Kamis, 03 Desember 2009

Narkoba: Jalan Lain Menuju Koma


Memasuki areal Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Narkotika Jayapura suasana tampak lengang, yang tampak hanya ada beberapa mobil dan motor terpakir di halamannya. Di salah satu sudut tembok tampak gambar daun ganja dalam lingkaran dengan strip merah. Di bawahnya terdapat tulisan “stop narkoba”. Setelah melapor di pos pejagaan depan, dengan menjelaskan maksud kedatangan, akhirnya Foja diijinkan masuk.

Memasuki pintu utama, suasana di ruang tunggu besuk tampak ramai oleh beberapa wanita muda, yang belakangan diketahui ternyata napi yang ditangkap di sebuah bar, beberapa waktu lalu di kota Jayapura. Mereka sedang bersenda gurau satu dengan lainnya, dibawah pengawasan beberapa orang sipir Lapas. Setelah melakukan registrasi dengan petugas Foja pun diijinkan masuk menemui Kepala Lapas.
Menurut kalapas Y.Waskito BC.IP,SH,MH,MSi, saat ini terdapat 78 narapidana yang dibina di lapas ini. “Angka ini sewaktu waktu bisa berubah. Ada napi yang masuk dan ada yang bebas,” kata Waskito.

Menurut Waskito ada perbedaan mendasar antara lembaga pemayarakatan narkoba dengan lembaga pemasyarakatan lainnya. “Yang diterapkan di sini adalah sistem pembinaan mental para narapidana untuk disiapkan kembali kelingkungan masyarakat.
Lembaga pemasyarakatan membina mental napi untuk kembali ke masyarakat. Jadi lembaga ini merupakan bentuk kepedulian terhadap masyarakat Papua yang terjebak dalam penggunaan obat terlarang,” katanya.
Menurut data yang diperoleh di Lapas ini terdapat 70 napi laki laki, dan sebanyak 8 napi perempuan. Untuk kelompok umur diklasifikasikan atas dua bagian yaitu umur 18 tahun ke bawah sebanyak 4 orang napi, yang terdiri atas 3 laki laki dan 1 perempuan. Sementara untuk kelompok umur 18 tahun ke atas sebanyak 74 orang sebanyak 67 laki-laki dan 7 orang perempuan . Dari semua Napi yang di bina berasal dari berbagai wilayah seperti Kota Jayapura sebanyak 68 orang, Kabupaten Keerom 1 orang, pelintas batas yang merupakan warga negara tetangga Papua Nugini sebanyak 11 orang namun kini tinggal 10 orang, karena salah seorang diantaranya berhasil melarikan lari beberapa waktu lalu.

Menurut data setiap tahunnya jumlah tahanan di lapas ini mengalami peningkatan dari segi jumlah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan jumlah pengguna narkoba di wilayah Papua. Bahkan data terakhir menunjukkan bahwa penggunaan narkoba tidak hanya dari kalangan pria tetapi juga kaum wanita, bahkan sudah menyentuh kalangan remaja. Tercatat di tahun 2004, jumlah tahanan sebanyak 19 orang, tahun 2005 sebanyak 19 orang napi, tahun 2006 sebanyak 14 orang napi 2007 meningkat tajam sebanyak 49 orang napi, tahun 2008 sebanyak 43 orang napi dan sampai dengan bulan Mei tahun 2009 jumlah narapidana sebanyak 78 orang.
Perhatian bagi penghuni lapas ditempuh melalui beberapa pendekatan seperti dari segi religius melalui tokoh gereja, terutama pada hari raya besar keagamaan sementara bagi yang muslim menurut Waskito belum mendapat perhatian dari lingkungan atau lembaga keagamaan setempat. Perhatian juga ditunjukkan dengan pengembangan kretifitas napi melalui berbagai kegiatan seperti kerajinan tangan, membuat bingkai foto, tempat tissue, hiasan bunga, bercocok tanam, beternak ikan, dan pelatihan computer.

“Beberapa LSM juga menunjukkan perhatian serius seperti YPPM, dan YAKITA yang secara rutin memberikan bimbingan konseling bagi para napi,” kata Waskito.
Waskito sangat menyayangkan masih kurangnya perhatian pemerintah terutama fasilitas Lapas tersebut. “ Napi yang dibina sebagian besar dari kawula muda yang akrab dengan kreatifitas sehingga seharusnya lapas ini dilengkapi dengan sarana olahraga dan alat musik sebagai wahana penyaluran bakat,” imbuhnya.

Menurut salah seorang tenaga medis di lapas ini sampai sekarang belum ada napi yang terkait dengan HIV-AIDS. Penyakit yang diderita banyak diderita seperti TB Paru, yang merupakan pengaruh langsung dari penggunaan obat terlarang seperti ganja, serta penyakit infeksi menular.

Menurut Hs (samaran), salah seorang Napi yang berhasil ditemui, Ia telah menempati hotel prodeo ini sejak Desember 2007. “Saya dikenakan hukuman penjara satu tahun lima bulan, dengan status pemakai sekaligus pengedar,” kata Hs. Menurut Hs, ia menggunakan Narkoba jenis sabu-sabu sejak tahun 1997. “Waktu itu saya masih kuliah di Makassar. Awalnya saya hanya mau mencoba rasanya bagaimana. Saya menggunakan sabu-sabu untuk menambah kepercayaan diri, serta menambah tenaga. Saya tidak pernah tahu bahwa hal yang saya rasakan setelah mengkonsumsi sabu sabu itu hanya ilusi belaka,” katanya. Menurut Hs, dampak dari penggunaan sabu itu sangat merusak. “Kita tidak akan merasa ngantuk walaupun tidak tidur sampai berhari-hari. Akibatnya berdampak pada kondisi tubuh yang lemah, dan kurus. Selain itu efek psikologis dari penggunaan narkoba seperti perasaan gelisah, sensitive, cepat marah, serta pelupa.

Ketergantungan terhadap barang ini akan memaksa kita untuk mendapatkan barang haram itu dengan segala cara, “ ungkapnya.
Hs juga sangat berterima kasih dengan bimbingan dari para sipir di lembaga ini yang membuatnya sadar akan kekeliruannya. “Di sini kami memiliki banyak kesibukan sehingga kami bisa membekali diri untuk terjun kemasyarkat umum,” katanya.
Hs menghimbau para remaja, agar lebih fokus terhadap kegiatan yang positif. “ Pergaulan yang salah adalah awal keterlibatan remaja dengan penggunaan obat terlarang. Anda jangan pernah mencoba, cukup anda tahu. Tanpa narkoba hidup ini bisa indah dan berarti,” himbau Hs. Setelah berbincang-bincang cukup lama kami pun berpamitan pulang.

Di luar kami bertemu dengan seorang ibu. Dia bercerita kalau ia sedang menjenguk anaknya yang sudah satu bulan lebih menghuni hotel pordeo tersebut. “Saya tinggal di Kota Jayapura. Saya ke sini tiga kali dalam seminggu besuk anak saya. Bapaknya sudah tidak peduli lagi,” ungkapnya. Menurut ibu yang menolak disebutkan namanya itu ia tidak pernah tahu pergaulan anaknya hingga suatu hari ia didatangi oleh pihak kepolisian bahwa anaknya ditahan di kantor polisi. “Dia dan teman-temannya tertangkap sedang pesta ganja,” katanya tak kuasa menitikkan air mata.
***

Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSUJ) Abepura Dr. Samo Adi, Sp KJ sampai saat ini RSUJ Abepura belum memiliki bangsal khusus untuk para pengguna narkoba, namun dari ke 36 pasien rumah sakit yang ditangani hingga saat ini memiliki latar belakang sebagai pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA). Yang dimaksud dengan nakotika yaitu obat-obatan yang bisa mengurangi rasa sakit seperti petidin. Psikotropika merupakan obat yang dapat mempengaruhi psikologi manusia, seperti leksotan dan ecstasy. Sementara yang dimaksud dengan zat aditif merupakan zat yang dapat mengarahkan seseorang kepada rasa ketergantungan misalnya alcohol.
Pasien yang ditangani di RSUJ Abepura, rata-rata berada pada kelompok umur 30 sampai 60 tahun, dan beberapa orang dari kelompok remaja. “Diantara mereka adalah rujukan dari keluarga, kepolisian, lapas narkoba, dan titipan dari kejaksaan,” kata dr Samo. Namun yang mengejutkan bahwa hampir setengah dari pasien berasal dari kaum perempuan.

Dampak penggunaan NAPZA
Ada dua dampak dari penggunaan napza yaitu efek yang diharapkan dengan tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan terdiri atas tiga bagian yaitu depresan, seperti perasaan tidak mengantuk contohnya heroin, morfin, stimulan seperti meningkatkan aktivitas sistim syaraf contohnya seperti sabu-sabu dan kokain, amphetamine dan yang ketiga adalah efek halusinogen yaitu mengakibatkan penderita mengalami halusinasi baik melalui penglihatan, pendengaran contohnya seperti penggunaan ganja, zat inhalan, dan ecstasy. Dampak yang tidak diharapkan seperti apatis dimana pemakai akan mengalami gangguan pertimbangan dan konsentrasi, gangguan perasaan seperti perasaan cemas, termasuk gangguan sex seperti penurunan libido, dan penurunan perhatian, penurunan denyut jantung.

Cara penanganan
Menurut dr. Samo Adi ada anggapan keliru kalau ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang tidak dapat dihentikan. Penanganan dapat dilakukan melalui program kesehatan jiwa, yang dilakukan secara bertahap, yaitu detoksifikasi, yaitu proses menghilangkan racun dalam tubuh, dan psikotherapi,yang meliputi terapi perilaku kognitif (pikiran), dimana pasien diyakinkan bahwa tanpa memakai Napza mereka bisa hidup normal, serta proses rehabilitasi, yaitu proses mengembalikan kondisi pasien seperti sebelum menggunakan Napza, yang ditujukan untuk stabilisasi mental dan emosional.

Selain penanganan secara medis, beberapa LSM juga memberikan perhatiannya melalui bimbingan konseling.
Dalam kaitannya dengan HIV-AIDS, dr. Samo mengakui hingga saat ini pihak RSUJ belum mempunyai VCT (Volountry Conceling Testing). “Hingga kini kami belum menemukan kasus pasien yang terinfeksi HIV-AIDS,” kata dr. Samo. (R3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar