Senin, 30 November 2009

Hapus Stigma


Persepsi pemerintah pusat dan militer terhadap masyarakat asli Papua
Menurut Neles Tebay Sejak Papua diserahkan Belanda kepada Indonesia orang Papua tidak diperlakukan sebagai orang Indonesia, tetapi dipandang sebagai musuh, lewat operasi-operasi militer yang dilaksanakan di Papua. Sehingga sejak awal sudah ada main set yang menempatkan orang Papua sebagai separatis, sehingga sejak 2 Mei orang Papua diperlakukan sebagai separatis atau musuh. Sejak itu juga berbagai operasi militer itu dilakukan dengan maksud memberantas musuh dan separatis. Jadi yang pertama harus dilakukan pemerintah pusat adalah mengubah pandangan tersebut. Pemerintah harus melihat orang papua sebagai orang Indonesia juga. Caranya orang papua harus diberi ruang untuk terlibat dalam pembangunan di Papua. Dimana kebijakan dilakukan di luar Papua tetapi pelaksanaannya dilakukan di Papua, sementara mereka tidak mengerti tentang kearifan lokal Papua. Berapa contoh ketidak adilan yang dialami oleh orang papua seperti
1. pengambilalihan hutan adat oleh perusahan perusahan kayu yang mendapat protes dari masyarakat adat Papua. Aksi protes tersebut langsung diterjemahkan sebagai aksi separatis. Jadi bagaimana kita bisa membangkitkan rasa nasionalisme rakyat Papua jika setiap aspirasinya langsung dituding sebagai separatis.
2. Setelah adanya UU otsus justru terjadi penambahan pasukan di wilayah Papua, yang walaupun kita tidak mengetahui jumlahnya namun Indikatornya jelas seperti penambahan Korem, pembukaan Kodim baru seiring pemekaran kabupaten baru, yang secara otomatis diikuti oleh pembentukan Koramil-Koramil baru di setiap distrik. Indikator lainnya adalah penambahan jumlah personil di batalyon-batalyon infantri baru, pembukaan pos-pos pengamanan baru. Hal ini jelas membuktikan bahwa telah terjadi penambahan jumlah [pasukan di tanah Papua, karena tidak mungkin semuanya itu dibangun tanpa penambahan personil pasukan, dan yang kita lihat yang berseragam, belum lagi yang tidak berseragam.
3. Sikap arogansi militer terhadap orang asli Papua. ”Jika mereka hendak kesuatu tempat mereka akan diinterogasi dulu. Hendak kemana, dan tujuannya apa, jadi hal ini membuktikan bahwa mereka mendapat perlakuan diskriminatif sehingga ruang geraknya terbatas. Mereka sepertinya bukan orang Indonesia sehingga harus diinterogasi. Kami malah merasa lebih aman sebagai orang Indonesia justru di luar Papua,”. Pengalaman saya tahun 80-an jika kita jalan-jalan maka kita harus bawa KTP, karena tentara pasti tanya, karena jika tidak ada KTP berarti separatis, dan aturan itu hanya berlaku untuk orang Papua, sementara pendatang tidak.
4. Pada saat pemilu lalu banyak orang papua yang tidak terdaftar dalam DPT. Hal ini menunjukkan orang papua tidak dianggap sebagai orang Indonesia, karena yang melakukan pendataan adalah pemerintah sendiri.
”Saya baru menyusun daftar penembakan yang terjadi beberapa minggu terakhir. Sekarang ini Papua sepertinya dijadikan arena atau tempat latihan tembak”. Kemarin yang heboh itu di Timika karena korbannya orang asing, sementar jika yang korban itu orang Papua itu tidak dihargai sama sekali mungkin dianggap tidak bernilai,”
Jadi yang menyatakan orang Papua itu bukan orang Indonesia adalah pemerintah sendiri dan militer hal itu tercermin dari sikap dan tindakan mereka terhadap orang Papua asli. Nasionalisme orang Papua hanya diukur sejauh mana ia mengibarkan bendera merah putih. Sekalipun Ia mengibarkan bendera merah putih ia tetap diasumsikan sebagai separatis. Sebagai anggota dewan, pejabat pemerintahan, atau apapun tetap saja ada kecurigaan bahwa mereka itu separatis. Tidak ada cerita bahwa operasi militer dilakukan di Papua untuk mengejar orang non Papua yang tinggal di Papua. Sasarannya tetap orang asli Papua, sehingga dalil separatis selalu dijadikan alasan untuk membunuh orang Papua. Hal inilah yang menyebabkan biasa berkata ; jika kami tidak dipandang sebagai orang Indonesia maka biarkan kami mengurus diri sendiri”. Jadi dalam hal ini orang Papua hanya sebagai akibat, sementara penyebabnya adalah pemerintah sendiri.

Kegagalan Implementasi Otsus
Pada dasarnya UU otsus itu teorinya bagus, karena ada perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan, dan jika perdasus dan perdasi tidak bermuara kesini bararti harus diganti, dan ini adalah fungsi dari MRP, untuk mengawasi. Persoalannya adalah sejak awal pemerintah tidak menghendaki otsus. UU otsus dilakukan untuk meredam tuntutan rakyat Papua untuk merdeka sedang bergejolak bahkan gaungnya sampai ke dunia Internasional. ”Karena tidak ada niat baik pemerintah untuk menjalankan otsus, maka dalam setiap kebijakan di papua selalu bertentangan dengan UU otsus,” ujarnya. Hal itu terbukti ketika Presiden megawati menandatangani UU otsus tahun 2001 sedangkan pada januari 2003 meneluarkan inpres pemekaran 3 provinsi di Papua. Yang kedua menurut UU otsus MRP dibentuk setelah 6 bulan stelah lahirnya Otsus namun hal tersebut harus menunggu 4 tahun untuk pembentukan MRP. Yang ketiga presiden SBY mengeluarkan inpres percepatan pembangunan, dan hal ini tumpang tindih dengan UU otsus dan yang lebih parah lagi hal ini disetujui dan diterima oleh pemerintah provinsi, mungkin mereka mengira akan ada dana khusus untuk inpres seperti otsus. Pemekaran provinsi Otsus justru membawa kerancuan, karena dengan dengan demikian disana juga menuntut pembentukan MRP. Perlu ada pengadilan Ham, sehingga disana juga harus ada pengadilan HAM juga KKR, jika dibentuk apa dasar hukumnya demikian sebaliknya. Hal ini sengaja dilakukan pemerintah pusat. Kemudian UU otsus juga mnegisyaratkan bahwa orang Papua boleh memiliki bendera sebagi lambang jati diri. Perdasus yang harus dibuat gubernur jadi gubernur mana yang harus membuatnya. Jadi kebijakan pemerintah pusat tersebut cenderung menghambat pelaksanaan implementasi otsus. (R3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar