur. Berarti hampir tidak ada pembangunannya. Gaji rata-rata dari APBD di Indonesia, termasuk Papua adalah 57 persen untuk gaji birokrat ditambah tunjangan operasionalnya sebesar 17 persen. Itu berarti semuanya berjumlah 74 persen untuk birokrasi. Sangat disayangkan karena rakyat tidak dapat apa-apa. Makanya saya secara pribadi cenderung tidak begitu setuju adanya pemekaran. Karena uangnya tidak selalu untuk kesejahteraan rakyat, tapi beralih untuk birokrasi.

Sejumlah pejabat diindikasi terlibat kasus korupsi. Tapi kenapa proses hukumnya belum jelas?
Saya ki ra per tanyaannya buntu. Karena apa? Memang sejauh ini ada temuan kasus-kasus korupsi di Papua yang sudah diproses hingga ke kejaksaan dan pengadilan. Tapi ada yang berhenti di tengah jalan. Pertanyaannya kenapa berhenti dan tidak lanjut? Saya juga tidak tahu persis, tapi mudah-mudahan bisa dilanjutkan. Saya kira inilah model-model penegakan hukum di Indonesia dan bukan hanya di Papua. Bisa dikatakan, proses penegakan hukum bisa dinegosiasi. Itu faktanya. Ka l au memang sudah tersangka kenapa lama prosesnya. K e n a p a t i d a k di tangkap atau di tahan dan seterusnya diproses ke pengadilan? Ini berarti ada pendekatan-pendekatan di luar hukum.

Kenapa temuan kasus korupsi sul i t di telusur i bi la mat a rantainya melibatkan aparat penegak hukum?
Ya. Kalau secara umum, memang tidak mudah menangani kasus korupsi semacam itu. Sering terjadi kebuntuan kalau kita bicara keterkaitan antara pelaku korupsi dengan aparat penegak hukumnya. Secara pribadi, saya sangat susah untuk mengatakan bahwa kasus semacam itu harus diapakan. Tapi menurut saya, harus dipotong generasi di jajaran birokrasi yang korup, termasuk dalam jajaran penegak hukumnya. Sebab kalau yang tua sudah korupsi, maka akan susah cari yang bersih. Saya tidak setuju kalau korupsi hanya dibilang melibatkan oknum, padahal sifatnya sudah sistem. Karena bukan hanya oknum, tapi sistem kita di Indonesia memang korup. Kalau sistemnya baik, tapi manusianya yang korup, ada kemungkinan sistemnya bisa diperbaiki. Masalahnya, sistemnya sudah korup, manusianya juga korup, maka sempurnalah korupsi itu. Ini memang susah, karena itu untuk mengatasinya harus ada potong generasi. Namun, di level generasi ke berapa yang harus terpotong. Ini tidak mudah.

Apakah hukum bisa memberi efek jera pada koruptor?
Saya ki ra secara normat i f hukuman sudah cukup tegas. Bila perlu koruptor dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Tapi faktanya, sejarah di Indonesia menunjukkan hukuman paling lama terhadap pelaku korupsi hanya 6 tahun dan dendanya tidak seberapa. Pertanyaannya kenapa seperti itu dan tidak dipakai maksimal? Tergantung lagi penyidiknya, kenapa hanya 6 tahun? Padahal mereka sudah korupsi miliaran rupiah. Malahan mereka juga dipotong masa tahanannya. Kenapa tidak pakai maksimal? Ini menunjukkan putusan-putusan pengadilan terhadap kasus korupsi masih sangat rendah. Pastikan hukuman mati karena korupsi adalah kejahatan luar bisa.


Maksud Anda menghadapi koruptor harus tegas?

Ya. Yang perlu kita pahami bahwa menyelesaikan peristiwa hukum tidak selamanya harus melalui proses hukum. Karena masih ada hal-hal lain di luar proses itu. Namun, dalam konteks korupsi dan karena ini sifatnya kejahatan luar biasa, harus ada contoh yang bisa menjadi perbandingan. Lihat saja di Cina, kenapa mereka bisa berantas korupsi? Itu karena pemimpinnya bilang, kalau saya yang korupsi saya langsung dihukum mati. Beranikah pejabat Indonesia katakan seperti begitu? Mereka hanya bilang kita buat pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tapi tidak ada yang berani katakan seperti para pemimpin di Cina. Misalnya, kalau dia terbukti korupsi langsung ditembak mati. Kenapa Cina bisa, kita kok tidak bisa. Menurut Mochtar Lubis, ciri manusia Indonesia pertama adalah hypocrite atau munafik. Kalau pejabat dan penguasa itu pura-pura (munafik), berarti secara filsafat manusianya tidak tulus dan jujur. Karena pejabatnya tidak tulus dan jujur, maka ada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Sebaliknya, kalau pejabat itu memberi teladan dengan tulus dan jujur, tentu korupsi tidak akan terjadi.

Koruptor dijatuhi hukuman mati?
Sebenarnya sederhana. Harus dibuat peraturan (norms) yang baik. Artinya peraturan itu bisa membuat pejabat berperilaku yang baik. Itu yang tidak ada selama ini. Kalau sudah ada peristiwa hukum dalam konteks korupsi, apa yang harus dilakukan? Itu berarti kembali ke penegak hukumnya. Ada kewenangan dan tupoksi yang telah dimiliki masing-masing aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Ke j aks a an dan Peng adi l an. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan tugasnya dengan baik? Kalau dalam konteks Papua, saya amati pelaksanaannya belum maksimal. Menurut saya, di samping potong generasi yang korup, harus ada pejabat yang dihukum mati (death sentence) untuk membuat efek jera dan perubahan. Ini sebenarnya bisa dilakukan, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya lewat pesan moral. Sebab, kita masih tetap juara dunia dalam korupsi. Itu persoalan, jadi tidak cukup lewat pesan moral. Kalau pesan moralitas tidak efektif, berarti harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. (Tim Fokus Foja)

Fokus FOJA Edisi 26 / VI / 2010



Benarkah Kekejutan Budaya Jadi Jerat Korupsi?


Korupsi di Tanah Papua kian ganas dan brutal. Miliaran hingga triliunan rupiah dana rakyat masuk ke kantong-kantong pribadi. Benarkah kecenderungan korupsi di Papua karena kentalnya hubungan timbal balik dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli Papua? Ataukah ini akibat keserakahan para petinggi Papua yang tak terkendali?
Elok nian Tanah Papua. P a n o r ama n y a i n d a h menawan. Budayanya unik dan khas. Orang-orangnya polos, jujur, tulus dan santun. Rasanya sulit dipercaya bila kini Papua dianggap sebagai sarang koruptor. Para pejabat seolah-olah berlomba mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri dan keluarganya, membiarkan mayoritas rakyat Papua tetap terbelenggu kemiskinan.


A n t r o p o l o g U n i v e r s i t a s Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Drs. Frans Apomfires, MA, mengatakan orang Papua sesungguhnya hidup dalam adat budaya yang kuat. Mereka dididik dengan budi pekerti, moralitas, menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebenaran dan kesetiaan.

Itu sebabnya pada masa silam bangsa Belanda mempercayakan orang Papua duduk dalam pemerintahan. Karena santun, jujur, baik pula pekertinya menyebabkan mereka mendapat kepercayaan untuk tanggung jawab lebih besar. Begitu pula ketika sudah bersatu dengan Indonesia, putra-putri Papua mendapat kepercayaan menempati posisi penting dalam pemerintahan.

Menurut Apomfires yang mula-mula terlibat dalam pemerintahan, baik pada jaman Belanda maupun awal bersama Indonesia baru sebatas orang asli Papua dari wilayah Saireri. Seperti Biak, Yapen, Wondama, Waropen dan Nabire. Warga dari Saireri dikenal santun dan jujur.
“Pada saat itu tidak ada orang Papua yang korupsi. Mereka bekerja dengan nurani dan penuh rasa tanggung jawab,” kata Apomfires.

Dalam perjalanan waktu orang asli Papua dari suku-suku yang lain juga mulai mendapat kesempatan memasuki lingkungan pemerintahan. Mereka menduduki jabatan-jabatan penting. Mereka pun berbaur dengan sanak saudara dari suku-suku lain di Papua, juga para pendatang dari luar. Saat itulah terjadi proses akulturasi kebudayaan. Yaitu proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Dalam proses akultrasi inilah telah terjadi kekejutan budaya atau shock culture. Apakah shock culture kemudian mempengaruhi terjadinya korupsi? Dalam perkembangan selanjutnya korupsi lalu menjadi semacam kebiasaan kolektif yang secara perlahan berkembang menjadi budaya. Apalagi didukung sistem birokrasi yang memberi peluang terjadinya korupsi. Birokrasi model rekanan sangat berpotensi mendorong siapa saja untuk lakukan korupsi.

“Suku-suku di Papua yang berada pada zona ekologi pegunungan dan hidup bercocok tanam sangat berpotensi terjadi korupsi karena mas ih kentalnya hubungan resiprositas. Yang hidup pada zona ekologi dataran rendah, rawa-rawa, hingga kepulauan, korupsi sedikit menurun dibanding zona pegunungan. Sama halnya dengan masyarakat di dataran rendah hingga pesisir kepulauan, korupsi agak menurun. Tapi pada masyarakat pesisir dan kepulauan tertentu, korupsi terjadi sama tinggi dengan suku-suku dari wilayah pegunungan,” jelas Antropolog Uncen ini.

Kentalnya hubungan timbal balik (resiprositas) dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli di Papua inilah diduga yang mendorong terjadinya korupsi. Penyelewengan anggaran yang kemudian disebut korupsi bisa dikatakan wajar sebagai konsekuensi dari upaya memperkokoh hubungan sosial dan kekerabatan. Karena hubungan sosial dan kekerabatan adalah energi kolektif yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan suku-suku asli Papua.

Dengan demikian apakah orang asli Papua telah lakukan korupsi? Menurut Apomfires bisa ya, bila dana yang dikorupsi untuk kepentingan diri sendiri. Tapi bisa juga tidak, apabila dana yang dikorupsi demi kepentingan banyak orang, seperti keluarga, kerabat, dll.

“Anjuran saya orang-orang Papua yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan maupun swasta hendaknya diberi gaji yang tinggi. Ini sebagai konsekuensi dari adanya resiprositas orang Papua yang masih kental,” ucap Apomfires.

Karena apabila kasus korupsi di Papua hanya dilihat secara hukum normatif tanpa memperhatikan aspek budaya maka para pejabat di Tanah Papua, khususnya kepala-kepala daerah pasti akan terjerat hukum. Padahal, mungkin saja tindakan menggunakan uang negara itu demi mempertahankan hubungan kekerabatan dalam budaya mereka.

Bermula dari Freeport
P. Drs. Gregor Neonbasu, SVD, PhD ant r opo l o g y ang menamatkan pendidikan S2 dan S3 dalam bidang antropologi dari The Australian National University of Canberra, Australia, dalam perbincangan dengan FOJA di Kupang, NTT baru-baru ini mengatakan sejarah korupsi di Papua tidak bisa dipisahkan dari masuknya PT. Freeport di Tanah Papua. Orang Papua dengan mata kepala sendiri menyaksikan bagaimana berlimpahnya kekayaan bumi Papua dibawa ke Amerika.

“Pada masa-masa itu warga asli Papua pertama kali menyaksikan praktek korupsi di Freeport. Kemewahan Freeport begitu luar biasa. Saking glamournya seorang sahabat saya dari Havard yang telah melakukan penelitian di Freeport sampai mengatakan Freeport telah memindahkan New York, LA, atau Washington ke Tanah Papua. Semua yang serba waaah ada di Freeport. Tapi ironisnya rakyat Papua tetap menjadi penonton dan dibiarkan dalam kemiskinan,” kata Gregor.

Pelajaran kedua tentang korupsi ket ika Freepor t diambi l al ih Pemerintah Indonesia. Banyak saham swasta nasional masuk ke Freeport. Pada saat ini rakyat Papua menyaksikan suatu kondisi yang lebih parah karena semua uang yang dari Freeport lari ke Jakarta. Lagi-lagi rakyat Papua hanya menjadi penonton dan tidak kebagian apa-apa.

“Saya kira apa yang terjadi hari ini di Papua karena mereka mencontoh dari apa yang terjadi di Freeport, baik saat dikuasi penuh Amerika maupun ketika diambil alih Indonesia. Tak perlu kaget jika mereka pun lakukan hal serupa ketika kesempatan itu ada. Mereka tidak perlu takut karena selama ini korupsi di Freeport pun dianggap biasa-biasa saja,” jelas Gregor.

Dengan demikian apa yang kini terjadi di Papua, kata Gregor, dari segi budaya kerusakannya sudah teramat sangat parah. Di Papua saat ini sudah terjadi pelapukan kultur, sebab orang melakukan suatu perbuatan salah dalam keadaan sadar, tahu dan mau.

“Inilah resiprositas itu. Inilah kesalingan itu, dimana saya korupsi, kamu korupsi dan kita sama-sama duduk untuk lakukan korupsi. Bagi saya ini suatu tindakan praktek korupsi yang ganas dan brutal. Semua orang tahu ini tindakan negatif tetapi sudah diklaim sebagai hal yang positip dengan berbagai argumentasi yang berlindung dibalik adat dan budaya,” urai Gregor.

Gregor mengaku sangat sulit mengatasi masalah ini, tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Karena korupsi telah merusak tatanan budaya di Tanah Papua menjadi begitu rapuh, bahkan lapuk.

“Untuk atasi masalah ini saya tidak punya rekomendasi yang pas. Kita bisa saja katakan harus melakukan revitalisasi budaya, revitalisasi mainset, atau revitalisasi nilai apa saja. Tapi nanti akan buntu sendiri. Sebaiknya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua perlu melakukan penelitian mendalam mengenai hal ini. Hasil penelitian inilah yang akan digunakan untuk memetakan persoalan yang ada di Tanah Papua. Dari situ baru kita akan merevitalisasi nilai-nilai apa saja yang kini sudah lapuk,” saran Gregor.

Sengaja Dibiarkan?
Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. Dr. Berth Kambuaya justru berpandangan beda. Ia menuding P eme r i n t a h P u s a t s e n g a j a membiarkan kasus korupsi terjadi di Papua. Indikasinya terlihat sejak Otsus digulirkan pada tahun 2001. Dana Otsus yang masuk Papua sangat besar, mencapai triliunan rupiah per tahun. Sayangnya kucuran dana tersebut tidak dibarengi adanya regulasi hukum yang mengatur proses penyaluran dan penggunaan dana tersebut.

“Bagi saya, ini pancingan yang menjebak para pejabat di Papua masuk dalam perangkap korupsi,” tandasnya.
Akibat tidak adanya regulasi bukan tak mungkin dana-dana yang telah disalurkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi sulit dipertanggung jawabkan. Pejabat tersebut kemudian dianggap bersalah dan diduga telah melakukan korupsi. Padahal ini terjadi akibat tidak adanya landasan hukum yang menjadi acuan dalam pengelolaan dana Otsus.

Ir. Weynand Watory Anggota DPRP, Wakil Ketua Komisi A mengibaratkan Tanah Papua sebagai negeri yang jauh dari bulan. Orang yang berkuasa susah kelihatan jejak cahaya korupsinya, dibanding bulan yang bisa dilihat cahayanya. Korupsi di Papua untuk tingkat provinsi sesungguhnya sudah tampak pada pembahasan APBD yang mestinya bisa dilakukan berbulan-bulan, namun ironisnya hanya dilakukan 3 hari. Waktu untuk mempelajari buku yang tebal, dokumen APBD harusnya membutuhkan waktu yang lama.

” P r o s e s y ang d inama k a n desentralisasi menuju resentralisasi, ibarat orang melempar umpan ke sana, tapi mereka juga makan umpan itu. Papua dikasih uang banyak-banyak, tetapi pemberi uang juga ikut makan. Ini namanya kan tidak ikhlas dan semuanya ini ada buktinya,” kata Watori.

Terhadap Dinas PU Watori me n g i n g a t k a n a g a r d a l a m melaksanakan proyek harus jelas, bukan hanya menyebut nama lokasi proyek. Soalnya, DPRP sulit mendapatkan akses untuk transparansi karena semua berada dalam lingkaran. Dalam proses penyusunan APBD saja, sering ada alasan BPK belum melaksanakan audit. Ini karena korupsi sudah dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Sementara jaksa-jaksa dan polisi menurutnya rata- rata sudah rusak.

”Bagaimana bisa memperbaiki sesuatu yang rusak, bila yang mau memperbaiki saja sudah rusak,” tukasnya.
Menurutnya, para pejabat di Tanah Papua harus dirubah cara berpikir dan cara kerjanya. Ia melihat ada kesalahan besar dalam sistem, banyak aspek harus diperbaiki. Pertanggung jawaban administrasi keuangan, harus lebih terarah. Ia menyarankan dibentuknya badan kerjasama antarlembaga. Antara lain, jalin kerjasama dengan LSM, gereja, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Kapasitas SDM Minim
Kepala Inspektorat (dulu: Bawasda) Papua, Daulat Tampubolon, Ak,MM, ikut bicara soal korupsi di Tanah Papua. Di Provinsi Papua dengan 29 kabupaten/kota jika dilihat dari kemampuan SDM dan dana, sangat terbatas jangkauannya untuk melakukan pengawasan. Tenaga pemeriksa (auditor) di Inspektorat Papua saat ini hanya 56 orang. Satu tahun paling sedikit ada 60 objek pemeriksaan dengan rata-rata 5 hingga 6 tim pemeriksa dari tenaga yang ada.

Ini sudah termasuk tugas-tugas pemeriksaan reguler di SKPD-SKPD, pemeriksaan laporan masyarakat, tugas pemeriksaan yang diamanatkan gubernur, hingga review pengawasan. Pemeriksaan kinerja pemerintah daerah, di dalamnya juga termasuk pemeriksaan masa akhir jabatan bupati/pejabat. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat dan lain-lain yang urgen sesuai permintaan gubernur.

Untuk menunjang proses pengawasan, ia mengakui, kapasitas SDM pengawas di tingkat kabupaten/kota untuk mereview pengawasan masih sangat kurang. Ketika ditanya soal adakah indikasi bahwa selama tahun 2009 ada pejabat yang melakukan korupsi, ia mengatakan indikasi itu pasti ada, tapi dibutuhkan proses pembuktian. Sayang, ia tidak menyebutkan pelakunya.

Disinggung soal pemekaran wilayah yang berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran, menurutnya perlu ada grand design pemekaran. Ini dimaksudkan agar bisa diketahui berapa ideal dana yang dibutuhkan untuk membangun suatu daerah. Sebab diharapkan dana pembangunan yang diturunkan ke kabupaten-kabupaten pemekaran bisa dinikmati masyarakat. Pada sisi lain, memang di daerah pemekaran telah tersedia dana pembangunan, namum kapasitas SDM pengelolaannya masih menjadi masalah.

Ada fenomena lain yang cukup unik, katanya. Misalnya ada beberapa tenaga pengawas di Inspektorat Provinsi yang telah dilatih hingga ke Jakarta, ketika terjadi pemekaran kabupaten dan dibutuhkan tenaga pengawas, mereka lalu direkrut ke daerah-daerah pemekaran untuk memperkuat kapasitas SDM. Ironisnya, setelah bertugas di kabupaten pemekaran, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ini problem internal yang terjadi.

Kepala BPKP Papua Eddy Rachman, mengatakan, BPKP tetap konsisten mengawasi dana-dana yang terkait dengan program prioritas utama dalam Otsus, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Namun kultur kedisiplinan perlu ditingkatkan di Papua. Selain itu karakter individual juga harus dirubah karena sangat mempengaruhi pelaksanaan birokrasi. Karena itu bagaimana memangkas kultur-kultur negatif agar kinerja pemerintahan bisa berjalan baik.

Eddy mengaku terkadang kasus korupsi di Papua susah ditelusuri, karena sering terkait dengan persoalan budaya, atau adat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi. Misalnya pembayaran denda yang menggunakan kas daerah, sementara hal tersebut tidak ada alokasi anggaran, sehingga sulit dipertanggungjawabkan.

”Kita punya tiga strategi penanganan korupsi. Penanganan preventif mengacu pada PP No. 60 Tahun 2008, tentang Pengawasan Internal Pemerintah. Penanganan represif, mengacu pada Inpres No 5 Tahun 2004. Lalu alokasi anggaran sebesar 40% untuk melakukan tindakan pencegahan (preventif) sudah cukup untuk melayani Papua dan Papua Barat, kendati medan geografis sangat sulit diakses,” kilahnya.

Soal kinerja birokrasi, Pengamat Pemerintahan FISIP Uncen, Drs. Untung Muhdiarta, M.Si mengatakan yang saat ini diperlukan adalah kepercayaan (trust) masyarakat kepada pemerintah.
“Krisis kepercayaan publik kepada pemerintah akan menjadi masalah yang serius. Jika dibiarkan akan menjadi bumerang bagi pemerintah,” ujarnya.

Menurut Untung, birokrasi selama ini bereuforia dengan dirinya sendiri, sementara di luar birokrasi terjadi perubahan yang besar di masyarakat. Karena perubahan itu tidak diikuti birokrasi, akibatnya program pemerintah menjadi tidak sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Inilah dampak dari birokrasi yang tidak bisa mengikuti perkembangan lingkungan secara strategis, baik secara internal maupun eksternal.
“Birokrasi harus netral (apolitis),” ujar Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen ini. Sayang, dalam prakteknya tidak demikian. Ada orang-orang yang memiliki pewarisan sosial yang sangat kuat dari resim sebelumnya. Misalnya gaya kepemimpinan (style leadership), struktur organisasi dan karakter birokrasi. Namun selama ini hanya struktur birokrasi yang berperan aktif. Sementara gaya kepemimpinan dan karakter birokrasi tidak begitu menonjol.

Demikian pula dengan penempatan seseorang untuk menduduki jabatan, harusnya didasarkan pada karir pemerintahan (birokrasi) dan bukan politik. Tapi yang lebih menonjol adalah karir politik. Inilah yang menyebabkan pelaksanaan birokrasi pemerintahan tidak berjalan sesuai harapan.

”Korupsi di kalangan pejabat terjadi karena salah satu faktornya sistem birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya upaya mempertahankan kekuasaan birokrasi. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan penyalahgunaan proyek pembangunan untuk memperkaya diri,” jelasnya.

Karena itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak terjadi. Sebab jika hanya transparansi, tapi tidak ada akuntablilitas akan sia-sia. Pengawasan fungsional yang selama ini dilakukan Inspektorat, menurutnya hanya mengawasi dirinya sendiri. Karena itu, diperlukan pengawasan politik yang bisa dimainkan pihak legislatif (DPRD kabupaten/kota dan DPRP) maupun pengawasan sosial masyarakat. Tapi masalahnya, ruang bagi berlangsungnya pengawasan sosial belum diatur secara baik.

Rubah Kultur dan Kebiasaan
Dalam kaitan dengan kasus korupsi ini Anggota DPD RI dari Dapil Papua, Paulus Sumino mengatakan penegakkan hukum di Tanah Papua harus dilihat secara keseluruhan. Aturan labil, kalau diterapkan secara kaku, banyak orang Papua masuk penjara. Penerapan hukum di Papua tidak bisa diterapkan secara kaku.
“Harus diperhatikan asas manfaat dari keuangan tersebut, tidak hanya semata-mata penerapan hukum belaka. Kalau korupsi dalam arti memperkaya diri dan berfoya-foya itu yang harus ditangkap,” tandasnya.

Untuk langkahkedepan Paulus menawarkan lima pandangan agar kondisi Papua menjadi lebih baik. Pertama, harus ada pertobatan. Kedua, harus dilengkapi dengan Perdasi/Perdasus. Ketiga, Gubernur harus memberi petunjuk konkrit. Keempat, SDM ditata dengan baik. Kelima, mekanisme penggunaan uang harus diatur dengan baik.

Direskrim Polda Papua, Petrus Waine berpendapat apa yang saat ini terjadi akibat lemahnya pengawasan internal dari Inspektorat dan pengawasan eksternal dari BPK, BPKP dan KPK. Kelemahan pengawasan internal lebih banyak menganut asas pembiaran, yang sifatnya pembinaan administrasi, sementara sudah nyata-nyata orang tersebut telah melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara.

Sementara pengawasan eksternal menganut sistem pembinaan yang bersifat administrasi, maupun penegakan hukum. Tetapi penegakan hukum persentasinya kecil, karena menganut asas pembiaran. Penegakan hukum ini ditempuh jika sudah sangat keterlaluan. Karena itu sangat ironi Papua yang memiliki dana besar dari dana Otsus, APBN, APBD, namun masyarakatnya tetap hidup dalam penderitaan.
”Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kedepan program yang digulirkan harus menyentuh dan sampai kepada masyarakat,” ujarnya.

Sementara Budi Setyanto menilai kasus korupsi di Papua masih sangat sedikit yang terangkat kepermukaan karena pertimbangan politik, kultur, alasan kurang bukti, dan sebagainya. Padahal sesungguhnya kasus korupsi di Papua sudah sangat memprihatinkan.

“Seharusnya siapa pun yang melanggar aturan harus diproses secara hukum,” ujarnya. Proses penegakan hukum untuk kasus korupsi mestinya dilakukan secara profesional. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan harus benar-benar profesional. Mereka harus betul-betul melakukan penyelidikan dan penyidikan yang serius dan sungguh-sungguh dan bukan menjadikan setiap kasus sebagai lahan bisnis.
Katanya, sejak dana Otsus Papua dilontorkan tahun 2002 hingga kini telah mencapai Rp 20-an triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua (penduduk asli sekitar 1,5 juta jiwa) yang hanya 2,6 juta jiwa (termasuk Papua Barat), tentu jumlahnya terlampau besar. Meskipun untuk perbandingan luas wilayah Tanah Papua, total dana itu masih kecil.

Secara konseptual visi-misi pembangunan Papua terbilang baik dan muluk. Ironisnya, pada tataran implementasi hal itu tidak diwujudkan dengan baik. Misalnya, reformasi pemerintahan yang digembar-gemborkan Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik belum berjalan sebagaimana dijanjikan.

Padahal dengan adanya reformasi pemerintahan akan terbangun suatu sistem yang mengatur secara mantap menyangkut birokrasi pemerintah, struktur anggaran, karakter birokrat, pelayanan publik, dan sebagainya untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik. Reformasi anggaran pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Konsep pembagian anggaran sebagaimana komitmen Gubernur juga tidak berjalan sepenuhnya. Di satu sisi transparansi dokumen APBD tidak pernah dibuka ke publik. Terkesan dokumen APBD sering dianggap sangat sakral sehingga publik tidak berhak mengetahuinya. Hal ini harus dirubah.

Ketua PWI Frans Ohoiwutun ikut prihatin dengan kasus korupsi yang menggerogoti Tanah Papua. Katanya, belakangan muncul dua fenomena di masyarakat. Pertama, bingung gunakan dana yang banyak. Kedua, bingung mempertanggung jawabkan setelah dana habis terpakai.
”Semua perencanaan yang dibuat di tingkat kampung, distrik, kabupaten hingga provinsi, tampaknya bagus, karena semuanya untuk mempercepat pembangunan. Tapi setelah dana dicairkan tidak digunakan sesuai yang direncanakan,” kata Ohoiwutun.

Ia memaklumi ketika alasan geografis, budaya dan sosial ekonomi Papua yang kompleks menyebabkan anggaran tidak digunakan sesuai peruntukannya dalam DIPA dan DPA. Harus diakui pembangunan fisik di Tanah Papua sudah begitu nampak dengan adanya infrastruktur jalan, jembatan, rumah, dan lainnya. Tapi banyak juga pembangunan yang tidak menyentuh masyarakat. Dari survei di beberapa wilayah dalam tugas jurnalistik dapat disimpulkan dana yang sampai ke masyarakat tidak lebih dari 20 persen.

“Pertanyaannya dana yang sebagian besar hilang itu larinya ke mana,” ucap Ohoiwutun.
Dalam kaitan dengan maraknya kasus korupsi di Tanah Papua Ohoiwutun mengharapkan agar dapat disikapi secara bijaksana. Sebagai daerah Otsus paling tidak ada hal khusus dalam penanganan terhadap kasus korupsi di Papua.

“Seandainya seorang pejabat menggunakan dana tertentu untuk masyarakat tapi tidak sesuai peruntukkannya, apakah itu bisa dikatakan kosupsi?. Inikan sulit,” ujarnya lagi.
Pada wilayah-wilayah kabupaten pemekaran, bupati dan pejabat bisa saja mengeluarkan uang untuk masyarakat dengan jumlah ratusan juta hingga miliar rupiah. ”Kalau mereka tidak keluarkan dana itu, nanti serba salah karena masyarakat setiap hari ada di kediaman atau kantor mereka. Kebutuhannya macam-macam, ada kebutuhan untuk beli beras, anak sakit, beli obat, pendidikan, dan sebagainya,” tambah Ohoiwutun.

Karena itulah, Ohoiwutun berharap penanganan kasus korupsi di Tanah Papua harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat yang sering membuat para pemimpin wilayah menjadi dilematis dalam mengambil keputusan. Padahal kehadiran mereka selaku pejabat publik sepenuhnya untuk melayani masyarakat.

Bedakan Privat dan Publik
Pengamat Politik Yohanes Fransiskus, SIP, M.Si dari FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta menilai apa yang saat ini dipersoalkan di Papua mengenai korupsi sebetulnya bukan masalah yang pelik jika semua orang paham dan bisa membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik.

”Kalau bicara soal negara, pemerintah, itu urusan publik. Kalau bicara soal keluarga, famili, kakak adik, suku, dan lain-lain, itu berarti kita bicara hal yang privat. Yang terjadi di Papua itu karena salah kaprah. Orang mencampuradukan urusan publik dan urusan privat. Itu salah besar. Tidak bisa karena alasan keluarga, beri uang negara ke keluarga, famili, suku lantas minta pembenaran. Padahal dana itu tidak sesuai peruntukannya,” kata Pengamat Politik yang biasa disapa Ansy ini.
Menurut Ansy umumnya korupsi itu ada dua jenis. Pertama, orang melakukan korupsi karena memang terdesak kebutuhan. Kedua, korupsi karena memang pelakunya serakah. Yang di Papua tampaknya terjadi karena keserakahan. Tidak ada bedanya dengan yang terjadi di pusat kekuasaan negara ini, atau pun sejumlah daerah lain di Indonesia.

”Saya harap semua kasus di Papua harus diproses secara hukum. Kalau memang kita mencintai rakyat Papua, sudah saatnya harus bawa semua pelaku korpsi ke hadapan pengadilan. Tidak bisa membiarkan begitu saja dengan berlindung di balik budaya masyarakat. Jangan persalahkan budaya masyarakat. Itu tidak benar,” katanya.

Proses hukum menjadi sangat penting sehingga harus ada yang dihukum untuk menumbuhkan efek jera. Tapi kalau lantas kita membiarkan semua ini bebas terjadi maka kondisi di Tanah Papua akan semakin memprihatikan. Yang akan tetap menderita itu rakyat jelata yang ada di berbagai pelosok Papua.

”Coba direnungkan kalau para koruptor itu selama ini membagi uang ke rakyat, lantas kenapa sampai hari ini rakyat Papua tetap berada dalam cengkraman kemiskinan. Karena itu soal benar atau tidak dana mengalir ke rakyat harus dibuktikan di depan pengadilan. Tidak boleh ada toleransi,” timpalnya.

Agar korupsi di Papua bisa ditekan/dikurangi, Ansy menghimbau kepada semua elemen yang ada di Papua mendorong demokrasi secara lebih baik. Kekuatan rakyat harus bergerak dan bersinergi. Mahasiswa, LSM dan semua yang peduli pada rakyat Papua harus berdiri di lini paling depan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.

”Bila hari ini orang Papua tidak berjuang untuk membebaskan diri mereka dari korupsi maka sampai kapan pun rakyat Papua tidak akan pernah keluar dari kemiskinan dan penderitaan,” tandas Ansy.

Karena korupsi adalah penipuan, dusta yang mengorbankan manfaat bersama atau kepentingan umum. Korupsi memberi ketenangan bagi patologi sosial yang memecah belah, menimbulkan keadaan tidak stabil dan membuat orang tidak peka. Korupsi tidak saja membawa masyarakat ke arah yang salah, tapi juga melunturkan legitimasi pemerintah, mendukung pemimpin yang salah dan memberi teladan yang salah bagi generasi yang akan datang. (Tim Fokus FOJA)

FOJA Edisi 26 / VI / 2010


Korupsi Merajalela
di Tanah Papua

Indonesia negara terkorup nomor satu di Asia Pasifik. Perilaku korupsi merata di seantero negeri. Konon, sepak terjang koruptor justru semakin mengganas di daerah-daerah. Tak kecuali di Tanah Papua tercinta. Para pejabat seolah berlomba melakukan korupsi. Berkas kasus mereka kini menumpuk di BPKP, Polda, Kejaksaan Tinggi Papua, bahkan KPK. Milyaran hingga triliunan rupiah uang rakyat dirampok. Dikuras habis-habisan. Koruptor dan keluarganya menjadi kaya raya, sementara rakyat Papua kian miris dan terlunta-lunta. Mengerikan!!

Berkas kasus yang ditangani pihak Kejati Papua. Kata Aspidsus Kejati Papua, Muhammad Yusuf, SH, Kejati menangani 42 perkara
Papua, negeri kaya raya. Mata seantero dunia tertuju. Emas, perak, tembaga, minyak, gas alam, dll tersimpan dalam perut buminya. Hutan belantaranya menjadi emas hijau. Kayu-kayuan berlimpah. Belum lagi panorama alamnya bagai lukisan kanvas. Adat budaya, tarian, ukiran, koteka, anyaman, kanguru, burung cendrawasih, kain tenun ikatnya seperti kelap kelip pijaran permata mirah delima. Namun ironisnya mayoritas masyarakat Papua sampai saat ini masih hidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.

Konon, karena miskin para pejabat di Tanah Papua nekat menjadi koruptor. Pasalnya korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan. Sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi. Namun tidak sedikit pula yang berpandangan korupsilah yang menyebabkan rakyat di Tanah Papua menjadi miskin.

Data yang dihimpun FOJA memperlihatkan realita mengerikan. Korupsi di Tanah Papua semakin mengganas dan membabi buta. Menyebar secara masif, bagai gurita beracun mencengkram Tanah Papua. Saat ini tidak kurang dari 42 kasus dalam penanganan BPKP. Tujuh (7) kasus lain ditangani Polda, kini memasuki tahap dua. Sementara Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua antara Januari sampai Juni 2010 terdapat 42 kasus, 35 di antaranya dalam proses penyelidikan, 7 lainnya disidik.

Yang menjadi janggal dalam kasus korupsi di Papua menyangkut nilai kerugiannya. Korupsi yang melibatkan sekian banyak pejabat ini nilai kerugian tertinggi hanya sekitar Rp 21 M. Yang lain nilai kerugiannya berada di bawah angka tersebut. Bahkan secara keseluruhan total kerugian negara untuk semua kasus yang saat ini ditangani Polda dan Kejati Papua justru kurang dari Rp 50 M. Angka ini kontroversi, mengundang cibiran. Berbagai kalangan yakin nilai kerugian negara akibat korupsi di Tanah Papua seharusnya mencapai angka yang jauh lebih besar. Karena total anggaran pembangunan Papua mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.

Karena bila yang dikorupsi hanya sebesar Rp 50 M seharusnya sejak lama rakyat Papua sudah mencapai sejahtera. Tapi faktanya hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih hidup dalam kemelaratan. Lantas dana-dana itu menguap kemana? Entahlah. Yang pasti gurita korupsi di Tanah Papua sudah semakin bertambah parah. Orang tidak lagi takut melakukan korupsi. Hukum dan peraturan tak digubris. Bahkan disinyalir penyimpangan keuangan daerah justru berasal dari mata anggaran yang dalam pembahasan sudah tidak disetujui. Namun dengan berbagai cara tetap dipaksa untuk diproses, tanpa melalui pembahasan di DPR Papua.

“Contohnya, pada tahun 2007- 2008 dikeluarkan dana Rp 10 M untuk operasional TVP. Namun pada tahun 2009-2010 dana yang dikucurkan menjadi lebih besar melalui Bikda. Bila tidak ada Perda seharusnya tidak bisa, tetapi diakali sedemikian rupa melalui Bikda sehingga total dana yang dikucurkan mencapai lebih dari Rp 20 M,” kata Paulus Sumino, Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Papua.

Demikian pula dengan kasus Ketua DPR Papua JI. Menurut Sumino, orang nomor satu di tubuh DPRP ini diduga telah menilep dana rakyat sebesar Rp 5,2 M. JI disinyalir selama tahun anggaran 2006 telah meraup dana belanja bantuan keuangan kepada instansi vertikal senilai Rp 2,6 M dan bantuan keuangan untuk rumah tangga senilai Rp 2,6 M. Kejati Papua telah ditetapkan JI sebagai tersangka.

Pejabat lain yang terseret dalam pusaran kasus korupsi, demikian Sumino, adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Papua ABB dan mantan Kepala Biro Keuangan Setda Papua, PO. Keduanya telah disidik pihak berwajib, berkas perkaranya sudah siap dilimpahkan ke Pengadilan. Total dana yang diselewengkan mencapai sekitar Rp 9 M. Khabarnya, uang haram ini dibagi kepada dua Institusi Pemerintah bergengsi sebagai dana dekonsentrasi. Ditengarai, dalam kasus ini Ketua Komisi A DPR Papua YK ikut terlibat. Sementara AH disangkakan terlibat dalam kasus proyek pembangunan jalan fiktif di Sorong Selatan yang menghamburkan uang negara sebesar Rp 1,2 M.

Meningkat
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Palty Simanjuntak, SH, mengaku kasus korupsi di Tanah Papua mengalami trend peningkatan. Saat ini sudah ada 35 orang yang dijadikan tersangka setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Realita ini dibenarkan Wakajati Hardjono Tjatjo, SH. Yang menarik bahwa kasus-kasus ini tidak seluruhnya merupakan temuan BPKP dan Kepolisian. Sejumlah kasus justru ditindaklanjuti dari laporan masyarakat. Rakyat Papua tampaknya sudah sangat muak melihat perilaku pejabat korup yang seenaknya mencuri uang negara. Mereka inilah yang telah menyengsarakan rakyat Papua selama puluhan tahun. Mereka diduga menggiring rakyat Papua masuk dalam konflik politik untuk anti NKRI guna menutupi borok kotor sepak terjang mereka sebagai koruptor.

Padahal dalam era Otonomi Khusus (Otsus) sekarang ini Pemerintah Pusat mengucurkan dana triliunan rupiah demi mensejahterakan segenap rakyat Papua. Tapi lihatlah apa yang terjadi sepanjang sembilan tahun Otsus. Kucuran dana berlimpah dikorupsi para pejabat jahat. Korupsi dilakukan secara merata, pelakunya merasuk dan tersebar di berbagai lapisan. Mulai dari oknum pejabat Pemda, pimpinan proyek, entitas swasta, anggota DPRP, DPRD, pengurus partai politik, kepala distrik, kepala desa, bahkan hingga kepala sekolah dan guru dalam pengelolaan dana BOS. Kronis.

Di level kepala daerah lebih mengerikan. Sejumlah bupati telah ditetapkan sebagai tersangka. Bupati Serui, Waropen, Boven Digul dan Supiori bikin bulu kuduk kita merinding. Bukan tak mungkin akan menyusul nama bupati atau wakil bupati atau ketua DPRD dari kabupaten lainnya.

Korupsi yang menjalar ke seluruh lapisan peyelenggaraan pemerintahan patut diduga akibat buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Karena itu memberantas korupsi sesungguhnya bukan tujuan akhir. Korupsi harus diberantas untuk mencapai tujuan lebih luas yakni suatu tata kelolah pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien. Tapi yang terjadi di Papua sangat berbeda. Korupsi semakin merajalela akibat lemahnya tindakan hukum. Padahal ketegasan hukum terhadap koruptor sangat penting. Maksudnya agar pejabat lainnya tidak melakukan hal serupa. Sebab saat ini ada kecenderungan semua orang berjuang menggunakan segala macam cara untuk menjadi pejabat publik agar bisa korupsi.

Korupsi terbukti merupakan jalan termudah untuk memperkaya diri.
Dampak dari merajalelanya korupsi di Tanah Papua sangat fatal. Data statistik memperlihatkan jumlah keluarga miskin di Tanah Papua sampai saat ini masih sangat tinggi, mencapai sekitar ........%. Jumlah anak-anak buta huruf dan putus sekolah juga tinggi. Busung lapar dan kasus gizi buruk masih menimpa sebagian balita di Tanah Papua. Sebaliknya para pejabat korup dan keluarganya hidup dalam kemewahan dan tak pernah tersentuh hukum. Ironis.

Kendala Internal
Kendati berada dalam sorotan publik namun Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua, Muhammad Jusuf, SH, MH berkilah pihaknya telah bersikap tegas menuntut hukuman berat kepada semua pelaku korupsi. Namun secara internal ia mengaku institusinya masih memiliki sejumlah kendala yang menghambat proses penanganan kasus korupsi di Tanah Papua.

”Saya harus berterus terang bahwa jumlah penyidik untuk penanganan perkara Pidana Umum (Pidum) masih kurang. Biasanya perkara Pidum ditangani Jaksa antara 1 hingga 6 bulan. Sedangkan untuk Pidana Khusus (Pidsus) hanya 4 orang. Padahal kasus Pidsus sangat banyak dan tersebar sampai ke daerah-daerah. Ini yang menyulitkan kami,” kata Jusuf.

Kendala lain, demikian Jusuf, menyangkut angaran operasional di Kejaksaan yang terbilang terbatas. Padahal untuk memproses suatu perkara mereka harus mendatangi sejumlah daerah seperti Sorong, Biak, Wamena, Supiori, dll yang membutuhkan biaya tidak kecil.
”Kami berbeda dengan daerah lain. Kami menangani kasus korupsi di dua propinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Wilayah kerja kami meliputi 39 kabupaten/kota (Papua 28 kabupaten 1 kota dan Papua Barat 9 kabupaten 1 kota). Dengan dana operasional serba terbatas sebisanya kami menjalankan tugas dengan baik,” ujar Jusuf.
Muhammad Yusuf, SH, MH lebih jauh mengungkapkan bahwa sampai saat ini jumlah Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Tanah Papua hanya 10 buah, tersebar di 10 kabupaten induk. Ini yang menyebabkan ketika para saksi dan tersangka dipanggil terkait suatu kasus sering beralasan soal biaya transportasi, sakit, dll. Semua ini menghambat proses penyelidikan maupun penyidikan. Apalagi bila saksi atau tersangka berdomisili di kabupaten-kabupaten pemekaran akan sangat sulit terjangkau transportasi yang ada.
“Inilah faktor yang menghambat penanganan berbagai kasus korupsi di Tanah Papua,” kata Yusuf.

Faktor penghambat lainnya menyangkut pemeriksaan terhadap para pejabat seperti gubernur, bupati/ wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dan anggota DPRDP dan DPRD yang terindikasi kasus korupsi. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, untuk memeriksa pejabat tersebut harus ada surat ijin dari Presiden. Kendala inilah yang membuat berbagai kasus korupsi di Papua proses hukumnya masih terkatung-katung.
Berdasarkan data tahun 2008 Kejati Papua menangani 56 kasus. Perkara yang sudah dirampungkan sebanyak 11 kasus. Tahun 2009 ada 8 kasus diproses hingga tuntas. Sementara untuk periode Januari sampai Juni 2010 terdapat 42 kasus, 9 kasus sudah sampai tahapan penyidikan, 4 kasus diantaranya telah dilimpahkan ke pengadilan.
”Kendala memang banyak, namun kami sudah berkomitmen untuk menuntaskan setiap kasus korupsi di Tanah Papua. Saat ini memang baru 9 kasus yang diproses. Kita akan terus kembangkan untuk menjerat sejumlah pelaku korupsi lainnya,” kata Yusuf.

Di balik nada optimis petinggi Kejati Papua ternyata dorongan dari Kejaksaan Agung terasa begitu kencang. Konon Kejagung memasang target penyelesaian kasus korupsi sebagai upaya mendorong kinerja jajarannya di daerah. Untuk Kejati Papua, Kejagung menetapkan target menyelesaikan 5 kasus korupsi sepanjang tahun 2010. Sementara untuk masing-masing Kejari di Tanah Papua ditargetkan 4 kasus. Hal ini sesuai Inpres No: 001 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pembangunan Bidang Hukum.

“Kami pasti bisa memenuhi target tersebut. Semua kasus korupsi akan kita buka kepada masyarakat. Tidak akan ada yang ditutup-tutupi,” ucap Yusuf.
Sementara soal modus korupsi di Papua menurutnya sangat beragam. Yang paling menonjol adalah mark-up biaya pembangunan, mark-up harga pengadaan barang, juga proyek fiktif. Sedangkan untuk perhitungan kerugian negara biasanya dilakukan BPKP dan BPK. Kecuali jika perhitungan itu tidak rumit, Kejaksaan bisa menghi tungnya sendi r i . Sedangkan menyangkut kebiasaan pejabat di Papua mengeluarkan dana untuk masyarakat diambil dari pos-pos anggaran yang tidak sesuai,Yusuf mengatakan untuk mengeluarkan anggaran tidak bisa sembarangan karena ada aturannya. Pada simpul inilah tata kelolah pemerintahan yang baik harus menjadi cita-cita. Reformasi birokrasi harus mampu menjawab tuntutan ini. Dengan demikian reformasi diperlakukan sebagai perubahan sistemik, tidak ditujukan pada manusia tetapi sistem tempat manusia bekerja.

Sementara Direskrim Polda Papua Kombes Pol. Petrus Waine mengaku sedang menangani 7 kasus korupsi yang sudah masuk tahap kedua. Yang diselewengkan adalah dana Otsus. Pengadaan barang oleh oknum PNS AR menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2 M. Pengadaan barang cetakan dengan tersangka H merugikan negara sekitar Rp 2 M. Pengadaan tanah Balai Karantina Kelas II Jayapura dengan tersangka Y merugikan negara sekitar Rp 136 juta. Pengadaan kapal di Asmat tahun 2006 dengan tersangka M merugikan negara sekitar Rp 5,5 M. Pembuatan jalan Sorong Selatan dengan tersangka S merugikan negara sekitar Rp 1,9 M. Sedangkan kasus Boven Digoel yang sudah dalam proses penyidikan dengan tersangka J merugikan negara sekitar Rp 2 M.

Disiplin Anggaran
Kepala BPKP Papua Eddy Rachman, MM,Ak menyebutkan untuk melaksanakan sistem pengawasan BPKP menempuh melalui dua cara. Pertama, pengawasan administratif atau non justicia. Kedua, Pengawasan pro justicia, yakni berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengembangkan penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang terindikasi.
Dalam sistem akuntansi, sifatnya harus balance antara pemberi dan penerima. Karena itu, disiplin akuntansi merupakan pilar dalam pertanggung jawaban maupun audit keuangan. Dari sisi akuntabilitas, Eddy Rachman mengatakan, akuntabilitas di Papua dapat dikatakan sudah berjalan baik, tapi perlu diperbaiki. Buktinya, setiap tahun tidak banyak kabupaten di Papua yang lambat melaksanakan sidang LKPJ Bupati. Salah satu kendala adalah masalah disiplin anggaran. Soal akuntabilitas sudah diatur dalam undang-undang.

Kabupaten pemekaran masih mengalami keterlambatan, karena dari sisi personel masih sangat terbatas, termasuk tenaga keuangan (akuntan). Akibatnya, lambat dalam memberikan pertanggung jawaban keuangan. Selain itu, akses komunikasi dan transportasi di daerah pegunungan relatif sulit dibanding daerah pesisir. Tapi ada fenomena daerah pemekaran, di mana daerahnya relatif bergerak maju, seperti Sarmi, Pegunungan Bintang, yang laporan keuangannya termasuk kategori baik. Kuncinya memang ada pada pimpinan daerah. Harus ada komitmen tinggi untuk membangun daerahnya, komunikasi dan hubungan transportasi yang relatif mudah.

Ada beberapa kabupaten pemekaran yang hubungan transportasi dan komunikasi cukup sulit, tapi kabupaten itu cenderung maju. Misalnya, Kabupaten Mamberamo Raya dan Nduga. Selain itu, ada daerah-daerah yang berkembang secara akuntabilitas, tapi terjadi masalah seperti Supiori dan Yapen serta Waropen yang bupatinya bermasalah. Soal kasus Sorong Selatan dengan pembangunan jalan Sesor Boldon yang dilakukan tahun 2007 hingga 2008, SPJ terlambat, namun sudah ditandatangani sebelum proyek selesai.
”Dari sinilah, ditelusuri oleh BPKP,” kata Eddy Rachman.

Menurut Eddy periode Januari hingga Mei 2010 BPKP Papua menangani 42 kasus korupsi. Namun ada yang merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya dengan perkiraan kerugian negara mencapai miliaran rupiah. Ada sebuah fenomena bahwa pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari komitmen seorang kepala daerah. Daerah-daerah di Papua yang pengelolaan keuangannya bagus dan tertib, rata-rata dipimpin oleh seorang kepala daerah dari kalangan birokrat, karena mereka sudah belajar cara mengelola administrasi.


Penegakan Hukum Lemah

Menyikapi merajalelanya korupsi di Tanah Papua, Ramses Wally, Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Papua mengatakan, Papua merupakan salah satu daerah terkorup di Indonesia. Kucuran dana Otsus berlimpah, ditambah DAK, DAU bahkan APBD ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat. Ini patut dipertanyakan.
“Dalam era Otsus sekarang ini seharusnya masyarakat asli Papua mencapai tingkat kesejahteraan lebih baik. Tapi kenapa rakyat malah menderita. Kehidupan orang Papua sebelum era Otsus jauh lebih baik dibanding sekarang,” ujarnya.

LAKI berkomi tmen hendak menjadikan s e luruh e l eme n masyarakat Papua sebagai laskar anti korupsi. Semua orang harus ikut mengawasi proses pembangunan di Tanah Papua. Harus ada satu kasus korupsi dituntaskan sehingga dapat membuka kasus lainnya yang selama ini tidak tersentuh hukum.

”Kami memiliki sejumlah data-data mengenai kasus korupsi. Kami akan buka ke publik kasus-kasus ini pasca dilakukan deklarasi LAKI,” janji Ramses.
Menurut Ramses dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah tersebut jika digunakan secara baik maka orang asli Papua yang jumlahnya tidak begitu banyak bisa sejahtera. Dalam pengamatannya belum ada transparansi sehingga data-data korupsi hanya tersembunyi di BPKP. Seharusnya BPKP sebagai lembaga audit keuangan dan pembangunan mesti membeberkan semua temuan ke publik. Sehingga jangan ada kesan telah terjadi gerakan-gerakan saling menutup mulut antara BPKP dengan pihak yang diaudit. Sebab akibat dari perbuatan korupsi telah menyebabkan rakyat asli Papua sangat menderita.
Dimata Ramses sampai hari ini rakyat asli Papua yang berada di pesisir, lembah dan gunung belum menikmati dana Otsus. Karenanya bila mereka meminta “merdeka,” itu merupakan luapan kekecewaan luar biasa akibat tak pernah menikmati kemerdekaan dalam pembangunan.

Selama ini rakyat dikelabui para pejabat korup. Sudah saatnya kenyataan ini dibuka seterang-terangnya agar rakyat tahu siapa sesungguhnya yang selama ini menyengsarakan mereka.
“Saya yakin dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah bisa menyejahterakan rakyat asli Papua. Dengan begitu gesekan-gesekan dan teriakan kemerdekaan bisa dieliminir,” kata Ramses.
Untuk itu korupsi di Tanah Papua harus diberantas. Koruptornya mesti ditangkap dan dihukum berat. Bila ada pejabat atau oknum tertentu menyelewengkan uang rakyat, mereka harus diproses hukum. Korupsi ibarat suatu mata air. Kalau mata airnya jernih, pasti akan mengalirkan air jernih hingga ke muara. Kalau mata airnya keruh atau kotor yang mengalir ke muara juga keruh, bahkan kotor. Sama halnya dengan korupsi yang melibatkan pejabat besar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Soal budaya kebersamaan (kolektivitas), kekerabatan dan hubungan sosial pada masyarakat Papua yang cenderung mempengaruhi adanya korupsi, Ramses mengingatkan agar jangan menjadikan budaya sebagai argumentasi pembenaran terhadap suatu tindakan korupsi.

“Jangan korupsi memakai alasan rakyat, atau pakai kepala suku punya tanda tangan, padahal mereka tidak terima dana itu. Kalau seorang pejabat memberi sesuatu kepada rakyatnya harus bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi,” tandasnya.
Kepada pejabat eksekutif dan legislatif Ramses meminta mereka segera menghentikan perbuatan korupsi. Gunakan dana-dana pembangunan sesuai aturan yang ada. Sedangkan kepada aparat penegak hukum diharapkan menghindari kerjasama dengan pejabat-pejabat korup dan senantiasa berkomitmen memberantas korupsi.
Hal senada dikemukakan Budy Setyanto, SH, Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua. “Yang harus disampaikan secara jujur kepada masyarakat bahwa korupsi di Tanah Papua sudah berada pada level sangat memprihatinkan,” ungkapnya kepada FOJA.
Menurutnya, dana sangat besar telah masuk ke Papua, tapi banyak yang disalahgunakan dan pemborosan. Tidak efektifnya penggunaan anggaran dan pemborosan telah menyebabkan perbuatan korupsi menjadi hal yang laten.

Ia menekankan, perlu dua hal pokok dalam rangka pemberantasan korupsi. Pertama, pengawasan (control) yang ketat dari badan pengawas dan pemeriksa, BPK, BPKP dan Bawasda. Kedua, sebagai skala prioritas, perlu penegakan hukum yang tegas.
“Kalau korupsi ditempatkan pada aspek preventif saja, itu tidak akan jalan dan hanya menjadi lips service semata,” ungkapnya.
Pengawasan dan penegakan hukum harus benar-benar terpadu. Bila BPK dan BPKP melakukan pemeriksaan secara jujur dan mampu mengabaikan iming-iming amplop, pasti akan banyak temuan kasus korupsi.

Gubernur sebagai pemegang kekuasan eksekutif di daerah, hendaknya memainkan perannya dalam mendukung pengawasan yang dilakukan badan pengawas dan pemeriksa. Gubernur harus serius mendorong publikasi hasil temuan badan pengawas jika ada aparatnya terindikasi korupsi. Temuan korupsi yang dilakukan Inspektorat Provinsi Papua sebagai pengawas internal maupun BPKP dan BPK harus dibuka ke publik.
Budy Setyanto justru memberi apresiasi positif kepada KPK yang begitu tanggap menangani kasus korupsi di daerah hingga bisa disidangkan di pengadilan. Padahal KPK berada jauh di pusat namun begitu respek menindaklanjuti laporan. Sementara badan pemeriksa yang ada di daerah terkesan kurang peka.
“Siapapun yang melanggar harus dihukum,” ujarnya.

Pengamat Hukum Pidana Uncen, Budiyanto, SH menambahkan, sistem hukum menyangkut pemidanaan memang sudah memberi batas minimum bagi pelaku korupsi adalah 4 tahun. Tapi dasar pemidanaan yang diterapkan selama ini sering dilihat dari jumlah uang (besar dana kerugian negara) yang dikorupsi. Padahal, dalam hukum pidana telah diatur bahwa korupsi itu dilarang. Jadi berapa pun nilai uang yang dikorupsi, itu sudah termasuk perbuatan melanggar karena dasar pemidanaan adalah perbuatan. Masalahnya, bisa saja dalam suatu kasus korupsi ada kemungkinan tawar menawar antara aparat penegak hukum dengan koruptor.

Ia sangat prihatin terhadap upaya penanganan korupsi di Tanah Papua. Banyak proses hukum kasus korupsi menjadi tidak jelas proses penyelesaiannya karena kasus-kasus korupsi justru ditangani oleh lembaga yang juga korup.
“Kalau pelaku korupsi ditangani oleh lembaga yang korup hasilnya pasti tidak maksimal. Koruptor tidak akan jera,” ujar Budiyanto. Ia minta, pemberantasan korupsi tidak hanya janji belaka, tapi harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Transparansi dari badan pengawas dan aparat penegak hukum juga sangat diperlukan dalam memberantas kasus korupsi, khususnya di Papua masih sangat lamban. Meskipun ada beberapa pelaku korupsi yang telah diproses hingga dipidana kurungan. Tapi semuanya belum sesuai harapan karena masih banyak koruptor yang kini berkeliaran di Tanah Papua. Budiyanto mengatakan, umumnya jika seorang pejabat terindikasi korupsi dan harus diproses hukum, mestinya bawahannya juga ikut diproses. Sebab seorang pejabat tidak mungkin melakukan korupsi seorang diri.

Terkait beberapa kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat di Papua yang proses hukumnya hingga kini masih belum tuntas, menurut Budiyanto aparat penegak hukum (Kepolisian) harus bekerja keras. Misalnya melengkapi bukti-bukti pendukung. Menyangkut hukuman yang keras terhadap koruptor, menurutnya memang bisa memberi efek jera. Sedangkan cara untuk memberantas korupsi, selain dibutuhkan komitmen, perlu adanya kerjasama antar lembaga pengawas/ pemeriksa, penegak hukum dan keterlibatan seluruh elemen dalam masyarakat.

Yakinlah bahwa tindakan korupsi tidaklah berbahaya, yang justru sangat berbahaya adalah mental korupsi itu sendiri. Dan inilah tugas kita bersama pada hari ini, besok, maupun hari-hari yang akan datang. Selamat berjuang membebaskan Tanah Papua dari keganasan sepak terjang para koruptor. (Tim Fokus Foja)