Senin, 30 November 2009

Derita Di Tanah Impian


Jam baru menunjukkan pukul tiga pagi, Suminah bergegas dari pembaringan. Mengambil air wuduh di sumur belakang rumahnya selanjutnya menggelar sajadah untuk ritual sholat subuhnya. Sebait ungkapan doa terlantun lewat bisikan bibirnya. Anak, suami dan rejeki untuk hari ini adalah permintaan rutin disetiap doanya. Sejurus kemudian merapikan mukenah dan melipat sajadahnya.
Ia kemudian membuka tudung saji di meja makan. Segenggam nasi dingin meluncur mulus ke dalam mulutnya, ditemani segelas teh panas.
Setelah mencium kening ketiga anaknya yang masih terlelap ia berjalan keluar rumah sambil menenteng dua tas plastik hitam berisi tomat dan lombok jualannya, menunggu taksi ke arah Jayapura. Ditemui di salah satu sudut perkantoran instansi pemerintah di Dok IX Jayapura, Suminah menceritakan awal mula ia melakoni pekerjaannya itu.
Suminah, 48 tahun perempuan asal Surabaya ini merantau bersama suaminya ke Papua, tiga tahun lalu, tepatnya di Arso IV kabupaten Keerom. “Saya diajak kesini sama teman yang kebetulan pulang ke kampung (Surabaya-red). Dia banyak bercerita tentang mudahnya cari uang yang banyak di Papua. lahan kosong, jaminan pemerintah berupa rumah dan makanan. Pokoknya transmigrasi itu enak,” kenangnya. Tergiur oleh bujuk rayu teman sekampungnya tersebut Suminah dan Sutimin suaminya kemudian berkemas-kemas. Dengan bekal seadanya Sutimin sekeluarga kemudian kemudian berangkat bersama ketiga anaknya, dan meninggalkan kedua anak tertuanya.
Singkat cerita Sutimin sekeluarga tiba di “tanah impian”. Harapan tinggal harapan. Setibanya di Arso Sutimin sekeluarga harus numpang di rumah teman sekampungnya tersebut. Lama kelamaan perasaan risih mendera. “Kami tidak enak numpang terus di rumah teman,”. Mereka akhirnya memutuskan pindah ke salah satu rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya. “Saya tidak tahu itu rumah siapa,” katanya lagi. Kehidupan semakin tidak menentu. Untuk menghidupi keluarganya, suaminya hanya bekerja sebagai buruh kasar. Dua tahun kemudian atas alasan menjenguk anaknya di kampung Sutimin kemudian meninggalkan anak istrinya dan kembali ke Surabaya. Hari demi hari berlalu. Bulan berganti bulan. Sang suami yang diharapkan pulang untuk menafkahi tak kunjung datang. “Suami saya berangkat setahun lalu menjenguk anak tapi sampai sekarang belum bisa kembali. Tidak ada ongkos katanya”. Suminah semakin bingung karena harus membiayai hidup dan tiga orang anaknya. “Anak saya masih sekolah saya bingung membiayai mereka,”. Sadar tidak bisa mengharap sang suami ia kemudian berusaha mencari jalan. Dengan modal seadanya ia kemudian membeli lombok dan tomat yang banyak dihasilkan petani di Arso IV yang di jualnya di Abepura atau Jayapura.
Pagi itu dengan penuh keyakinan Sutinah berangkat ke Jayapura menawarkan dagangannya. Sesampainya di Terminal Abepura. Sutinah kemudian melangkahkan kaki beralaskan sandal jepit bututnya. Tidak ada tujuan pasti. Semata-mata hanya menjajakan dagangannya. Sesekali terdengar suaranya menawarkan jualannya ke rumah-rumah. Matahari sudah di ubun-ubun, namun jualan belum juga habis setengahnya. Panas mendera. Sutinah bingung tidak tahu mau kemana lagi. Pilihan terkahir pun dijatuhkan dalam sekejap. Tidak ada jalan lain kecuali ke Jayapura. Setibanya di Jayapura, Sutinah pun kembali berjalan kaki ke arah Dok IX. Panas matahari dan mulutnya yang kering karena berpuasa tidak membuatnya menyerah. Seperti biasanya ia berhenti di setiap kantor pemerintah untuk menawarkan dagangannnya sembari beristirahat. Beberapa pegawai dari dinas-dinas itu telah mengenalnya terutama para wanita.
“Saya tidak tahu mau bikin apalagi, jadi terpaksa saya seperti ini. Kadang tidak ada yang laku jadi terpaksa saya menginap di terminal karena tidak punya ongkos pulang. Tahun depan kalau ada uang saya mau pulang saja ke kampung. Saya sudah tua dan tidak kuat lagi menghidupi anak saya, bahkan untuk lebaran saya tidak ada uang sama sekali,” katanya polos.
Tapi hari itu ia beruntung jualannya laris semua. “Saya mau pulang dulu mas,” ujarnya sambil membenahi barang-barangnya. Lebaran sudah berlalu, namun seperti seperti tahun lalu tidak ada baju baru untuk anak-anaknya. (R3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar