Kamis, 19 November 2009

Suatu Senja di Tanjung Elmo, Sentani





Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 namun matahari masih terasa panas. Tidak terkecuali di komplekas tanjung Elmo, Sentani, yang lebih akrab disebut Sentani kiri, yang merupakan lokalisasi Pekerja Sex Komersial. Sebuah tulisan “Selamat datang. Anda memasuki Kawasan 100 % wajib kondom” menghiasi gerbang jalan masuk lokalisasi. Di samping sebelah kanan gerbang terdapat juga sebuah papan pemberitahuan berupa tulisan, yang hampir luput dari pandangan. Setelah mata kru Foja terbelalak membaca tulisan tersebut. Pemberiitahuan tersebut berupa larangan melakukan kegiatan prostitusi di wilayah itu, namun karena terbuat dari plat besi dan sudah dimakan karat sehingga hampir sudah tidak terbaca lagi. Yang jelas pemberitahuan itu adalah keputusan Bupati Jayapura bertahun 1997. Memasuki areal kompleks puluhan pasang mata perempuan penghuni kompleks tampak nanar mengawasi setiap kendaraan dan pejalan kaki yang lewat. Di beberapa beranda pondokan juga berkerumun beberapa orang wanita yang sedang bercengkrama sambil tertawa. Mungkin sedang berbagi cerita tentang pengalaman mereka semalam. Melanjutkan perjalanan ke bagian belakang kompleks, suasana semakin ramai. Sebuah bangunan mungil bertingkat. Bangunan ini merupakan pusat dari Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan HIV-AIDS Elmo Sehat. Tidak jauh dari sini juga terdapat bangunan Wisma Kesehatan Terpadu, yang merupakan milik dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Papua, yang merupakan klinik tempat pemeriksaan kesehatan para PSK. “Kami membuka pelayanan dari hari Senin hingga Kamis, setiap minggunya. Pemeriksaan itu meliputi IMS,….. .>Jumlah PSK disini (Tanjung Elmo) kurang lebih 300 orang. Pada dasarnya mereka (PSK) cukup respon dengan pelayanan klinik ini,” kata Ria, yang merupakan Koordinator Klinik Wisma Kesehatan Terpadu Cenderawasih (WKTC). Awalnya kru Foja cukup kesulitan untuk melakukan wawancara dengan PSK. Mereka sepertinya takut atau malu untuk diekspos. Atas bantuan dan pendekatan dari ibu Ria, Foja akhirnya bisa bertanya jawab dengan mereka.

***

Menurut Inneke (samaran) 32 tahun, ia datang ke Tanjung Elmo sejak pertengahan 2007. “Saya lupa persisnya mas,” ungkapnya. Inneke sendiri datang kesini atas ajakan temannya yang telah terlebih dahulu bekerja disini. Inneke yang mengaku berasal dari Malang, Jawa Timur ini adalah seorang janda beranak dua. “Saya cukup kesulitan membiayai hidup dan pendidikan anak saya, yang saat ini sudah duduk di kelas satu SMP dan kelas dua SD. Jadi terpaksa saya nekad merantau demi masa depan mereka,”. Setibanya di Jayapura Inneke bingung mau kerja dimana. Dalam kebingungannya itu ia terpaksa menerima tawaran temannya yang telah terlebih dahulu bekerja sebagai PSK untuk bekerja sebagai PSK di Tanjung Elmo. Namun Inneke terpaksa merahasiakan pekerjaannya sama keluarganya di Jawa. “Keluarga tahunya saya bekerja di restoran,”. Inneke mengungkapakan bahwa dalam semalam ia bisa melayani tamu hingga tiga orang, dengan bayaran dari Rp.200.000, hingga Rp.300.000 per-tamu. “Tapi biasa juga dalam semalam tidak ada tamu,” katanya tersenyum. Dari hasil kerjanya tersebut setiap bulannya ia bisa mengirim dua juta rupiah ke kampung halamannya.

Lain lagi dengan Lastri (samaran) 37 tahun, janda tiga anak asal Madiun Jawa Timur ini mengaku terpaksa bekerja sebagai PSK, karena terlilit utang yang cukup banyak, sementara ia sendiri harus menghidupi orang tua dan anaknya yang masih sekolah. “Saya kesini tahun 2006 lalu. Saya terpaksa bekerja sebagai PSK karena saya sudah tidak tahu lagi cara membayar utang keluarga yang banyak. Sementara anak saya juga sedang sekolah,” ungkapnya. Lastri bersyukur dari hasilnya bekerja selama tiga tahun saat ini utangnya sudah lunas, bahkan salah seorang anaknya telah lulus SMK. “Saya malah mau menyekolahkan anak saya hingga keperguruan tinggi, tapi katanya ia tidak mau jadi beban terus. Ia mau mencari kerja saja,”. Ditanya soal pengalaman pahit menjadi seorang PSK, Lastri mengungkapkan sering mengalami perlakuan kasar dari tamu yang sudah mabuk. “Ada juga yang marah kalau disuruh pake kondom. Jadi kalu mereka tidak mau pake kondom kita tolak, soalnya kami takut tertular penyakit,” ungkapnya tersipu malu. Lasti juga menceritakan bahwa hingga saat ini rahasia tentang pekerjannnya di Jayapura masih tersimpan kepada anak-anaknya. “Anak-anak tidak tahu kecuali orang tua saya. Saya sangat takut jika mereka sampai tahu. Pasti mereka sangat kecewa,” katanya dengan menyeka airmata sambil memalingkan wajahnya, seolah-olah tidak ingin terlihat kalau ia sedang menangis. Namun dalam waktu dekat Lastri sudah berniat untuk kembali ke kampung halamannya. “Saya sudah punya tabungan, sehingga saya berniat pulang untuk buka usaha, selain itu saya juga sudah rindu berkumpul dengan keluarga,” katanya berlalu.

Di temui di tempat yang sama seorang gadis yang berkulit putih bersih, yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Gadis muda ini mengaku berumur 21 tahun namun hal itu tidak tampak pada raut mukanya yang kelihatan masih belasan tahun. Berbeda dengan kedua temannya diatas, tidak banyak keterangan yang diperoleh dari gadis ini. Nampaknya ia lebih memilih bercanda ria dengan teman-teman se-profesinya ketimbang menjawab pertanyaan kami. Dengan terpaksa kami pun berpamitan. “Silahkan mas,” katanya dengan nada mengusir. Dari kejauhan samar-samar masih terdengar senda-gurau mereka, seakan-akan tidak peduli dengan kepergian kami.

Kami kemudian melanjutkan penelusuran. Kali ini kami mencoba menemui salah seorang germo atau mucikari. Hendry (samaran), lelaki paruh baya ini mengaku memiliki sebuah wisma, yang menampung 15 orang PSK. “Umurnya bervariasi. Antara 17 hingga 40 tahun,” ungkapnya. Hendry mengaku setiap PSK wajib menyetor uang kamar sebesar 20.000 rupiah setiap melayani tamunya, di samping biaya lampu dan air setiap bulannya. “Kalau pendapatan tidak bisa dipatok soalnya kadang sepi, seperti waktu dulu. Ramai jika tanggal muda aja,” katanya acuh tak acuh, sepertinya kurang senang dengan kehadiran kami. Kami pun berpamitan.

Sejarah Tanjung Elmo

Ditemui di kediamannya di bagian luar lokalisasi tanjung Elmo, Elvis Doce yang merupakan Ondoafi setempat, mengungkapkan bahwa dahulunya tanah itu merupakan hak ulayat dari suku Doce. “Dahulu tanah adat itu bernama Elmo, namun setelah tempat tersebut dijadikan lokalisasi entah mulai darimana diberi nama Tanjung Elmo. Diberi nama Tanjung karena daratannya yang menjorok ke laut,” ungkapnya. Menurut Elvis, tanah tersebut dilepaskan ke pengusaha lokalisasi sewaktu Mesakh Doce, ayahnya menjabat sebagi ondoafi suku Doce. “Waktu itu tahun 1978, awalnya mereka hanya kontrak, namun pada tahun 1991 ayah saya akhirnya melepaskan tanah tersebut kepada pengusaha lokalisasi, berikut sertifikatnya,”. Tahun 1997, Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir sempat mengeluarkan Keputusan Bupati berupa larangan melakukan kegiatan prostitusi di daerah ini, (terbukti papan pemberitahuan di depan jalan masuk lokalisasi) namun hal ini tidak direspon baik dari penghuni. “Bahkan dalam Musyawarah besar Masyarakat Lembaga Adat yang dilaksanakan di kampung Ayapo, menyepakati untuk memindahkan lokalisasi tersebut, karena limbahnya berupa sampah sangat mencemari ekosistem danau Sentani. Walaupun kepemilikan telah berpindah tangan, namun Elvis merasa tetap bertanggungjawab terhadap keberadaan lokalisasi tersebut. “Saya selalu melakukan pemantauan ke dalam. Beberapa kasus yang saya temui ada PSK yang datang tanpa mengetahui tujuannya. “Ada yang mengaku dijanjikan pekerjaan layak, namun setibanya di sini mereka ternyata dipekerjakan sebagai PSK. Bahkan pernah ada yang melarikan diri,” ungkapnya.

Menurut Elvis alternatif untuk menutup lokalisasi tersebut merupakan sebuah dilema. “Jika ditutup kemungkinan PSK tersebut akan beroperasi di jalanan, sehingga tidak terkontrol kesehatannya seperti di lokalisasi yang sangat berdampak pada penularan HIV-AIDS, maupun penyakit kelamin lainnya. Elvis menyarankan agar ada pengendalian terhadap jumlah PSK yang masuk, karena di tengarai para PSK masuk jumlahnya semakin bertambah setiap ada kapal yang masuk di pelabuhan Jayapura. Elvis juga sangat mengharapkan jika suatu saat kawasan ini di ubah menjadi kawasan yang lebih bermanfaat seperti tempat pelatihan. “Untuk mengurangi jumlah mereka seharusnya PSK yang berusia tua di pulangkan ke daerah asalnya, atau di beri keterampilan untuk mencari pekerjaan lain, karena bagaimanapun mereka juga manusia yang layak menjalani hidup yang lebih baik,” tambahnya. (Pat/R8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar