Jumat, 20 Agustus 2010


Awasi Bahaya Laten Teknologi Informasi

Dewasa ini kebutuhan teknologi informasi sudah memposisikan dirinya menjadi sebuah kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua kalangan sudah tersentuh dengan salah satu bentuk arus modernisasi ini. Mulai dari anak kecil, hingga dewasa. Bahkan sebelum munculnya situs-situs pertemanan seperti facebook, twitter, multyplay, dan friendster, yang bisa diakses melalui hand phone terlebih dahulu teknologi internet sudah digandrungi oleh hampir semua kawula. Selain digunakan untuk hal-hal positif tidak jarang juga yang menggunakannya untuk mengakses hal-hal negatif.

Dalam sebuah penelitian di ssalah satu Sekolah Menengah Pertama di Kota Mojokerto, tahun 2008 lalu mengenai dampak penggunaan hand phone bagi pelajar, menyimpulkan bahwa hand phone sangat berpengaruh terhadap kualitas belajar siswa, untuk itu mengurangi penggunaan handphone harus dikurangi.

Seiring dengan maraknya kebutuhan akan teknologi informasi, di Kota Jayapura, selain penggunaan hand phone super canggih dari berbagai merek, juga bermunculan tempat penyewaan internet (warnet) di beberapa titik. Hampir semua warnet terutama pada malam hari akan ramai dikunjungi. Dari pantauan Foja di beberapa warnet di Kota Jayapura pengunjung bahkan harus rela mengantri untuk mendapatkan kesempatan menggunakan salah satu ruang sewa.

Menurut Oki, salah seorang penjaga warnet yang terletak di jantung Kota Jayapura, warnet jagaannya itu buka sejak jam 09.00 hingga 00.00. “Ramainya pas mulai sore. Pada malam minggu atau hari Minggu pengunjung membludak, bahkan harus antri. Dari pengunjung yang datang rata-rata kawula muda. Mereka biasanya minta dibuatkan facebook. Ya terpaksa dilayani,” kata Oki. Mereka rata-rata main FB, hanya sedikit yang cari data. Bahkan sering ada kejadian mereka minta cetak gambar seronok. Ada juga yang men-dwonload film-film. Tak jarang juga yang datang untuk keperluan tugas sekolah atau kampus. Yang pasti bahwa seorang pengunjung mampu menghabiskan waktu dua hingga tiga jam bahkan hingga lima jam. “Sejam 7.000 rupiah mas,” kata Icha salah seorang pengunjung.

Direktur Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Papua (YPKM), Tahi Butar Butar, M.Kes mengatakan penggunaan teknologi yang salah, akan berdampak sangat negatif terhadap generasi muda bahkan semua kalangan. “Berbagai media sekarang sangat berpotensi untuk mempengaruhi perilaku seseorang, mulai dari internet, hand phone, televisi, media cetak. Serbuan media ini sangat dahsyat. Fakta bahwa yang aktif mengkonsumsi tayangan berbau pornografi ini adalah usia produktif, dan seksual aktif. Jika ia menkonsumsi tayangan itu maka secara otomatis akan ada dorongan seksual, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya perilaku yang menyimpang, bahkan kekerasan seksual,”. Sadar atau tidak sadar, 80% tayangan media televisi sekarang adalah tontonan yang menggiurkan.

Untuk itu pihak media juga memperhatikan jadwal tayang dari tayangan berbau pornografi, dan lebih selektif dalam memilih informasi atau tayangan. Yang terpenting adalah bagaimana orang tua menjaga anaknya dari ancaman perilaku menyimpang akibat dari tontonan yang kurang mendidik. Jika pengaruh negatif ini bisa dicegah sejak dini, maka kemungkinan untuk terjebak pada perilaku menyimpang tidak akan terjadi.

Hal senada diungkapkan oleh oleh Ketua KPA Papua, Drh. Constant Karma bahwa dampak negatif dari era globalisasi teknologi informasi, terutama penggunaan internet maupun hand phone canggih, di kalangan pemuda maupun pelajar harus diantisipasi. Dampaknya akan menjerumuskan generasi muda Papua terutama dalam pergaulan bebas, sehingga tingkat penyebaran HIV/AIDS akan semakin tinggi di Papua. Mulai sekarang harus sudah ada langkah antisipasi dan pencegahan terutama para generasi muda.

Generasi muda juga harus peduli dengan ancaman virus ini dengan tetap menjunjung nilai-nilai agama. Jika ingin menggunakan teknologi seperti internet maka harus gunakan sesuai dengan tempatnya, terutama untuk kebutuhan informasi maupun pendidikan, tidak boleh menggunakan untuk hal negatif. Hampir 4 juta situs porno telah tersebar di internet, ini membuktikan bahwa pengaruh porno begitu gampang diakses. “Salah satu hal negatif yang ditimbulkan oleh dari era globalisasi ini, adalah tingginya penggunaan situs porno di kalangan generasi muda,”.

Sekarang ini teknologi dan informasi sudah menjadi kebutuhan mendasar, terutama bagi kalangan akademisi, maupun lembaga. “Mau tidak mau kebutuhan akan IT sudah menjadi barang yang tidak bisa dibendung lagi keberadaannya. Yang kita inginkan sekarang adalah penggunaan internet sehat, dimana upaya dari seseorang untuk memanfaatkan teknologi ini secara positif. Jadi dalam mengakses informasi tergantung kepada masing-masing pengguna,” kata Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Marajohan Panggabean. Panggabean juga menyesalkan susahnya memerangi situs-situs porno yang dapat diakses oleh pengguna. “Untuk memblokir situs-situs tersebut susah!. Masalahnya karena hal ini juga terkait dengan kepentingan bisnis,” katanya.

Hal senada diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura Drs. Anwar Ma’mun MS.i, bahwa kurikulum yang diterapkan sekarang berbasis Information Communication dan Technologi (ICT), yang merupakan pengembangan dari Information Technologi (IT). Ini sudah menjadi keharusan di tingkat sekolah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Soal informasi yang diakses merupakan pilihan. “Kita berharap mereka bisa memanfaatkan internet sebagai sumber informasi bagi materi pembelajaran. Bahkan buku pendidikan, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan sekarang ini bisa dibeli melalui internet, dengan harga yang lebih murah. Tinggal kita gandakan saja” katanya.

Lewat akses internet juga sudah dapat menjadi sumber materi bahan pengayaan, atau penambahan materi pembelajaran. Yang ke tiga dapat digunakan sebagai kegiatan penugasan dan penilaian. Sekarang ada guru yang memberikan tugas melalui internet, kemudian dikerjakan, serta dikirim kembali lewat internet. Biasanya ini diterapkan oleh guru-guru yang mengajar IT. Di sekolah sekarang kan ada mata pelajaran Teknologi Informasi. Inilah yang menjadi sisi positif dari kehadiran teknologi canggih di bidang pendidikan. Persoalan bahwa ada yang menggunakan kemudahan itu untuk hal-hal negatif tentunya sangat disayangkan karena ini sangat merugikan diri sendiri, terutama dari segi psikologinya.

Tugas pendidikan bukan hanya tugas pemerintah sekolah dan orang tua, tetapi juga lingkungan masyarakat jadi untuk itulah semua pihak harus perduli. Misalnya saja penyedia jasa penyewaan internet, seharusnya ikut melakukan proteksi agar pengunjung tidak bisa mengakses situs-situs tersebut. Saya pikir kalau seorang anak dibekali dengan pengetahuan agama yang baik maka ia tidak akan terjebak ke dalam hal-hal negatif. Demikian pula dengan facebook yang sedang tenar sebenarnya juga mempunyai fungsi pembelajaran. Banyak yang bisa digali dari orang lain. Selain itu sebenarnya IT jika berfungsi dengan baik, mampu memberi pembelajaran bagaimana memiliki potensi entreprenauship sejak awal. “Kesimpulannya manfaat dari teknologi ini lebih banyak ketimbang dampak negatifnya,” tukasnya.

Regional Manajer Wahana Visi Indonesia (WVI) Papua mengatakan bahwa pada dasarnya teknologi media yang lagi tren di kalangan remaja saat ini seperti facebook, sangat baik. Media ini bisa kita manfaatkan untuk menggali dan menyampaikan informasi yang baik untuk membangun karakter. “Ini hanya alat yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan sebuah ide atau gagasan, jadi tergantung kepada orangnya digunakan untuk apa,”. Karetji sangat menyayangkan bahwa banyak media seperti ini yang digunakan tidak semestinya. Misalnya komentar-komentar yang sebenarnya tidak perlu ditampilkan dimunculkan juga. “Banyak pengguna yang hanya menyampaikan informasi yang tidak penting. Itukan tidak berguna,” katanya.
Untuk media lain seperti internet banyak pihak yang berpandangan bahwa hal itu berdampak negatif bagi aspek kehidupan, terutama bagi remaja. Teknologi sekarang ini sudah memainkan perannya dalam kemajuan dunia pendidikan. ”Saya ambil contoh Papua yang memiliki kondisi geografis, yang tidak mudah diakses, sementara kebutuhan akan pendidikan sangat diinginkan masyarakatnya. Jika kita menggunakan sistim konvensional seperti sekarang kan sangat sulit.

Misalnya kita menempatkan sejumlah guru di sana, mereka ini akan sangat kesulitan dalam hal penunjang baik untuk materi pembelajaran, maupun untuk diri sendiri. Ini menjadi masalah yang kompleks. Untuk itu teknologi informasi menjadi sebuah solusi sebagai jembatan penghubung antar daerah terisolir. Jadi seorang guru yang ditempatkan di sana mampu memfasilitasi proses belajar. Kita sudah mulai mencoba teknologi seperti ini yang diujicoba di Keerom, melalui kerjasama ITB dengan Dinas Pendidikan Provinsi Papua, dengan menggunakan teknologi infra red, sehingga proses prmbelajaran bisa dilakukan baik on line maupun off line. Jadi intinya teknologi harus dipandang sebagai sebuah sumber daya, kalau tidak dimanfaatkan, maka kita akan merayap dalam pembangunan. Tinggal bagaimana mempersiapkan masyarakat untuk menerima perubahan ini.

Modern yang Sebenarnya
Sosiolog Universitas Cenderawasih lebih gamblang membeberkan persoalan pengaruh teknologi ini bagi masyarakat. “Secara teoritis, pada proses transformasi budaya, maka ada dua istilah yang dipakai yaitu westernisasi yang cenderung mengikuti kebiasaan dunia barat, seperti cara berpakaian, cara makan, life style, teknologi, gaya berfikir, tingkah laku dan lain-lain. Sementara istilah yang lebih sering digunakan adalah modernisasi, yang terjadi karena ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, yaitu langsung menyentuh, melalui perubahan perilaku, norma, biasanya melalui media.

Proses masuknya informasi ke dalam masyarakat, melalui tiga tahapan, yaitu mengenal, meyakinkan diri bisa memberikan manfaat dan memakai. Pada proses memakai inilah yang sangat menentukan apakah ia menggunakan untuk positif atau negatif. Untuk itu pengaruh modernisasi ini memerlukan filter, jika tidak ingin menghancurkan masyarakat.

Filter yang dimaksud adalah bagaimana orang mempersiapkan diri menerima modernisasi, agar tidak menjadi alat atau objek dari teknologi. Dalam hal ini pengguna teknologi harus selektif artinya sebuah inovasi, media baru, sebagai lambang dari modernisasi, pada dasarnya diciptakan dengan sebuah akses manfaat, tinggal bagaimana konsumen menggunakannya, sehingga harus siap, baik mental, psikologi, norma agama dan lain-lain. “Saya khawatir saat ini malah terjadi shock culture, yaitu tidak ketidakmampuan menggunakan teknologi secara baik pada generasi muda. Bagi mereka yang menggunakan teknologi secara negatif dia tidak merasakan manfaat, tetapi hanya sebagai alat dan itu artinya ia dikuasai oleh teknologi, dan itu tidak bisa disebut modern,”. Menurutnya yang menggunakan teknologi untuk hal positif, maka itu yang disebut menguasai teknologi dan modern. “Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan modern bukan bentuk fisik saja seperti bangunan, sarana prasarana, teknologi canggih, tetapi merupakan sebuah kesatuan termasuk perubahan perilaku, atau nilai tambah, yang diperoleh melalui pemanfaatan teknologi. Misalnya hasil pertanian yang meningkat karena penggunaan traktor, materi pembelajaran yang up to date melalui pemanfaatan teknologi internet. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan modern,” katanya.

Lebih lanjut Levaan mengatakan bahwa UU Otsus sebenarnya membawa nilai-nilai modernisasi bagi masyarakat Papua, seperti bagaimana menjaga harkat manusia, bagaimana membangun di segala bidang. Pertanyaannya adalah sejauh mana nilai-nilai ini diterapkan secara baik. Salah satu faktor adalah harus ada perda-perda yang mengatur agar diikuti oleh masyarakat Papua, namun pada kenyataannya belum dilaksanakan. Jadi sebenarnya modernisasi di Papua masih sebatas symbol atau stigma, belum sampai pada perubahan perilaku. (Junaedy Patading)

Minggu, 08 Agustus 2010

FOJA Edisi 27 / VII / 2010


Anak Papua Itu Cerdas, Bahkan Jenius


Wahana Visi Indonesia (WVI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam advokasi anak, khususnya bidang pendidikan. Saat ini WVI menyantuni sekitar 17. 000 anak Papua. Tersebar di tiga cluster, yaitu sekitar Jayapura, Keerom, Wamena, Kurima, Mulia, Karubaga, Lani Jaya, dan lain-lain. Cluster selatan seperti Merauke, Boven Digul, dan Pantai Kasuari. WVI pun sedang merancang ekspansi pelayanan ke Kabupaten Jayapura, Biak dan Wamena. Seperti apa potensi anak Papua? Mengapa Manager WVI Region Papua Drs. Roriwo Karetji, MM meyakini anak Papua itu cerdas, bahkan jenius? Reporter Majalah Berita FOJA, Junaedy Patading melakukan wawancara eksklusif di ruang kerjanya belum lama ini. Berikut petikannya.

Fokus pelayanan WVI itu sesungguhnya apa, ya?
Sejak berdiri WVI fokus pelayanan pada anak. Khusus Papua, yang paling kita dorong adalah pelayanan bidang pendidikan dan informasi mengenai HIV-AIDS. Bidang pendidikan misalnya, seorang anak harus menyelesaikan pendidikan minimal 12 tahun. Yang kita lakukan adalah meningkatkan pembelajaran melalui guru-guru. Misalnya dengan menambah metodologi mengajar agar guru bisa mengajar dengan baik. Lalu kita evaluasi untuk mengetahui manfaat dari apa yang sudah dilakukan.

Faktor yang menghambat?

I n i masalah klasik. Masih soal kondisi geografis. Kita kesulitan menjangkau a n a k - a n a k d i pedalaman. Ini sangat berpengaruh terhadap pelayanan kami. Faktor penghambat lainnya soal fasilitas pendidikan. Kondisi fasilitas pendidikan di pedalaman Papua begitu memprihatinkan. Bangunan sekolah tidak memadai, rusak di sana-sini. Bayangkan, gurunya juga hanya satu. Buku-buku pelajaran sangat kurang dan masih banyak lainnya lagi.

Dukungan keluarga dari anak-anak di pedalaman?
Dukungan keluarga juga sangat kurang. Keluarga di pedalaman Papua belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Itu sebabnya mereka tidak menyediakan fasilitas yang memungkinkan anak-anak bisa belajar di rumah agar bisa menempuh pendidikan dengan baik.

Bagaimana dengan masalah kesehatan?
Kesehatan juga memprihatinkan. Pola hidup sehat yang menganjurkan makan makanan bergizi belum menjadi perhatian keluarga-keluarga di pedalaman. Mereka sudah punya pola makan s e n d i r i y a n g sulit diubah. Padahal alam Papua begitu subur, menyediakan berbagai sumber bahan makanan. Saya kira ini merupakan tantangan tersendiri. Sekarang tinggal bagaimana kita mampu mengubah pola hidup mereka yang sudah membudaya. Karena budaya terinternalisasi dari generasi ke generasi melalui suatu proses yang lama. Namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan memberikan informasi dan pendidikan secara terus menerus saya yakin akan terjadi perubahan.

Apakah anak Papua masih punya harapan?
Just ru ini yang ingin ki ta buktikan. Sebenarnya anak-anak Papua jika diajar dengan baik tidak akan kalah dengan anak-anak lain di Indonesia. Contohnya, anak-anak yang kita kirim belajar di Yohanes Surya Institute. Mereka memperlihatkan hasil yang positif. Yang perlu diketahui, anak-anak itu direkrut dari daerah sangat terpencil. Orang tua mereka masih kenakan koteka. Tapi lihat hasilnya. Mereka memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan masuk kategori jenius. Bayangkan, dalam 3 bulan mereka sudah mampu menguasai pelajaran SMP yang seharusnya selesai dalam 3 tahun (pendidikan formal). Menurut saya jika sumber daya anak-anak Papua digali dengan metode belajar yang baik hasilnya tidak akan kalah dengan anak-anak lainnya di Indonesia.

Motivasi anak-anak di pedalaman itu seperti apa, ya?
Yang saya lihat motivasinya bagus, anak-anak di pedalaman itu mau maju. Semangat untuk maju begitu luar biasa. Ini merupakan suatu potensi yang baik. Sebetulnya mereka sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Bahkan kadang mereka datang ke kota hanya dengan modal nekat. Di kota mereka survive (berjuang) untuk hidup, membiayai sekolah atau kuliahnya sendiri. Entah sebagai loper koran, tukang sapu jalan, tukang parkir atau pekerjaan sektor informal lainnya. Mereka bertarung di kota tanpa ada dukungan finansial dari keluarga atau orang tuanya. Kenyataan ini bisa kita lihat di kota Jayapura sekarang ini. Banyak dari mereka akhirnya berhasil.

Seperti apa fenomena anak jalanan di mata anda?
Saya kurang setuju kalau mereka disebut ’anak jalanan’. Saya lebih suka menyebut mereka ’anak di jalan’. Anak yang ada di Kota Jayapura, maupun kota lainnya di Papua jika dibandingkan dengan anak-anak yang ada di kota besar lainnya di Indonesia, pola hidupnya sangat berbeda. Mereka ini masih terkait dengan keluarga. Mereka masih punya rumah dan hidupnya tidak semua dihabiskan di jalan. Sementara yang di Jakarta misalnya, hidupnya memang 24 jam di jalan, dan apa saja bisa menimpa mereka seperti pelecehan seksual, terlibat narkoba, minuman keras, mengalami kekerasan, dieksploitasi oleh pihak tertentu dan lain-lain.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka?
Justru sebaliknya. Jika hal ini dibiarkan terus, maka tidak mustahil suatu waktu keadaannya akan sama dengan anak jalanan di Jawa. Ini harus segera ditangani. Harus ada program yang jelas dari pemerintah. Mereka yang usia sekolah harus didekati agar bisa melanjutkan pendidikannya lagi. Bagi mereka yang bukan usia sekolah, mungkin harus diberi keterampilan tertentu agar berdaya dan produktif. Jadi penting untuk dilakukan pembinaan.

Sejak kapan anak ’di jalan’ ini muncul?
Mereka muncul sekitar tahun 90, tapi masih sangat jarang. Tahun 90-an ke bawah bisa dikatakan tidak ada. Maraknya sekitar tahun 2003-2004. Saya tidak mau mengatakan bahwa ini terjadi setelah era Otsus, tetapi memang mulai marak ketika aktivitas ekonomi mulai berjalan. Akses terbuka, euforia pembangunan, terjadi perkembangan kota. Hal ini perlu ditelusuri, mungkin saja anak ini terpinggirkan sehingga turun ke jalan. Ini harus diteliti dengan pendekatan antropologi dan sosiologi.

Yang mendorong mereka ke kota dan turun ke jalan?
Dalam teori migrasi ada dua faktor, yaitu push factor (faktor pendorong) dan pull factor (faktor penarik). Tentu perkembangan kota sangat mempengaruhi peningkatan anak-anak jalanan. Sama halnya dengan Kota Jakarta yang begitu menarik bagi orang-orang dari provinsi lain. Namun ada satu hal yang menjadi masalah bahwa banyak yang datang ke Jayapura namun tidak memiliki keterampilan dan latar belakang pendidikan memadai. Akhirnya, mereka melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu ada juga yang turun ke jalan karena latar belakang persoalan keluarga.

WVI punya program untuk tangani masalah ini?
Untuk Papua saat ini belum, kecuali untuk program pusat memang ada. Tapi kalau mau jujur sebenarnya sudah ada, namun belum spesifik benar. Kami telah memulai kerjasama dengan pihak ILO (International Labour Organization) untuk beberapa program pemantauan pekerja anak agar mereka kembali ke bangku sekolah seperti CLMS (Child Labour Monitoring System). Ke depan kami pasti mulai memikirkan hal ini.

Apa makna dari Peringatan Hari Anak Nasional?
Berkaitan dengan peringatan Hari Anak Nasional, kita seharusnya disadarkan akan adanya hak-hak anak sesuai Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang sudah diratifikasi. Kita harus mengetahui bahwa anak-anak juga mempunyai hak yang harus dilindungi seperti mendapat pendidikan, layanan kesehatan dan lingkungan yang baik. Hal yang diperhatikan menyangkut anak ada 4 aspek yaitu; hak untuk hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk berkembang (pendidikan dan kesehatan) dan hak partisipasi.

Itu berarti pola mendidik anak di lingkungan keluarga juga harus dicermati. Sudah saatnya menghentikan kekerasan terhadap anak. Ruang untuk berpendapat juga mesti disediakan. Seperti hak untuk berpendapat, mengemukakan persoalannya. Karena satu hal yang menjadi kesalahan kita selama ini bahwa kita sebagai orang tua sepertinya sangat paham dan mengetahui persoalan anaknya, tetapi sebetulnya tidak. Padahal permasalahan anak itu harusnya kita tahu dari sumber yang pertama (anak-anak sendiri). Jika ini bisa dilakukan, maka akan sangat membantu dalam pembuatan program yang disesuaikan dengan persoalan anak. (*)

FOJA Edisi 27 / VII / 2010



Papua Terancam Lost Generation

Gawat. Himpitan persoalan kesehatan ibu dan anak yang melanda rakyat miskin di Papua sudah mencapai stadium darurat. Asupan gizi kaum ibu, terutama ibu hamil ternyata sangat mengenaskan. Bayi dan balita pun sama mirisnya. Sementara di sektor pendidikan, barisan panjang anak jalanan menjadi hantu pembangunan. Apakah realitas ini menjadi indikasi sedang terjadi proses lost generation di Tanah Papua?


Bo cah-bo cah k e c i l , r amb u t keriting. Tubuh hitamnya terlihat kurus, seperti lidi. Perutnya buncit, p e r s i s wa n i t a hami l . Tul ang b e l u l a n g n y a mencuat, seakan hendak menembus kulit. Begitu kuyu. Bola mata pun sayu, tak bergairah. Sesekali mereka menyeka ingusnya yang kental dengan punggung tangan.

Dari kejauhan seorang wani ta dengan profil nyaris s e rupa datang me n g h amp i r i . Wa n i t a k u r u s kering, telanjang dada, perutnya pun buncit. Usia kehamilannya jalan lima bulan. Di belakangnya, suami tercinta mengekor sambil menggendong babi. Di kepala suami tali noken membelit. Setelah diturunkan, ternyata noken (keranjang khas Papua) itu berisi bayi. Tangis si bayi pecah. Si ibu mengambilnya, membiarkan bayi kurus itu menetek pada puting dadanya yang koyor.

Itulah sketsa buram tentang kondisi mayoritas masyarakat di pedalaman Tanah Papua. Ritme kehidupan yang dijalani begitu sederhana, alami dan tanpa beban. Mereka menyatu dengan kultur dan kesuburan alam. Nomaden, adalah cara meniti kehidupan. Ladang berpindah dan perburuan menjadi andalan dalam menyiasati hidup.

Jangan tanya berapa banyak asupan gisi yang diterima anak-anak mereka. Sebab perut anaknya yang buncit hanya berisi cacing. Atau akibat busung lapar. Anak-anak itu tak sekolah. Tak bisa baca, tulis dan berhitung. Kalau pun namanya terdaftar di sekolah, hampir pasti mereka selalu alpa mengikuti proses belajar di ruang kelas.

Tampaknya keluarga-keluarga di pedalaman Papua belum termotivasi untuk memotivasi anak-anaknya agar sekolah. Alam Papua yang subur dan kaya raya seolah membius dan meninabobokkan. Kapan dan di mana saja ada sagu, umbi-umbian, dedaunan, buah-b u a h a n d a n binatang l iar . Al am menj adi lumbung yang tak pernah habis dikuras.

Nilai budayanya pun khas. Tak perlu kaget lihat l e l a k i P a p u a menggendong babi dengan penuh kasih. Sementara a n a k n y a d i b i a r k a n terkurung dalam n o k e n y a n g t e r g antung di b e l a k a n g n y a .

Dalam budaya P a p u a b a b i a d a l a h m a s kawin. Nilainya t ing g i . Puny a b a n y a k b a b i bisa kawin berkali-kali. Status sosial pun terangkat. Menjadi orang terpandang. Sebab para isteri yang dinikahi akan mengabdi sebagai pekerja di kebunnya. Isteri-isteri inilah yang mengolah tanah, menanam, menyiangi dan memanen. Mereka juga mencari kayu bakar dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan ketika melahirkan perempuan Papua melakukan seorang diri di hutan atau lokasi tertentu. Proses melahirkan seperti ini secara medis tentu tidak higienes. Tapi itulah realita yang sampai saat ini masih terjadi.

Realitas di atas memperlihatkn betapa sibuk perempuan Papua. Itu sebabnya mereka kurang perhatian pada anak-anaknya. Anak tumbuh secara alamiah. Jadi jangan tanya berapa banyak asupan gisi yang diberi kepada anak-anaknya. Dirinya saja kurang gisi, anak-anaknya pun tentu sama.

Di perkotaan pun serupa. Masalah pendidikan, kesehatan dan pendapatan begitu miris. Pecahnya rumah tangga, trend anak jalanan adalah indikator. Anak-anak tidak sekolah. Yang lain putus sekolah, lalu lari dari rumah dan mengais penghidupan di jalan. Kejamnya kehidupan jalanan menjungki rbal ikkan per i laku dan perangai mereka. Anak-anak yang semula lugu berubah jadi liar. Menggemari minuman keras (miras), narkoba, menghirup lem aibon (ngelem), bahkan sex bebas. Akibatnya, banyak yang terkena sakit kelamin, kecanduan narkotika/ miras, bahkan terinfeksi HIV.

Direktur Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua, Drs. Tahi Butar Butar, M.Kes mengatakan, yang utama dari pembangunan kesehatan adalah masa depan anak-anak. Negara wajib melindungi dan memperlakukan anak-anak sebagaimana ditetapkan dalam konvensi PBB mengenai Hak- Hak Anak. Namun di banyak negara berkembang perhatian terhadap hak-hak anak masih minim. Ini terekam dari lemahnya akses mereka ke sektor pendidikan dan layanan kesehatan.

Fakta ini terlihat jelas pada kondisi umum anak-anak di Tanah Papua. Mereka belum mendapat perhatian dan perlindungan, baik dari keluarga maupun pemerintah. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya berada di bangku sekolah justru bekerja di sektor swasta atau terpaksa menjadi anak jalanan. Padahal dalam fase perkembangan, mereka butuh fasi l i tas bermain dan belajar, serta bimbingan orang tua guna merangsang perkembangan karakternya. Dan ini harus dilakukan sejak dini. Saat anak dalam kandungan, masa bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga tumbuh jadi dewasa.

”Pada tahapan pertumbuhan inilah semua pihak wajib memberi dukungan penuh,” tandas Butar Butar. Soal anak jalanan, Butar Butar menilai sebagai dampak dari ketidakmampuan ekonomi orang tua. Atau akibat kehancuran rumah tangga (broken home). Dua penyebab inilah yang mendorong anak-anak lari meninggalkan rumah. Mereka mencari jati dirinya sendiri bersama anak-anak lainnya di jalanan. Mungkin saja mereka merasa lebih nyaman hidup di jalanan ketimbang di rumah.

”Tapi saya perlu sampaikan, ternyata ada juga anak jalanan yang patut diacungkan jempol. Mereka bekerja untuk membiayai pendidikan dan membantu ekonomi keluarganya,” puji Butar Butar.

Dalam kaitan dengan anak-anak, Mei lalu Butar Butar berkunjung ke Wamena. Dia bertemu anak-anak. Mereka tidak bersekolah. Rata-rata berasal dari sejumlah kabupaten sekitar seperti, Tolikara, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan lain-lain. Setiap hari anak-anak ini bekerja apa saja di sekitar pasar Jibama.

”Saya tanya apakah mereka mau sekolah? Semua anak menjawab mau. Beberapa anak saya suruh menggambar dan mereka lakukan dengan baik. Saya kira anak-anak ini terlantar secara sosial budaya, psikologi dan ekonomi,” tutur Butar Butar.

Menurut Butar Butar, fenomena anak jalanan bukan hanya ada di Jayapura atau Wamena. Sejumlah kota lain pun sama. Anak-anak tersebut sama sekali belum mengenyam pendidikan. Kesehatan mereka pun buruk. ”Bila kondisi ini diabaikan bukan mustahil Papua akan mengalami apa yang dinamakan lost generation (kehilangan satu generasi). Padahal anak-anak inilah kelak menjadi tulang punggung untuk membangun masa depan Tanah Papua,” kata Butar Butar serius.

P end i d i k an, Ke s eha t an, Pendapatan
Kekhawatiran Butar Butar soal kemungkinan terjadi lost generation di Tanah Papua sangat beralasan. Setidaknya ada tiga indikator penting memperlihatkan gejala ke arah sana. Pertama, keterdidikan anak-anak Papua yang rendah menjadi sinyal lampu merah yang serius.

Kedua, kondisi kesehatan masyarakat Papua, terutama kesehatan ibu hamil/menyusui/anak-anak dapat dikategorikan sebagai darurat gizi yang serius. Ketiga, pendapatan perkapita masyarakat Papua yang hanya sekitar Rp 6 juta perkapita per tahun (di luar dana dari Freeport) merupakan sinyal lain yang menunjukkan proses lost generation itu sungguh sedang terjadi.

Kita bedah dari tingkat pendidikan. Idealnya semua anak-anak Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Dikdas) 9 tahun. Tapi di Papua standar ini tidak tercapai. Saat ini jumlah anak-anak buta huruf masih banyak. Yang tidak tamat SD dan SLTP pun begitu. Ini fatal sekali.

Penyebabnya beragam. Minimnya tenaga pendidik dan fasilitas belajar menjadi persoalan krusial. Akses ke sekolah yang relatif sulit juga jadi kendala. Bahkan gedung-gedung sekolah di Papua banyak yang sudah hancur akibat dibangun asal jadi. Dampaknya, proses belajar mengajar di banyak tempat di daerah pedalaman berlangsung di gubug-gubug reyot dengan tenaga guru seadanya.

Begitu pula dengan tingginya biaya pendidikan menjadi persoalan serius. Sebab meskipun Gubernur Provinsi Papua telah mengeluarkan Keputusan No. 5/2009 tentang Pendidikan Gratis bagi rakyat asli Papua melalui subsidi dana Otsus, namun keputusan ini tidak berlaku efektif di lapangan. Kondisi ini secara keseluruhan membuat indikator pendidikan di Papua masih jauh di bawah rata-rata nasional.

Indikator kesehatan pun miris. Berdasarkan hasil analisis yang dikeluarkan LSM Foker Papua tahun 2009 menunjukkan kesehatan ibu dan anak selama beberapa tahun terakhir belum menunjukkan adanya perbaikan. Kendati Otsus sudah berjalan selama 8 tahun namun persoalan kesehatan di Tanah Papua belum bagus.

Hasil survey menunjukkan tahun 2001 jumlah bayi yang lahir sebanyak 64.471 jiwa. Ternyata yang hidup hanya 51.460 jiwa. Sekitar 7.150 bayi meninggal. Angka perbandingannya adalah: 122 per 1000 kelahiran hidup. Sementara dari 47.709 balita yang hidup, 3.751 balita di antaranya meninggal. Perbandingan angka kematian balita adalah: 64 per 1000 kelahiran hidup.

Sedangkan pada tahun 2003 Unicef Papua menemukan kematian ibu dan bayi baru lahir sebanyak 1.025 per 100.000 kelahiran hidup. Survey angka kematian ibu di Papua oleh Depkes tahun 2003 menunjukkan kematian ibu dan bayi baru lahir sebesar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibanding angka nasional yakni 350 per 100.000 maka situasi kesehatan ibu dan anak di Papua sangat memprihatinkan, sebab berada jauh di bawah standar nasional.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, drg. Hendrik Sembiring mengatakan, kesehatan bagi anak merupakan hal yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Untuk mendukung perkembangan anak, memang perlu dipersiapkan sejak dini. Karena itu, kegiatan Posyandu di masing-masing distrik dan kampung giat digalakkan agar dapat diketahui perkembangan anak setiap bulannya.

Tidak hanya sampai di situ saja. Ada juga program pemerintah yang dapat mengakses pelayanan kesehatan kepada masyarakat yaitu Mobile Clinik atau klinik berjalan, yang sudah dapat menjangkau daerah-daerah yang masih terisolirTernyata Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, juga lakukan penelitian pada tahun 2001. Hasilnya menyebutkan Kabupaten Jayapura dan Yapen Waropen, merupakan daerah yang paling tinggi angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh penyebab langsung seperti pendarahan infeksi saat melahirkan dan status gizi yang kurang, terutama pada masa kehamilan dan menyusui.

Penyebab tidak langsung biasanya akibat keterlambatan mengambil keputusan, jangkauan pelayanan kesehatan yang jauh, serta kurangnya penanganan medis yang berkualitas dan profesional, hingga pengaruh sosial budaya, ekonomi, pendidikan, tradisi kepercayaan dan kondisi geografis.

Hasil survey tahun 2001 juga menemukan penyebab utama kematian ibu dan anak adalah penyakit infeksi saluran pernafasan (pneumonia). Tingginya kasus kematian ibu dan anak juga erat kaitannya dengan buruknya pelayanan kesehatan dan perilaku petugasnya. Sampai hari ini banyak tenaga medis di distrik dan kampung tidak menjalankan tugasnya dengan baik, namun gaji mereka terima secara utuh setiap bulannya.

Indikasi di atas memperlihatkan pendapatan perkapita rakyat Papua yang terbilang sangat kecil. Padahal permasalahan sosial yang terkait dengan masalah anak biasanya tak terlepas dari kondisi ekonomi keluarga dan lingkungan sosial budaya sekitarnya.

“Ketika keluarga itu sejahtera, sudah bisa dipastikan seluruh anggota keluarga seperti anak-anak akan merasa nyaman dan tentram berada di rumah,” ujar Sekretaris Badan Koordinasi Keluarga Nasional (BKKBN) Provinsi Papua, Dra. Betty Kusuma, M.Si.

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anak-anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Jadi kualitas keluarga sangat ditentukan oleh terpenuhinya aspek-aspek mencakup; pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, mental, spiritual dan nilai-nilai agama.

Secara umum keluarga dikategorikan dalam 5 tahap. Tahap keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, tahap 2, tahap 3 dan keluarga tahap 3
plus.

Keluarga sejahtera dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup materil dan spiritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Sementara keluarga pra sejahtera atau sering disebut keluarga miskin adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, seperti sandang, pangan, papan, pengajaran/pendidikan, agama dan kesehatan.

Menurut Betty Kusuma, permasalahan anak dan remaja, seperti miras, seks bebas, IMS, narkoba, dan kenakalan remaja umumnya disebabkan oleh latar belakang keluarga yang tidak bisa memberi kenyaman bagi anak-anaknya. Karena itu harus diputuskan mata rantainya melalui penyuluhan, informasi dan program pemberdayaan ekonomi keluarga sejahtera.

Semboyan nasional yang menekankan 2 anak lebih baik, menurut Betty adalah upaya mengurangi beban ekonomi keluarga, apalagi keluarga kurang mampu. Ini dimaksudkan agar anak yang akan lahir merupakan generasi penerus yang berkualitas. Sebab orang tuanya bisa memberikan perhatian pada tahapan perkembangan dan masa depannya. Selain itu, kata Betty Kusuma, pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) untuk wilayah Papua sifatnya tidak dipaksakan. Tapi disesuaikan dengan kearifan sosial budaya masyarakat lokal.

“Dalam hal ini BKKBN bukan bermaksud membatasi kelahiran anak, tetapi mengatur jumlah anak yang diinginkan sesuai kemampuan orang tuanya,” urainya.

Di satu sisi orang tua keluarga pra sejahtera (keluarga kurang mampu) sering sulit mengakses informasi dan pengetahuan yang bisa memberi mereka pendidikan dalam hal mengatur jarak dan jumlah anak yang diharapkan. Karena itu, tak heran jika dalam keluarga pra sejahtera cenderung memiliki anak yang banyak. Banyaknya anak tetapi jika tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi, tentunya akan berdampak pada menurunnya kualitas keluarga.

Dengan demikian pendidikan kepada orang tua merupakan faktor yang sangat penting. Sebab orang tua merupakan panutan bagi anak-anaknya. Soal penanganan terhadap anak-anak tanpa perlindungan, demikian Betty Kusuma, perlu ada semacam rumah singgah. Pada rumah singgah anak-anak dibina sesuai potensi dan bakatnya. Karenanya, masalah anak jalanan harus dtangani secara terintegrasi melibatkan semua stake holder.

Rendahnya ketiga indikator dimaksud, yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan tentu akan melahirkan generasi baru Papua yang tidak berkualitas. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka secara perlahan lost generation itu pasti terjadi. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang tidak tamat SD atau SLTP? Bahwa dalam 25 tahun ke depan pasti akan terjadi pertambahan jumlah penduduk, namun mutu manusianya tetap rendah. Manusia yang ada hanyalah orang-orang dengan tingkat kecerdasan minimalis. Tak ada yang bisa diharapkan dari manusia tak berkualitas. Inilah yang dicemaskan dari lost generation itu.

Pendampingan dan Pencerahan
Untuk menyelamatkan manusia Papua dari ancaman lost generation Konsultan Kesehatan Ibu Anak Ausaid NTT, Raymundus Lema menyarankan agar dilakukan Revolusi Pencerahan dan Pendampingan Warga Berakarkan Komunitas Basis Warga. Yang ingin dicapai dari gerakan ini adalah perubahan mainset berpikir masyarakat. Warga Papua (terutama orang tua, tokoh adat, dll) harus dicerahkan sehingga bisa melepaskan diri dari ikatan pengaruh budaya yang kukuh mengekang dan memahami pentingnya masalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang baik seseorang tidak mungkin mampu merubah keadaannya menjadi lebih baik.

”Saran saya, di tiap kampung ditempatkan satu tim yang terdiri dari orang-orang yang sungguh mau tinggal bersama masyarakat Papua, makan minum dan tidur bersama rakyat. Orang-orang ini tulus mau mengabdi. Sebab kondisi warga Papua yang masih terbelakang membutuhkan manusia pengabdi, bertanggung jawab, tidak cengeng, apalagi mengeluh. Mereka inilah yang melakukan pendampingan dan pencerahan kepada mayarakat,” kata Mundus yang juga adalah anggota Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan NTT.

Tim yang akan lakukan revolusi sebaiknya terdiri dari minimal lima orang dengan latar belakang berbeda. Mereka tidak harus tenaga sarjana. Cukup tenaga SLTA atau sederajat. Kelima orang tersebut baiknya berlatar belakang pertanian, ekonomi, penerangan, kesehatan dan pendidikan. Harus tenaga yang sudah berpengalaman dan menguasai bidangnya. Sangat bagus bila tim ini didukung LSM yang peduli pada permasalahan ini.

”Saya harapkan Pemda menawarkan gaji menarik. Beri mereka gaji yang besar agar mau tinggal bersama rakyat dan mengabdi sepenuh hati untuk masyarakat. Dana Otsus yang mencapai triliunan seharusnya bisa mewujudkan gagasan ini,” tambahnya.

Dengan pendampingan dan pencerahan yang dilakukan secara intensif secara perlahan-lahan akan mampu merubah mainset berpikir masyarakat Papua pada umumnya. Setidaknya, rakyat akhirnya mengerti akan pentingnya masalah pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
”Kalau orang-orang tua di pedalaman sudah paham akan pent ingnya pendidikan dan kesehatan, saya yakin ke depan mereka akan termotivasi untuk memotivasi anak-anaknya agar bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi. Dari sinilah akan lahir anak-anak Papua yang berkualitas. Anak-anak inilah yang dapat diandalkan untuk mens e jaht e rakan r a k y a t P a p u a , ” tambahnya.

D a l a m keprihatinan yang s a m a D i r e k t u r YPKM Papua, Butar Butar sesungguhnya t e lah me lakukan p e n d a m p i n g a n terhadap anak-anak di berbagai daerah di Papua. Di kota Jayapura ada 60 anak yang didampingi . Usia mereka antara 9 hingga 18 tahun, pendidikannya setingkat SD dan SMP. Mereka tersebar di beberapa titik, mulai dari Pasar Dok IX, pantai depan kantor Gubernur Dok II, Depan GOR Cenderawasih APO, Pelabuhan Porasko, Taman Imbi, pasar lama Jayapura (Ampera), terminal Mesran, Weref, terminal Entrop, lingkaran Abepura, Tanah Hitam dan Pasar Kotaraja hingga Waena.

Menurutnya, tujuan utama pendampingan untuk merubah perilaku menjadi lebih baik. Juga menggali bakat dan potensi anak-anak yang terabaikan. Bagi yang sudah terbiasa melakukan hubungan seks akan dibekali dengan informasi seputar HIV-AIDS. Yang mengalami ketergantungan miras, narkoba, dll, pihaknya bekerjasama dengan Yayasan Permata Hati Kita (Yakita) Papua untuk menangani masalah kecanduan.

Koordinator Lapangan dan Pelatih Kelompok Muda Berdaya Yakita, Agus Hayong membenarkan pihaknya pernah membina 5 orang anak melalui program pemulihan dari ketergantungan narkoba dan miras. Saat ini anak-anak tersebut telah kembali ke keluarga. Yakita juga kerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) untuk kegiatan-kegiatan penjangkauan. Umur anak-anak yang berhasil dijangkau berkisar antara 16 hingga 20 tahun. Mereka umumnya melakukan aktivitas negatif seperti mengonsumsi miras, mengisap aibon dan melakukan seks bebas. Bahkan ada yang sudah mengkonsumsi narkoba.

“Ada 4 anak perempuan sedang menjalani pemulihan. Semuanya anak-anak asli Papua. Kita juga mendapat rujukan anak-anak pecandu narkoba, aibon dan miras dari BMP, KPA, YHI, WVI dan lain-lain.

Proses rehabilitasinya berlangsung selama 3 bulan,” aku Agus.
Soal pekerja anak yang marak di Jayapura, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura, Sabar Simbolon, SE, mengatakan definisi pekerja anak adalah pekerja yang usianya di bawah 18 tahun. “Di Jayapura tidak ada anak bekerja sebagai pekerja formal (terdaftar di perusahaan wajib lapor ke Disnaker). Memang banyak pekerja anak tapi di sektor informal. Misalnya, menjual koran, buruh pasar, dll. Anak-anak yang bekerja di sektor informal bukan menjadi tanggung jawab Disnaker,” kata Simbolon.

Mengenai anak di bawah umur bekerja di tempat hiburan malam, menurut Simbo l on, me r eka tergolong pekerja illegal. Datang atas kemauan sendiri. “Kalau bermasalah saya mewajibkan perusahaan memulangkan anak-anak itu ke daerah asalnya,” imbuhnya.
Ternyata kegiatan pendampingan YPKM juga diberikan kepada anak-anak Sentani. Ada 45 anak, berumur 9 hingga belasan tahun. Mereka tersebar di 3 titik, yaitu Pasar Lama, Pasar Baru, dan Terminal Sentani. Sedangkan di Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ada 494 anak. Usia mereka antara 10 hingga 17 tahun. Sebanyak 214 anak tidak sekolah, 117 anak SD, 19 anak SMP dan 21 anak SMA. Sementara 92 orang anak masih tetap sekolah. Anak-anak ini sehari-hari melakukan aktivitas di sekitar area pasar tradisional Jibama dan airport Wamena.

Di Kota Se rui YKPM juga mendampingi 30 anak. Terdiri dari 10 anak perempuan dan 20 anak laki-laki dengan latar belakang pendidikan SD. Aktivitas anak-anak ini di sekitar alun-alun Tr iko r a Serui dan pelabuhan laut. Sementara untuk Nabire ada sekitar 100 anak jalanan. Namun yang didampingi hanya 28 o rang . Me r eka tersebar di dua titik, yaitu di pasar Nabire dan Kawasan Ruko. Yang mengejutkan, nyaris semua anak ini t e lah lakukan hubungan seks bebas. Malah ada yang sudah bermain sex sejak usia 9 hingga 15 tahun.

Di Manokwari masalah anak jalanan juga memprihatinkan. Kepa l a Bidang SMA, Dina s Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manokwari, Barnabas Dowansiba mengatakan, persoalan yang dihadapi memang kompleks, perlu kerja sama antara dinas sosial dan dinas pendidikan. “Kita butuh data yang akurat mengenai anak jalanan. Kita punya pendidikan Paket A, B dan C. Anak-anak bisa belajar melalui paket pendidikan yang ada,” katanya.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Manokwari, Drs. Aljabar Makatita juga sependapat. Menurutnya, Dinke sos jug a bertekad membantu anak-anak agar berpendidikan, sehingga ke depan memiliki kemampuan untuk merubah nasibnya menjadi lebih baik.

“Saat ini kami sedang membina para pekerja seks komersial (PSK) baik yang masih usia sekolah maupun sudah dewasa. Mereka merindukan masa depan yang lebih baik,” kilah Aljabar. (Tim Fokus FOJA)

FOJA Edisi 27 / VII / 2010


Otsus Dituding Picu Maraknya Anak Jalanan


Ada apa ini. Apa yang salah dengan Otonomi Khusus (Otsus)? Kenapa banyak kalangan menuding Otsus sebagai biang keladi maraknya fenomena anak jalanan di Tanah Papua, khususnya Kota Jayapura? Padahal Otsus dengan dukungan dana triliunan rupiah seharusnya mampu menyejahterakan orang asli Papua. Bukan sebaliknya, menyengsarakan dan menelantarkan mereka!


Anak jalanan kini semarakkan denyut nadi kota-kota di Papua. Di pusat-pusat keramaian Jayapura mudah sekali menemukan anak jalanan. Style mereka khas, agak kumal. Ada yang berjalan sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang hitam. Mereka menjajakan barang dagangan, mengumpulkan barang bekas atau menjadi tukang parkir illegal di jantung kota. Ada yang bilang, munculnya anak jalanan menjadi indikasi kemajuan sebuah kota.

Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak dalam perbincangan dengan FOJA di Papua belum lama ini mengaku kaget. Mulanya dia tidak menyangka ada anak jalanan di Papua, khususnya Jayapura.

“Anak jalanan sangat rentan kekerasan. Umumnya yang menjadi korban adalah anak perempuan. Secara bertahap harus dilakukan sosialisai UU Perlindungan Anak dan merubah cara berpikir masyarakat agar peduli pada anak-anak,” pesan Linda Gumelar.

Linda boleh kaget , namun fenomena anak jalanan di Papua sebetulnya sudah agak lama. Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) Region Papua Drs. Roriwo Karetji, MM mencatat, pada era sekitar tahun 90, anak jalanan sudah mulai terlihat. Namun fenomenanya menjadi sangat marak baru pada tahun 2003-2004.

”Saya tidak mau katakan ini terjadi setelah era Otsus, tetapi memang mulai marak ketika aktivitas ekonomi mulai berjalan. Akses terbuka, euforia pembangunan dan perkembangan kota menjadi penyebab,” kata Karetji.

Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Study Penelitian Gender Universitas Cenderawasih, Dra. Murni Sinulingga, MS. Pengamat Sosial ini membenarkan fenomena anak jalanan di Papua, khususnya Jayapura mulai muncul sejak era Otsus. Munculnya anak jalanan disinyalir karena faktor kesulitan ekonomi atau keretakan rumah tangga. Faktor lain merupakan dampak dari urbanisasi dan migrasi besar-besaran penduduk dari luar ke Tanah Papua sejak Otsus mulai berlaku. Arus transportasi yang semakin lancar mempengaruhi tingkat mobilitas penduduk dari kampung ke kota atau sebaliknya.

“Sepengetahuan saya sebelum Otsus hampir tidak ada anak jalanan di Jayapura. Semua aman-aman saja. Barang-barang yang ada di luar rumah tidak hilang,” kata wanita yang sudah menetap lebih dari 30 tahun di Jayapura ini.

T e n t a n g p e n d a p a t y a n g menyebutkan anak jalanan di Papua berbeda dengan anak jalanan di Jawa, Sinulingga menegaskan, keberadaan anak jalanan akan meningkat tiap tahun seiring perkembangan kota dan tingkat kebutuhan masyarakat.

“Kita jangan mau kelihatan mulus agar lari dari kenyataan. Pihak yang berkepentingan jangan berpikir terlalu sempit hanya karena persoalan penjabaran definisi untuk dijadikan alasan agar tidak bertindak,” sindir Murni.

Secara kasat mata bisa terlihat bahwa sebagian besar anak-anak asli Papua yang aktivitasnya lebih banyak di jalanan umumnya berasal

14dari wilayah pedalaman. Kondisi ini disebabkan faktor urbanisasi, sebab masyarakat di wilayah pedalaman menganggap perkembangan kota menyediakan berbagai fasilitas modern yang dibutuhkan. Sayangnya kedatangan mereka di kota tidak dibarengi pendidikan dan keahlian yang cukup.

”Setibanya di kota mereka bingung mau bikin apa. Akhirnya terjadi semacam pembiaran terhadap anak-anak. Anak-anak mereka terpaksa mencari jalan sendiri-sendiri, entah sebagai peminta-minta, tukang kumpul barang bekas atau tukang parkir,” tambahnya.

Padahal anak-anak itu seharusnya ada di bangku sekolah. Jika hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin bisa memberi peluang kepada pihak tertentu untuk mengeksploitasi mereka. Misalnya, digunakan untuk mencuri atau sebagai penadah barang curian dan pengumpul barang bekas dengan bayaran murah. Sinulingga berharap perlu diselidiki akar persoalan yang mendorong anak-anak lebih memilih ke jalanan ketimbang di rumah. Ini masalah sosial yang menarik. Ada benang merah antara perkembangan kota dengan pola hidup maupun tingkat kebutuhan masyarakat.

Ledakan Penduduk
Apapun tudingan orang bahwa Otsus memicu maraknya anak jalanan di Jayapura, namun tidak ada yang bisa membantah bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis ledakan penduduk. Krisis ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, seperti kualitas hidup manusia, sumber alam, lingkungan hidup, urbanisasi, transmigrasi, hak asasi manusia, etika, moral dan kemiskinan.

Bayangkan, tahun 1950 jumlah warga bumi baru sekitar 2,5 milyar. Hanya dalam tempo 50 tahun, persisnya tahun 2000 jumlah penduduk dunia sudah melebihi 6 milyar. Indonesia pun sama. Tahun 1961 angkanya baru 97 juta. Namun tahun 2010 jumlahnya sudah diatas 230-an juta. Papua juga begitu. Mungkin pada tahun 1970 jumlahnya baru 1 juta jiwa. Namun pada 2010 bisa jadi jumlah penduduknya sudah di atas 3 jutaan jiwa.

Kota yang menawarkan kerlap-kelip lampu yang glamour, sarana transportasi modern, gedung-gedung bertingkat, pusat hiburan malam, super market, mall, dll, menjadi magnet yang mampu menarik siapa saja. Karenanya, bila pada tahun 1974 hanya sekitar 38 % penduduk dunia yang memilih hidup di kota, namun pada tahun 2010 sudah lebih dari 50 % penduduk dunia menetap di kota. Indonesia pun sama. Tahun 1980 jumlah penduduk yang menetap di kota baru 32,8 juta atau 22,3 %, namun pada tahun 2010 jumlah penduduk yang menetap di kota telah berada di atas 50 %.

Papua pun tak beda. Daya tarik kota yang luar biasa menyebabkan masyarakat yang ada di pedalaman Papua berbondong-bondong ingin hidup di Kota Jayapura. Sarana transportasi, laut dan udara yang lancar telah membawa warga dari daerah lain menyerbu Kota Jayapura. Jayapura kemudian menjadi pusat kompetisi. Pertarungan kecerdasan terjadi di kota ini. Yang kalah akan terpental dan menghasilkan ampas kompetisi berupa anak jalanan.

Yang kemudian terekam, kota menjadi semakin padat, sumpek dan sembrawut. Sebagian warganya terpaksa tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh. Kota pun akhirnya menampilkan wajah ganda. Di satu sisi kota hadir secara mengesankan dalam wujud arsitektur modern, mewah dan megah di sepanjang ruas jalan-jalan utama. Namun di baliknya menjamur pula lingkungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk mendukung kehidupan manusia berbudaya.

Kenapa begitu? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota-kota di Indonesia, termasuk kota-kota di Papua berkembang tanpa dilandasi suatu perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kota-kota semacam ini tidak dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek. Akibatnya kota-kota di Papua juga menampilkan wajah ganda. Ada bagian kota mengesankan citra bagus dalam wujud arsitektur menarik, namun tidak sedikit bagian kota menampilkan kekumuhan. Di balik kekumuhan itulah anak jalanan mengais kehidupan dan menggantungkan secercah harapan.

Karenanya, keberhasilan seorang pemimpin, gubernur, bupati atau wali kota, juga sangat ditentukan oleh keberhasilannya menata mutu kehidupan di kota. Termasuk menyiasati persoalan anak jalanan sehingga dapat hidup lebih baik dan layak.

Kriminal Meningkat
Selain lingkungan kumuh dan mencuatnya fenomena anak jalanan, perkembangan suatu kawasan perkotaan yang menampilkan kegemerlapan, serta kehebatan teknologi juga menghadirkan sisi gelap dari modernisasi yang melekat padanya. Kejahatan perkotaan meningkat secara kuantitas maupun
15kualitas. Pencurian, perampokan, korupsi, penipuan dan lain-lain mulai dilakukan melalui dunia maya. Bahkan kriminal percintaan belakangan memanfaatkan teknologi semisal e-mail, facebook, twitter, dll.

Dari banyaknya laporan kasus kekerasan dan tindakan asusila terhadap anak yang masuk di Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak Polresta Jayapura selama 6 bulan terakhir, terdapat dua kasus tindakan asusila terhadap anak yang berawal dari media jejaring sosial facebook.

Pertengahan April silam, seorang gadis belia, sebut saja Mawar (13) bertemu dengan Kumbang (bukan nama sebenarnya) remaja 17 tahun yang dikenalnya melalui facebook. Hubungan keduanya baru berjalan dua pekan. Bosan dengan browsing dan chatting, dua ABG yang belum pernah bertatap muka itu janji bertemu di sebuah warnet di daerah Abepura. Mereka lalu ke rumah tantenya si Kumbang, masih di daerah Abepura. Di rumah tantenya yang kebetulan kosong, Kumbang mengajak Mawar melakukan hubungan layaknya suami istri.

“Awalnya Mawar menolak, tapi bujuk rayu Kumbang tidak dapat ditolaknya,” ujar Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak Satreskrim Polresta Jayapura, Mince Mayor.
Kasus serupa terjadi pada Mei lalu. Kali ini korbannya lebih muda, 12 tahun. Sebut saja Melati namanya. ABG yang masih bau kencur ini nekad menemui seorang pria berusia 31 tahun yang dikenalnya lewat facebook sekitar sebulan silam. Ironisnya, Melati yang masih di bawah umur itu mau saja diajak tersangka ke salah satu penginapan di kawasan Tanjung Elmo Sentani. Dua hari Melati tidak pulang ke rumah. Keluarga mencarinya dan melaporkan ke pihak berwajib.

Dalam triwulan terakhir, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Reskrim Polresta Jayapura mencatat 13 kasus kekerasan dan asusila dengan korban di bawah umur. Selain kasus asusila melalui situs jejaring sosial, pencabulan dan aborsi juga menjadi kasus menonjol di tahun 2010 ini. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya.

“Ada peningkatan jumlah kasus. Ini karena masyarakat sudah mulai mengerti aturan hukum, sehingga mereka berani melapor,” ujar Kasat Reskrim Polresta Jayapura AKP IGG Era Adhinata, SIK.

Menurut Era Adhinata, pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak masih kurang. Padahal bila ada laporan tindak kejahatan terhadap anak, hukum pidana tetap berlaku kendati dilakukan atas dasar suka sama suka.

Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Jayapura, Betty Pui, SE,MM mengatakan, untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 pihaknya tidak terlalu terjun mengurusi masalah anak sebab sudah menjadi tanggung jawab dinas terkait lainnya. Ia berkilah, Biro Pemberdayaan Perempuan hanya berfokus pada perempuan dan masalah gender.

Sementara Iche Korwa, SH.MH, Kabid. Data dan Analisis Kebijakan Tindak Kekerasan Perempuan, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, menyebutkan UU Perlindungan Anak, kalau dilihat dari pola pikir, sebenarnya anak-anak perempuan, siapa pun dia, apakah miskin, tidak punya pendidikan dan tidak mengerti hukum, akan menjadi kelompok yang rentan. Termasuk anak-anak, mereka rentan terhadap kekerasan akibat tidak mengerti. “Bahkan anak-anak juga rentan terhadap praktek trafficking,” kata Iche Korwa.

Pada simpul inilah, ketika kita membicarakan tentang anak-anak dengan berbagai problematiknya, hendaknya para pemimpin di Tanah Papua mau merenung. Apakah mereka telah membangun Papua dengan benar. Membangun kota-kota di Papua berdasarkan suatu perencanaan yang matang dan terpadu? Apakah dana Otsus triliunan rupiah itu telah digunakan secara benar bagi sebesar-besarnya kemakmuran orang asli Papua? Kemakmuran anak cucu Tanah Papua tercinta? Hanya Tuhan yang tahu. (Tim Fokus FOJA)

FOJA Edisi 27 / VII / 2010


Potret Buram Masa Depan Anak-Anak Papua
Anak-anak jalanan. Mereka bukan lagi bayangan samar. Mereka ada dan nyata di sekitar kita. Mereka berkeliaran di perempatan jalan, terminal, pasar, pertokoan dan kompleks pelacuran. Mereka anak-anak asli Papua. Dilahirkan dari ayah ibu asli Papua. Tiap hari mandi debu jalanan, bernafaskan asap hitam kendaraan. Seperti potret buram, mereka terkucil, terbuang, tersungkur di tanah tumpah darahnya sendiri. Terlalu....!

Me r e k a a d a l a h a n a k - a n a k , bagian terpenting dari kita sebagai bangsa. Pada mereka masa depan disandarkan. Pada mereka reputasi Papua dipertaruhkan. Baik buruknya Papua hari ini dan masa mendatang akan sangat tergantung b a g a i m a n a memp e r s i a p k a n generasi penerusnya. Anak-anak bukan h a n y a me n j a d i tumpuan harapan keluarga, tetapi ikut menentukan masa depan rakyat Papua.

Karena itu, rumah mestinya menjadi tempat yang teduh. Orang tua, dalam hal ini ayah dan ibu, seharusnya menjadi tempat berlindung. Namun di sebagian rumah tangga realitasnya berbeda. Rumah bukanlah istana, melainkan neraka bagi anak-anaknya. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga menimbulkan ketakutan. Pukulan dan ancaman membuat anak-anak semakin bertambah takut. Jalan yang paling mudah untuk melepaskan diri adalah lari. Tempat yang paling mudah dicapai adalah jalanan. Alasan lainnya karena pengaruh ekonomi keluarga, bujukan teman atau hanya ikut-ikutan.

Apakah hidup di jalan lebih aman? Entahlah. Meski awalnya diliputi ketakutan, tapi anak-anak yang tersingkir dan terbuang dari rumah merasakan kebebasan luar biasa. Jalanan lalu menjadi tumpuan kehidupan baru yang menawarkan sedikit harapan. Padahal jalanan pun mempunyai struktur sendiri yang tak kalah ganasnya, mengancam seluruh bagian tubuh anak-anak yang masih sangat kecil itu. Riwayat keberadaan mereka lebih merupakan lingkaran setan. Penuh resiko dan begitu menakutkan.

FOJA dalam bulan Juli ini menelusuri kehidupan mereka. Merekam ritme realitas hitam putih yang menyelimuti anak jalanan. Kami mengunjungi salah satu lokasi tempat mangkalnya komunitas anak jalanan di sekitar area Jayapura City. Lokasi itu berada di belakang Pasar Ampera. Warga sekitar menyebutnya sebagai “lokasi a n a k - a n a k obeng,” atau anak aibon. J a r a k n y a hanya sekitar 50 meter dari b e l a k a n g Bank Papua yang megah b e r l a n t a i t u j u h d a n Kantor Dolog R e g i o n a l Papua.

Di lokasi ini terdapat dua gubuk kecil b e r d i n d i n g t r i p l e k s, berdempetan d e n g a n t e m b o k b e l a k a n g Ruko Ampera. Tripleks yang
b e r l u b a n g ditutupi karung. Ceceran sampah, bau anyir, makin mempertegas liarnya gubuk itu. Beberapa anak keluar dari dalam. Masing-masing memegang erat kaleng kecil berwarna merah dan menaruhnya tepat di bawah hidung. Sesekali mereka menghela nafas, menikmati aroma dari dalam kaleng itu. Mata mereka sayu, memerah, menatap kosong sekitarnya.

”Ini lem fox atau aibon. Lem ini untuk menempel benda-benda kasar. Kitong biasa pakai untuk tempel barang. Baunya enak, bisa bikin flay,” ujar Samuel Jeri Imbiri (17), salah seorang dari penghuni gubug reyot dengan tatapan menerawang.

Remaja akil balik ini mengaku ayah dan ibunya selalu bentrok. Tiap hari pasti ribut. Puncaknya, keduanya bercerai. Perceraian inilah yang menyebabkan Samuel meninggalkan rumah, meninggalkan sekolah dasar dan hidup sebagai anak jalanan. Dalam usia sangat muda dia harus merasakan pahit getirnya kehidupan. Tiap hari berjuang di lingkungan jalanan yang keras, ganas, sadis, demi sesuap nasi. Tiap hari keringat dan air matanya campur aduk jadi satu.

Samuel mengaku semua beban deritanya bersama teman-teman sirna ketika mereka ngelem atau menghirup lem aibon. Aroma lem aibon yang khas dan menyengat dalam sekejab membawa mereka ”melayang”. Pada saat seperti itulah kebahagiaan datang menghampiri. Dia bisa berimajinasi, menghayalkan segala sesuatu yang diimpikan dalam hidup.

”Saat ngelem saya membayangkan mempunyai kehidupan yang layak, memiliki pekerjaan yang baik, mempunyai pasangan hidup dan kemewahan. Ini seperti candu yang membuat ketagihan. Tiap hari kami pasti ngelem,” aku pemuda yang sedang dalam masa puber pertama.

Ditanya soal pendidikan, Samuel sejenak terdiam. ”Saya hanya sampai kelas dua SD. Baca tulis dan berhitung belum lancar. Sebetulnya saya masih ingin sekolah, tapi siapa yang menanggung biayanya,” ucap pria muda ini.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Samuel bekerja serabutan. Dia mau lakukan apa saja asalkan menghasilkan uang. Namun bila ada kapal penumpang yang merapat ke Dermaga Jayapura Samuel lalu mengumpulkan tikar-tikar yang ditinggalkan penumpang yang turun dan menjualnya ke penumpang yang akan berlayar. ”Habis mau bikin apa lagi, saya hanya bisa begini saja. Teman-teman yang lain juga sama,” suaranya terdengar lirih.

Begitu juga dengan Ebin. Bocah berusia sekitar 15 tahun ini mengaku menjadi anak jalanan sejak masih tinggal di Biak. Di kota asalnya dia sudah terbiasa ngelem. Dia menjadi anak jalanan Kota Jayapura baru sekitar tiga tahun terakhir. Kini remaja yang sempat berada di kelas satu SMP ini menjadi pendorong gerobak yang menjual nasi kuning di depan kantor PLN setiap jam 22.00 malam.

Ternyata, selain Samuel dan Ebin di dua gubug reyot itu tinggal pula 26 anak jalanan lainnya. Tragisnya, 10 orang di antaranya adalah anak perempuan. Latar belakang kisah mereka beragam. Tapi secara umum pecahnya bahtera rumah tangga kedua orang tua, berikut persoalan ekonomi membuat anak-anak yang seharusnya masih membutuhkan belaian kasih sayang itu tersingkir dan tersungkur di jalanan.

Pekerjaan anak-anak ini beragam. Mulai dari menjajakan koran/ majalah, tukang parkir illegal di depan pertokoan jalan Ahmad Yani, dorong gerobak, jual makanan kecil, memungut barang bekas, dll. Bahkan dalam kondisi terjepit mereka nekat mencuri barang orang atau istilahnya ”tabrak”. ”Kalau sudah sangat terjepit terpaksa kita ”tabrak” barang orang. Abis kitong mau bagaimana lagi,” timpal anak-anak ini polos.

Kes enangan ngelem d a n menenggak minuman keras (miras) sering membuat perilaku anak-anak ini tak terkendali. Warga di sekitar lokasi tempat mereka bermukim sangat terganggu dengan kegaduhan yang sering ditimbulkan. Mereka buat onar dan bentrok dengan warga sekitar. Konon, beberapa dari mereka telah diciduk polisi. ”Kalau sudah mabuk lem aibon atau miras biasanya mereka buat gaduh. Sikap mereka sangat tidak bersahabat. Kita takut terjadi apa-apa dengan warga di sini,” keluh seorang warga.

Sisi gelap lainnya, anak-anak ini juga disinyalir kecanduan seks bebas. Di pusat prostitusi Jayapura City mereka menikmati miras sambil mencicipi lekak lekuk tubuh sintal para penjaja cinta. Dahaga itu direguk sampai tandas tanpa mempedulikan ancaman akan terinfeksi HIV.

Data yang dihimpun dari Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Jayapura menyebutkan sampai tahun 2010 jumlah anak jalanan di Kota Jayapura sekitar 115 orang. Mereka berada pada sejumlah titik, seperti Taman Imbi, Taman Mesran dan beberapa lokasi lain. Anak-anak ini umumnya telah putus sekolah. Yang tidak tamat SD sebanyak 61 orang, SLTP 34 orang, SLTA 16 orang. Yang tidak diketahui pendidikannya sebanyak 4 orang. Berdasarkan umur, yang paling muda berusia 8 tahun, tertua 37 tahun untuk pendidikan SD. Untuk pendidikan SLTP, yang termuda 12 tahun, yang tertua 36 tahun. Sedangkan untuk SLTA, yang termuda 14 tahun, sedangkan yang tertua 45 tahun. Secara keseluruhan laki-laki 62 orang, perempuan 52 orang dan 1 waria.

Ternyata masalah anak jalanan bukan cuma terjadi di Kota Jayapura. Kota-kota lain di Provinsi Papua maupun Papua Barat fenomena ini pun mulai menggeliat. Terbentuknya kota-kota baru akibat pemekaran daerah otonom telah memicu munculnya seabrek permasalahan sosial , termasuk munculnya anak jalanan. Kota Manokwari, Merauke, Biak, Serui, Sarmi, dll memperlihatkan fenomena serupa.

A p a s e s u n g g u h n y a y a n g diinginkan anak-anak jalanan? Sangat naif jika kita mengira mereka tidak mempunyai cita-cita. Sebagai manusia mereka pun memiliki mimpi. Dari hasil pergulatan hidup selama bertahun-tahun di jalanan anak-anak ini akhirnya menyadari betapa penting ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Kami ingin ada dukungan dari mana pun. Kami ingin disediakan tempat tinggal. Juga latihan ketrampilan agar bisa memasuki dunia kerja. Kami berharap bisa mendapat bantuan peralatan untuk usaha pencucian kendaraan. Bila permintaan ini dikabulkan, kami akan meninggalkan kehidupan di jalanan,” ujar Samuel apa adanya.

Mengenai bantuan, mereka mengaku pernah menerimanya. Misalnya bahan makanan, rokok, sabun, pakaian, dll. Tapi bantuan uang belum pernah diterima. ”Sering kami dengar akan ada bantuan uang, tetapi tidak pernah sampai ke tangan kami. Ah, biar sudah, mungkin orang yang ambil uang itu lebih butuh dari kitorang,” celetuk salah seorang anak jalanan sambil tertawa.

Perlu Lakukan Pemetaan
Pengamat Masalah Kesejahteraan Sosial dari FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) , Drs. Herman Kareth, M.Si, mengatakan, yang masuk kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial sangat banyak. Salah satunya adalah fenomena anak-anak jalanan dan anak terlantar yang tidak mendapat perhatian maupun perlindungan dari keluarga, lingkungan dan pemerintah.

Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial ( IKS) FISIP Uncen ini menyarankan perlunya pemetaan terbaru melibatkan Pemda, LSM dan Perguruan Tinggi secara terkoordinasi. Karena pemetaan yang dilakukan Tim Jurusan IKS FISIP Uncen pada tahun 2006 menemukan sedikitnya ada 15 titik di Kota Jayapura yang menjadi tempat berkumpul komunitas anak-anak jalanan. Mereka tersebar pada 5 distrik di Kota Jayapura, mulai dari Base G hingga Waena dan Sentani. Tempat mangkal mereka umumnya berada pada pusat keramaian seperti pertokoan, mall, pasar, terminal, pelabuhan dan pemukiman umum.

”Latar belakang persoalan anak-anak ini beragam. Tapi secara umum karena alasan ekonomi keluarga, kehancuran rumah tangga dan pengaruh pergaulan,” kata Herman.

Ferry Sitorus, M.Si, juga Pengamat Masalah Kesejahteraan Sosial dari jurusan IKS FISIP Uncen justru menduga pengaruh Otonomi Daerah (Otda) menyebabkan beberapa wilayah kabupaten/kota di Tanah Papua lebih cepat berkembang. Kondisi ini membuat banyak keluarga dari kampung-kampung (daerah pedalaman) tergiur untuk hidup di kota guna mencari penghidupan yang layak.

“Bagi mereka kehidupan di kota akan lebih baik karena banyak tersedia fasilitas modern dan kemewahan,” kata Ferry. Namun setelah berada di kota mereka tidak memperoleh pekerjaan yang memberi penghasilan besar karena keterbatasan pendidikan dan keahlian yang menunjang. Akibatnya, sebagian besar dari mereka tidak mampu bersaing. Fenomena ini memunculkan masyarakat marginal yang mengandalkan hidupnya dengan menjadi petani substitance di area pinggiran kota, menjadi tukang parkir, buruh bangunan, tukang muat barang dan lain-lain. Penghasilan mereka tidak seberapa.

Akibatnya, anak-anak mereka kurang mendapat perhat ian. Kebutuhan pendidikan, kesehatan, pendampingan dan pembinaan mental spiritual menjadi tak terurus. Banyak anak-anak terpaksa tinggalkan rumah dan menjadi anak jalanan. Kerenggangan hubungan keluarga juga menjadi pemicu lain larinya anak-anak dari rumah.

Kendati trend anak jalanan di Papua menunjukkan peningkatan secara signifikan namun Herman Kareth dan Ferry Sitorus menilai ada perbedaan antara anak jalanan di Tanah Papua dengan anak jalanan di Jawa atau daerah lain di Indonesia.

”Kami tidak sependapat jika kategori anak jalanan di Jawa atau daerah lain di Indonesia disamakan dengan Papua. Anak jalanan di Jawa hampir sebagian besar hidupnya berlangsung di jalanan. Sementara di Papua, meskipun anak-anak beraktivitas di jalanan, selalu ada waktu untuk berkumpul bersama orang tua dan anggota keluarga lainnya,” kata keduanya.

Fenomena anak jalanan di Tanah Papua sangat ditentukan oleh faktor kekerabatan sosial budaya masyarakatnya. Jika ada anak-anak di Papua aktivitasnya lebih
banyak di jalan, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai anak jalanan. Sebab anak-anak itu secara kekerabatan masih terikat dan menjadi tanggung jawab keluarganya yang lain atas kesamaan marga (fam).

“Jadi bila ada anak Papua memilih hidup di jalanan, ini pasti akibat fungsi institusi keluarga dan kekerabatan sosial di Papua tidak berjalan semestinya,” cetus Sitorus. Ia menyayangkan karena secara umum konteks budaya orang Papua kurang memberi perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak.

Grace Dina Ursia, pemerhati anak Papua yang juga Education Advisor Wahana Visi Indonesia (WVI) Region Papua mengatakan saat ini pihaknya bekerjasama dengan International Labour Organization (ILO) Perwakilan Papua untuk mengadvokasi pekerja anak. Upaya itu dilakukan agar bisa mengembalikan mereka ke bangku sekolah melalui Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) meng gunakan modul -modul yang disiapkan ILO. Jika ini bisa dilakukan, secara otomatis akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua.
”Hanya saja kita agak kesulitan karena belum ada lembaga yang mempunyai data pekerja anak, baik pemerintah maupun LSM,” ujarnya.

Anak-anak yang terpaksa bekerja dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu anak bekerja dan pekerja anak. Untuk kategori anak bekerja terbilang wajar, karena sebatas membantu orang tua. Mereka bekerja kurang dari tiga jam dan tetap bersekolah. WVI Papua juga sedang menyiapkan CLMS (Child Labour Monitoring System), yaitu proyek pemantauan terhadap pekerja anak dari aspek kesehatan dan pendidikan. Secara nasional proyek ini sudah ada, namun untuk Papua belum diterapkan.

Tanggung Jawab Pemerintah
Lantas siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab terhadap nasib anak-anak jalanan ini? UUD 1945 Pasal 34 secara jelas menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Isyarat yang sama tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Karena itu negara dalam hal ini pemerintah tidak bisa tinggal diam. Pemerintah Papua, baik propinsi maupun kabupaten/kota tak boleh menutup mata terhadap realitas anak jalanan di daerahnya.

Yang dimaksudkan dengan anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk bayi dalam kandungan ibunya. Itu sebabnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan. Dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Adriani Salman Walli, SST.Par, Anggota Komnas HAM Perwakilan P a p u a K e l omp o k K h u s u s Perempuan dan Anak mengatakan penanggulangan masalah anak oleh pemerintah masih sangat rendah. Indikasinya terlihat dari semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, anak aibon, kelainan fisik, anak dengan keterbelakangan mental, dll.

”Ini persoalan yang sangat ser ius. Anak-anak mest inya memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik, memperoleh layanan kesehatan dan tidak terbebani masalah ekonomi keluarga,” kata Adriani.

Sejumlah pengaduan telah disampaikan ke lembaganya. Kebanyakan menyangkut persoalan broken home, juga hamil di luar nikah. Be lakangan masalah trafficking atau perdagangan anak pun telah menyedot perhatian.

”Inilah duka dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Selama 9 tahun tampaknya Otsus tidak dilaksanakan secara merata. Saya sebut ini pemerataan yang tidak adil. Ke depan, pemerintah harus lebih menitikberatkan pada pendidikan anak usia dini, terutama membekali mental dan psikologinya. Dengan pembinaan moral yang baik tentu anak-anak tidak gampang terjerumus menjadi anak jalanan,” kata Adriani.

Data pada Unicef juga tak jauh berbeda. Hasil penelitian Unicef Perwakilan Papua dan JPAB tahun 2004 memperlihatkan angka drop out yang tinggi, anak pekerja, anak yang mengalami kekerasan seksual, kekerasan terhadap a n a k d a n a n a k pengguna miras, aibon dan obat terlarang yang terus meningkat.

Unicef memetakan persoalan anak menjadi enam kategori. Pertama, anak korban pelecehan seksual dan eksploitasi seksual komersil. Kedua, anak drop out (putus sekolah). Ketiga, anak korban kekerasan dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga. Keempat, anak mengkonsumsi aibon, narkoba dan minuman keras. Kelima, pekerja anak seperti tukang parkir liar, membantu jasa di pasar dan terminal, anak peminta-minta, tukang angkut barang. Keenam, anak yang berkonf ik dengan hukum akibat melakukan tindakan kriminal seperti, pencurian, berjudi, pemerkosaan dan lain-lain.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Jayapura, Drs. Petrus Way menyebutkan anak-anak jalanan sebetulnya bukan berasal dari Kota Jayapura tetapi dari berbagai kabupaten lain di Papua seperti Biak, Serui, Sarmi, dll. Mereka berkeliaran di Kota Jayapura hanya sementara. Setelah empat bulan biasanya mereka akan pergi. Pada lain kesempatan mereka akan kembali lagi ke Jayapura. Siklus ini akan terus berulang.

Terhadap anak jalanan, demikian Way, selalu dilakukan bimbingan rohani bekerjasama dengan gereja-gereja. Lama pembinaan antara 15 sampai 30 hari. Melalui bimbingan rohani diharapkan perilaku seperti mabuk-mabukan, merokok, judi, ngelem, bisa ditinggalkan dan memulai kehidupan baru dengan perilaku yang benar. “Sedangkan bagi yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP jika bisa menunjukkan raport akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikannya. Yang putus sekolah di tingkat SMA juga bisa melanjutkan jika menunjukkan ijasah SMP dan raportnya. Terus terang kami berkoordinasi dengan orangtua dari anak-anak yang putus sekolah. Kami pun bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Hasilnya, ada yang sudah kembali ke tengah keluarga dan melanjutkan pendidikan,” jelas Way.

Karena itu tanggung jawab mengatasi persoalan anak jalanan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah semata. Harus dilakukan secara terintegrasi, komprehensif dan lintas sektoral karena persoalannya sudah sangat kompleks. Ini berarti semua stakeholder di Papua harus peduli dan mau ambil bagian mengatasi masalah ini.

“Tugas mengembalikan anak-anak jalanan ke rumah orang tua harus menjadi tanggung jawab bersama. Kami mengharapkan peran aktif LSM, organisasi sosial, tokoh masyarakat, tokoh agama, juga semua pribadi yang peduli dengan anak-anak. Kuncinya hanya satu, kita hadir dengan ketulusan dan kejujuran untuk membantu anak-anak ini,” ucap Way.

Keterlibatan berbagai elemen sangat penting. Karena untuk mendekati anak-anak ini terbilang sulit. Begitu tahu ada yang mendekati mereka langsung menghilang. “Padahal tujuan kita hendak membimbing mereka.” Mereka kebanyakan berasal dari jalan percetakan, Polimak, dan Hamadi. Tempat mangkalnya di sekitar Taman Imbi, Terminal Lama dan Taman Mesran. Jumlah anak-anak ini diperkirakan terus meningkat. Trendnya mengikuti perkembangan kota dan dinamika sosial ekonomi masyarakat.

Y a n g memp r i h a t i n k a n , anak-anak ini ada yang telah berprofesi sebagai pekerja seks. Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan (PSK) Universitas Cenderawasih Jayapura pada tahun 1998 memperlihatkan jumlah yang berprofesi sebagai pekerja seks sebanyak 44 orang. Di antaranya ada juga anak-anak perempuan yang dikenal dengan istilah: kaliabo. Jumlah ini tentu telah melonjak hingga ratusan orang dalam sepuluh tahun terakhir.

Sementara itu pengamat Kebijakan Publik, Septinus Saa, S.Sos,M.Si, menilai keberadaan anak jalanan merupakan gejala sosial yang umum. Namun harus segera ditangani. Pemerintah mesti responsif, sebab ini masalah publik. ”Yang harus aktif berperan adalah SKPD-SKPD yang punya kaitan dengan penanganan masalah ini, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut Saa, perlu dilakukan kajian dan identifikasi masalah sehingga bisa dimasukkan ke dalam program anggaran atau menjadi dasar dalam menentukan kebijakan pemerintah.
“Kami dari akademisi hanya bisa memberikan konsep, tetapi yang bertanggungjawab adalah pemerintah karena mereka yang punya anggaran,” kata dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Uncen ini. Menurutnya anak jalanan sebenarnya korban sehingga dipe r lukan suatu kebi jakan pemerintah yang melindungi dan menjamin masa depan mereka.

Sementara Herman Kareth dan Ferry Sitorus mengharapkan Pemda, LSM, Perguruan Tinggi dan lembaga lain sudah harus bekerjasama untuk menangani dan mencegah persoalan ini secara serius. Dukungan penguatan lewat pendanaan yang cukup, pelaksanaan program pendampingan dan pembinaan yang efektif sangat diperlukan. Begitu pula Peraturan Daerah (Perda) sebagai perlindungan hukum terhadap anak-anak perlu dipertimbangkan.

Langkah konkrit yang mesti segera dikerjakan adalah mendirikan rumah singgah (shelter) di setiap lokasi di mana mereka biasa beraktivitas. Hal ini perlu dibarengi dengan program kegiatan belajar mengajar. Rumah singgah harus dikenal oleh komunitas anak-anak tersebut dan memenuhi syarat agar memberi kenyamanan bagi mereka. Misalnya, ketersediaan makanan yang sehat dan pemberian program pembinaan oleh pendamping anak atau pekerja sosial (LSM) yang berpengalaman.

Melalui program rumah singgah, anak-anak tanpa perlindungan bisa diberi penyadaran dan dikembalikan ke keluarga mereka. Dalam konteks Otonomi Khusus Papua, semestinya upaya proteksi, perlindungan dan pemberdayaan yang lebih terarah harus betul-betul diterapkan bagi anak-anak Papua. “Pemda kita sering bicara bangun masyarakat dengan dana Otsus tapi hanya sebatas fisik. Masalah sosial seperti ini belum mendapat perhatian serius,” kata Sitorus.

Memang sejauh ini pemerintah telah berupaya menciptakan program pendidikan dan pendampingan anak. Misalnya melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pusat Kegiatan Belajar mengajar (PKBM) dan berbagai program pembinaan lainnya. Namun karena pengelolaannya belum bagus akhirnya terhenti. Padahal fungsinya sangat membantu pembinaan dan pendidikan anak-anak. Begitu juga menyangkut anak putus sekolah. Dinas Pendidikan dan Pengajaran melalui Program Kejar Paket seharusnya bisa menjawab persoalan ini.

Rasanya sangat ironis ketika meneriakkan slogan bahwa anak-anak adalah tumpuan dan harapan masa depan Tanah Papua. Namun pada saat yang bersamaan sebagian dari anak-anak asli Papua ini justru hidup terlunta-lunta di jalanan berlumpur dan berdebu. Keterlaluan...!!! (Tim Fokus FOJA)
.

Sabtu, 31 Juli 2010

FOJA Edisi 26 / VI / 2010

Hukuman Mati Bagi
Koruptor?


Papua, anak emas dari timur. Agak sombong, maklum alamnya kaya raya. Elok nian orang dan panoramanya. Pekik merdeka bikin Jakarta ketar-ketir. Otonomi khusus (Otsus) diberi. Triliunan rupiah dikucur. Korupsi merajalela. Pejabat dan keluarganya mandi uang dari pancuran korupsi. Jelata berebut dari yang menetes. Kemiskinan mengental. Kemelaratan menggumpal. Lantas hukuman macam apakah yang pantas bagi si koruptor? Kepada Julian Howay dari FOJA Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih mengupasnya secara lugas dan tuntas bagi pembaca sekalian. Selamat mengikuti...!!!

Seperti apa Anda melihat fenomena korupsi di Papua?
Dari konteks ketatanegaraan kekuasaan itu cenderung korup. Power tend to corrupt, kata Lord As ton. Jadi , kekuasaan i t u cenderung disalahgunakan orang. Itulah yang sebenarnya membuka ruang terjadinya korupsi. Untuk konteks pemberantasan korupsi di Papua, hingga kini saya lihat belum maksimal. Padahal, meski cakupan wilayah Papua begitu luas, namun yang lakukan korupsi hanya segelintir orang. Sepertinya ada kesepakatan-kesepakatan dalam tanda petik. Seharusnya itu tidak perlu dilakukan antara koruptor dan aparat penegak hukum. Saya lihat ada kasus korupsi yang mestinya diproses hukum, tapi faktanya tidak. Tidak ada tindak lanjut secara normatif.

B a g a i m a n a d e n g a n akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua?
Sa y a l iha t a kunt a b i l i t a s (pertanggung jawaban) publik, secara umum di Indonesia, lebih khusus di Papua memang masih rendah. Karena akuntabilitas itu berkaitan dengan partisipasi. Maka akuntabilitas tidak boleh berdiri sendiri. Harus ada partisipasi rakyat yang tinggi. Kalau tidak ada partisipasi dalam penyelenggaraan kekua s a an, bi s a dika t aka n akuntabilitas pemerintah tidak berjalan baik. Pertanyaannya, apakah pejabat kita terbuka? Soalnya, kalau berbicara uang, pasti gelap semua. Tidak ada akuntabilitasnya.


Lalu kinerja Inspektorat dan BPKP sendiri seperti apa?

Ba g i s a y a b a d a n pengawasan internal , seperti Inspektorat (dulu: Bawasda-red) itu bukan pengambil keputusan akhir, lho. Badan ini sifatnya hanya memberi rekomendasi. Keputusan t e r a k h i r a d a p a d a gubernur. Dalam konteks p e n e g a k a n h u k u m untuk memberantas ko rups i , menurut saya Inspektorat itu t idak ada gunanya. Pertanyaannya, apakah I n s p e k t o r a t b i s a melanjutkan temuannya? Karena suatu temuan bisa ditindaklanjuti atau tidak tergantung gubernur. Saya kira kita masih sulit. Intinya sapu kotor tidak mungkin bisa membersihkan lantai. Begitu juga soal transparansi. Mestinya hasil temuan badan pengawas tidak ditutup-tutupi. Ini dalam rangka keterbukaan, demokratisasi, partisipasi dan akuntabilitas. Masakan menyangkut uang rakyat/ publik kok dirahasiakan. Yang bisa menjadi rahasia hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Kalau soal akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan p e n g g u n a a n a n g g a r a n , rahasia apa yang mau disembunyikan? Di negara-negara maju tidak seperti itu, hanya di negara kita saja yang seperti ini.

Kabarnya pemekaran wilayah menjadi celah pejabat lakukan korupsi. Menurut Anda?
Sederhana saja. Kalau kita bicara korupsi, maka yang korupsi sebenarnya siapa? Pasti, pejabat. Korupsi tidak dilakukan masyarakat. Pejabat, penguasa, pengambil keputusan, itulah pelaku korupsi. Terlepas dari apakah mereka berkomplot dengan pihak lain, tapi intinya pasti pejabat. Kenapa pemekaran itu bisa menimbulkan kemungkinan korupsi? Nah, sederhana saja. Dari evaluasi nasional menunjukkan bahwa belanja aparatur di Indonesia lebih besar ketimbang belanja publik (rakyat). Bahkan ada beberapa daerah sampai 98 persen dari APBD hanya untuk aparatur. Berarti hampir tidak ada pembangunannya. Gaji rata-rata dari APBD di Indonesia, termasuk Papua adalah 57 persen untuk gaji birokrat ditambah tunjangan operasionalnya sebesar 17 persen. Itu berarti semuanya berjumlah 74 persen untuk birokrasi. Sangat disayangkan karena rakyat tidak dapat apa-apa. Makanya saya secara pribadi cenderung tidak begitu setuju adanya pemekaran. Karena uangnya tidak selalu untuk kesejahteraan rakyat, tapi beralih untuk birokrasi.

Sejumlah pejabat diindikasi terlibat kasus korupsi. Tapi kenapa proses hukumnya belum jelas?
Saya ki ra per tanyaannya buntu. Karena apa? Memang sejauh ini ada temuan kasus-kasus korupsi di Papua yang sudah diproses hingga ke kejaksaan dan pengadilan. Tapi ada yang berhenti di tengah jalan. Pertanyaannya kenapa berhenti dan tidak lanjut? Saya juga tidak tahu persis, tapi mudah-mudahan bisa dilanjutkan. Saya kira inilah model-model penegakan hukum di Indonesia dan bukan hanya di Papua. Bisa dikatakan, proses penegakan hukum bisa dinegosiasi. Itu faktanya. Ka l au memang sudah tersangka kenapa lama prosesnya. K e n a p a t i d a k di tangkap atau di tahan dan seterusnya diproses ke pengadilan? Ini berarti ada pendekatan-pendekatan di luar hukum.

Kenapa temuan kasus korupsi sul i t di telusur i bi la mat a rantainya melibatkan aparat penegak hukum?
Ya. Kalau secara umum, memang tidak mudah menangani kasus korupsi semacam itu. Sering terjadi kebuntuan kalau kita bicara keterkaitan antara pelaku korupsi dengan aparat penegak hukumnya. Secara pribadi, saya sangat susah untuk mengatakan bahwa kasus semacam itu harus diapakan. Tapi menurut saya, harus dipotong generasi di jajaran birokrasi yang korup, termasuk dalam jajaran penegak hukumnya. Sebab kalau yang tua sudah korupsi, maka akan susah cari yang bersih. Saya tidak setuju kalau korupsi hanya dibilang melibatkan oknum, padahal sifatnya sudah sistem. Karena bukan hanya oknum, tapi sistem kita di Indonesia memang korup. Kalau sistemnya baik, tapi manusianya yang korup, ada kemungkinan sistemnya bisa diperbaiki. Masalahnya, sistemnya sudah korup, manusianya juga korup, maka sempurnalah korupsi itu. Ini memang susah, karena itu untuk mengatasinya harus ada potong generasi. Namun, di level generasi ke berapa yang harus terpotong. Ini tidak mudah.

Apakah hukum bisa memberi efek jera pada koruptor?
Saya ki ra secara normat i f hukuman sudah cukup tegas. Bila perlu koruptor dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Tapi faktanya, sejarah di Indonesia menunjukkan hukuman paling lama terhadap pelaku korupsi hanya 6 tahun dan dendanya tidak seberapa. Pertanyaannya kenapa seperti itu dan tidak dipakai maksimal? Tergantung lagi penyidiknya, kenapa hanya 6 tahun? Padahal mereka sudah korupsi miliaran rupiah. Malahan mereka juga dipotong masa tahanannya. Kenapa tidak pakai maksimal? Ini menunjukkan putusan-putusan pengadilan terhadap kasus korupsi masih sangat rendah. Pastikan hukuman mati karena korupsi adalah kejahatan luar bisa.


Maksud Anda menghadapi koruptor harus tegas?

Ya. Yang perlu kita pahami bahwa menyelesaikan peristiwa hukum tidak selamanya harus melalui proses hukum. Karena masih ada hal-hal lain di luar proses itu. Namun, dalam konteks korupsi dan karena ini sifatnya kejahatan luar biasa, harus ada contoh yang bisa menjadi perbandingan. Lihat saja di Cina, kenapa mereka bisa berantas korupsi? Itu karena pemimpinnya bilang, kalau saya yang korupsi saya langsung dihukum mati. Beranikah pejabat Indonesia katakan seperti begitu? Mereka hanya bilang kita buat pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tapi tidak ada yang berani katakan seperti para pemimpin di Cina. Misalnya, kalau dia terbukti korupsi langsung ditembak mati. Kenapa Cina bisa, kita kok tidak bisa. Menurut Mochtar Lubis, ciri manusia Indonesia pertama adalah hypocrite atau munafik. Kalau pejabat dan penguasa itu pura-pura (munafik), berarti secara filsafat manusianya tidak tulus dan jujur. Karena pejabatnya tidak tulus dan jujur, maka ada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Sebaliknya, kalau pejabat itu memberi teladan dengan tulus dan jujur, tentu korupsi tidak akan terjadi.

Koruptor dijatuhi hukuman mati?
Sebenarnya sederhana. Harus dibuat peraturan (norms) yang baik. Artinya peraturan itu bisa membuat pejabat berperilaku yang baik. Itu yang tidak ada selama ini. Kalau sudah ada peristiwa hukum dalam konteks korupsi, apa yang harus dilakukan? Itu berarti kembali ke penegak hukumnya. Ada kewenangan dan tupoksi yang telah dimiliki masing-masing aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Ke j aks a an dan Peng adi l an. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan tugasnya dengan baik? Kalau dalam konteks Papua, saya amati pelaksanaannya belum maksimal. Menurut saya, di samping potong generasi yang korup, harus ada pejabat yang dihukum mati (death sentence) untuk membuat efek jera dan perubahan. Ini sebenarnya bisa dilakukan, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya lewat pesan moral. Sebab, kita masih tetap juara dunia dalam korupsi. Itu persoalan, jadi tidak cukup lewat pesan moral. Kalau pesan moralitas tidak efektif, berarti harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. (Tim Fokus Foja)

Fokus FOJA Edisi 26 / VI / 2010



Benarkah Kekejutan Budaya Jadi Jerat Korupsi?


Korupsi di Tanah Papua kian ganas dan brutal. Miliaran hingga triliunan rupiah dana rakyat masuk ke kantong-kantong pribadi. Benarkah kecenderungan korupsi di Papua karena kentalnya hubungan timbal balik dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli Papua? Ataukah ini akibat keserakahan para petinggi Papua yang tak terkendali?
Elok nian Tanah Papua. P a n o r ama n y a i n d a h menawan. Budayanya unik dan khas. Orang-orangnya polos, jujur, tulus dan santun. Rasanya sulit dipercaya bila kini Papua dianggap sebagai sarang koruptor. Para pejabat seolah-olah berlomba mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri dan keluarganya, membiarkan mayoritas rakyat Papua tetap terbelenggu kemiskinan.


A n t r o p o l o g U n i v e r s i t a s Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Drs. Frans Apomfires, MA, mengatakan orang Papua sesungguhnya hidup dalam adat budaya yang kuat. Mereka dididik dengan budi pekerti, moralitas, menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebenaran dan kesetiaan.

Itu sebabnya pada masa silam bangsa Belanda mempercayakan orang Papua duduk dalam pemerintahan. Karena santun, jujur, baik pula pekertinya menyebabkan mereka mendapat kepercayaan untuk tanggung jawab lebih besar. Begitu pula ketika sudah bersatu dengan Indonesia, putra-putri Papua mendapat kepercayaan menempati posisi penting dalam pemerintahan.

Menurut Apomfires yang mula-mula terlibat dalam pemerintahan, baik pada jaman Belanda maupun awal bersama Indonesia baru sebatas orang asli Papua dari wilayah Saireri. Seperti Biak, Yapen, Wondama, Waropen dan Nabire. Warga dari Saireri dikenal santun dan jujur.
“Pada saat itu tidak ada orang Papua yang korupsi. Mereka bekerja dengan nurani dan penuh rasa tanggung jawab,” kata Apomfires.

Dalam perjalanan waktu orang asli Papua dari suku-suku yang lain juga mulai mendapat kesempatan memasuki lingkungan pemerintahan. Mereka menduduki jabatan-jabatan penting. Mereka pun berbaur dengan sanak saudara dari suku-suku lain di Papua, juga para pendatang dari luar. Saat itulah terjadi proses akulturasi kebudayaan. Yaitu proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Dalam proses akultrasi inilah telah terjadi kekejutan budaya atau shock culture. Apakah shock culture kemudian mempengaruhi terjadinya korupsi? Dalam perkembangan selanjutnya korupsi lalu menjadi semacam kebiasaan kolektif yang secara perlahan berkembang menjadi budaya. Apalagi didukung sistem birokrasi yang memberi peluang terjadinya korupsi. Birokrasi model rekanan sangat berpotensi mendorong siapa saja untuk lakukan korupsi.

“Suku-suku di Papua yang berada pada zona ekologi pegunungan dan hidup bercocok tanam sangat berpotensi terjadi korupsi karena mas ih kentalnya hubungan resiprositas. Yang hidup pada zona ekologi dataran rendah, rawa-rawa, hingga kepulauan, korupsi sedikit menurun dibanding zona pegunungan. Sama halnya dengan masyarakat di dataran rendah hingga pesisir kepulauan, korupsi agak menurun. Tapi pada masyarakat pesisir dan kepulauan tertentu, korupsi terjadi sama tinggi dengan suku-suku dari wilayah pegunungan,” jelas Antropolog Uncen ini.

Kentalnya hubungan timbal balik (resiprositas) dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli di Papua inilah diduga yang mendorong terjadinya korupsi. Penyelewengan anggaran yang kemudian disebut korupsi bisa dikatakan wajar sebagai konsekuensi dari upaya memperkokoh hubungan sosial dan kekerabatan. Karena hubungan sosial dan kekerabatan adalah energi kolektif yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan suku-suku asli Papua.

Dengan demikian apakah orang asli Papua telah lakukan korupsi? Menurut Apomfires bisa ya, bila dana yang dikorupsi untuk kepentingan diri sendiri. Tapi bisa juga tidak, apabila dana yang dikorupsi demi kepentingan banyak orang, seperti keluarga, kerabat, dll.

“Anjuran saya orang-orang Papua yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan maupun swasta hendaknya diberi gaji yang tinggi. Ini sebagai konsekuensi dari adanya resiprositas orang Papua yang masih kental,” ucap Apomfires.

Karena apabila kasus korupsi di Papua hanya dilihat secara hukum normatif tanpa memperhatikan aspek budaya maka para pejabat di Tanah Papua, khususnya kepala-kepala daerah pasti akan terjerat hukum. Padahal, mungkin saja tindakan menggunakan uang negara itu demi mempertahankan hubungan kekerabatan dalam budaya mereka.

Bermula dari Freeport
P. Drs. Gregor Neonbasu, SVD, PhD ant r opo l o g y ang menamatkan pendidikan S2 dan S3 dalam bidang antropologi dari The Australian National University of Canberra, Australia, dalam perbincangan dengan FOJA di Kupang, NTT baru-baru ini mengatakan sejarah korupsi di Papua tidak bisa dipisahkan dari masuknya PT. Freeport di Tanah Papua. Orang Papua dengan mata kepala sendiri menyaksikan bagaimana berlimpahnya kekayaan bumi Papua dibawa ke Amerika.

“Pada masa-masa itu warga asli Papua pertama kali menyaksikan praktek korupsi di Freeport. Kemewahan Freeport begitu luar biasa. Saking glamournya seorang sahabat saya dari Havard yang telah melakukan penelitian di Freeport sampai mengatakan Freeport telah memindahkan New York, LA, atau Washington ke Tanah Papua. Semua yang serba waaah ada di Freeport. Tapi ironisnya rakyat Papua tetap menjadi penonton dan dibiarkan dalam kemiskinan,” kata Gregor.

Pelajaran kedua tentang korupsi ket ika Freepor t diambi l al ih Pemerintah Indonesia. Banyak saham swasta nasional masuk ke Freeport. Pada saat ini rakyat Papua menyaksikan suatu kondisi yang lebih parah karena semua uang yang dari Freeport lari ke Jakarta. Lagi-lagi rakyat Papua hanya menjadi penonton dan tidak kebagian apa-apa.

“Saya kira apa yang terjadi hari ini di Papua karena mereka mencontoh dari apa yang terjadi di Freeport, baik saat dikuasi penuh Amerika maupun ketika diambil alih Indonesia. Tak perlu kaget jika mereka pun lakukan hal serupa ketika kesempatan itu ada. Mereka tidak perlu takut karena selama ini korupsi di Freeport pun dianggap biasa-biasa saja,” jelas Gregor.

Dengan demikian apa yang kini terjadi di Papua, kata Gregor, dari segi budaya kerusakannya sudah teramat sangat parah. Di Papua saat ini sudah terjadi pelapukan kultur, sebab orang melakukan suatu perbuatan salah dalam keadaan sadar, tahu dan mau.

“Inilah resiprositas itu. Inilah kesalingan itu, dimana saya korupsi, kamu korupsi dan kita sama-sama duduk untuk lakukan korupsi. Bagi saya ini suatu tindakan praktek korupsi yang ganas dan brutal. Semua orang tahu ini tindakan negatif tetapi sudah diklaim sebagai hal yang positip dengan berbagai argumentasi yang berlindung dibalik adat dan budaya,” urai Gregor.

Gregor mengaku sangat sulit mengatasi masalah ini, tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Karena korupsi telah merusak tatanan budaya di Tanah Papua menjadi begitu rapuh, bahkan lapuk.

“Untuk atasi masalah ini saya tidak punya rekomendasi yang pas. Kita bisa saja katakan harus melakukan revitalisasi budaya, revitalisasi mainset, atau revitalisasi nilai apa saja. Tapi nanti akan buntu sendiri. Sebaiknya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua perlu melakukan penelitian mendalam mengenai hal ini. Hasil penelitian inilah yang akan digunakan untuk memetakan persoalan yang ada di Tanah Papua. Dari situ baru kita akan merevitalisasi nilai-nilai apa saja yang kini sudah lapuk,” saran Gregor.

Sengaja Dibiarkan?
Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. Dr. Berth Kambuaya justru berpandangan beda. Ia menuding P eme r i n t a h P u s a t s e n g a j a membiarkan kasus korupsi terjadi di Papua. Indikasinya terlihat sejak Otsus digulirkan pada tahun 2001. Dana Otsus yang masuk Papua sangat besar, mencapai triliunan rupiah per tahun. Sayangnya kucuran dana tersebut tidak dibarengi adanya regulasi hukum yang mengatur proses penyaluran dan penggunaan dana tersebut.

“Bagi saya, ini pancingan yang menjebak para pejabat di Papua masuk dalam perangkap korupsi,” tandasnya.
Akibat tidak adanya regulasi bukan tak mungkin dana-dana yang telah disalurkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi sulit dipertanggung jawabkan. Pejabat tersebut kemudian dianggap bersalah dan diduga telah melakukan korupsi. Padahal ini terjadi akibat tidak adanya landasan hukum yang menjadi acuan dalam pengelolaan dana Otsus.

Ir. Weynand Watory Anggota DPRP, Wakil Ketua Komisi A mengibaratkan Tanah Papua sebagai negeri yang jauh dari bulan. Orang yang berkuasa susah kelihatan jejak cahaya korupsinya, dibanding bulan yang bisa dilihat cahayanya. Korupsi di Papua untuk tingkat provinsi sesungguhnya sudah tampak pada pembahasan APBD yang mestinya bisa dilakukan berbulan-bulan, namun ironisnya hanya dilakukan 3 hari. Waktu untuk mempelajari buku yang tebal, dokumen APBD harusnya membutuhkan waktu yang lama.

” P r o s e s y ang d inama k a n desentralisasi menuju resentralisasi, ibarat orang melempar umpan ke sana, tapi mereka juga makan umpan itu. Papua dikasih uang banyak-banyak, tetapi pemberi uang juga ikut makan. Ini namanya kan tidak ikhlas dan semuanya ini ada buktinya,” kata Watori.

Terhadap Dinas PU Watori me n g i n g a t k a n a g a r d a l a m melaksanakan proyek harus jelas, bukan hanya menyebut nama lokasi proyek. Soalnya, DPRP sulit mendapatkan akses untuk transparansi karena semua berada dalam lingkaran. Dalam proses penyusunan APBD saja, sering ada alasan BPK belum melaksanakan audit. Ini karena korupsi sudah dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Sementara jaksa-jaksa dan polisi menurutnya rata- rata sudah rusak.

”Bagaimana bisa memperbaiki sesuatu yang rusak, bila yang mau memperbaiki saja sudah rusak,” tukasnya.
Menurutnya, para pejabat di Tanah Papua harus dirubah cara berpikir dan cara kerjanya. Ia melihat ada kesalahan besar dalam sistem, banyak aspek harus diperbaiki. Pertanggung jawaban administrasi keuangan, harus lebih terarah. Ia menyarankan dibentuknya badan kerjasama antarlembaga. Antara lain, jalin kerjasama dengan LSM, gereja, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Kapasitas SDM Minim
Kepala Inspektorat (dulu: Bawasda) Papua, Daulat Tampubolon, Ak,MM, ikut bicara soal korupsi di Tanah Papua. Di Provinsi Papua dengan 29 kabupaten/kota jika dilihat dari kemampuan SDM dan dana, sangat terbatas jangkauannya untuk melakukan pengawasan. Tenaga pemeriksa (auditor) di Inspektorat Papua saat ini hanya 56 orang. Satu tahun paling sedikit ada 60 objek pemeriksaan dengan rata-rata 5 hingga 6 tim pemeriksa dari tenaga yang ada.

Ini sudah termasuk tugas-tugas pemeriksaan reguler di SKPD-SKPD, pemeriksaan laporan masyarakat, tugas pemeriksaan yang diamanatkan gubernur, hingga review pengawasan. Pemeriksaan kinerja pemerintah daerah, di dalamnya juga termasuk pemeriksaan masa akhir jabatan bupati/pejabat. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat dan lain-lain yang urgen sesuai permintaan gubernur.

Untuk menunjang proses pengawasan, ia mengakui, kapasitas SDM pengawas di tingkat kabupaten/kota untuk mereview pengawasan masih sangat kurang. Ketika ditanya soal adakah indikasi bahwa selama tahun 2009 ada pejabat yang melakukan korupsi, ia mengatakan indikasi itu pasti ada, tapi dibutuhkan proses pembuktian. Sayang, ia tidak menyebutkan pelakunya.

Disinggung soal pemekaran wilayah yang berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran, menurutnya perlu ada grand design pemekaran. Ini dimaksudkan agar bisa diketahui berapa ideal dana yang dibutuhkan untuk membangun suatu daerah. Sebab diharapkan dana pembangunan yang diturunkan ke kabupaten-kabupaten pemekaran bisa dinikmati masyarakat. Pada sisi lain, memang di daerah pemekaran telah tersedia dana pembangunan, namum kapasitas SDM pengelolaannya masih menjadi masalah.

Ada fenomena lain yang cukup unik, katanya. Misalnya ada beberapa tenaga pengawas di Inspektorat Provinsi yang telah dilatih hingga ke Jakarta, ketika terjadi pemekaran kabupaten dan dibutuhkan tenaga pengawas, mereka lalu direkrut ke daerah-daerah pemekaran untuk memperkuat kapasitas SDM. Ironisnya, setelah bertugas di kabupaten pemekaran, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ini problem internal yang terjadi.

Kepala BPKP Papua Eddy Rachman, mengatakan, BPKP tetap konsisten mengawasi dana-dana yang terkait dengan program prioritas utama dalam Otsus, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Namun kultur kedisiplinan perlu ditingkatkan di Papua. Selain itu karakter individual juga harus dirubah karena sangat mempengaruhi pelaksanaan birokrasi. Karena itu bagaimana memangkas kultur-kultur negatif agar kinerja pemerintahan bisa berjalan baik.

Eddy mengaku terkadang kasus korupsi di Papua susah ditelusuri, karena sering terkait dengan persoalan budaya, atau adat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi. Misalnya pembayaran denda yang menggunakan kas daerah, sementara hal tersebut tidak ada alokasi anggaran, sehingga sulit dipertanggungjawabkan.

”Kita punya tiga strategi penanganan korupsi. Penanganan preventif mengacu pada PP No. 60 Tahun 2008, tentang Pengawasan Internal Pemerintah. Penanganan represif, mengacu pada Inpres No 5 Tahun 2004. Lalu alokasi anggaran sebesar 40% untuk melakukan tindakan pencegahan (preventif) sudah cukup untuk melayani Papua dan Papua Barat, kendati medan geografis sangat sulit diakses,” kilahnya.

Soal kinerja birokrasi, Pengamat Pemerintahan FISIP Uncen, Drs. Untung Muhdiarta, M.Si mengatakan yang saat ini diperlukan adalah kepercayaan (trust) masyarakat kepada pemerintah.
“Krisis kepercayaan publik kepada pemerintah akan menjadi masalah yang serius. Jika dibiarkan akan menjadi bumerang bagi pemerintah,” ujarnya.

Menurut Untung, birokrasi selama ini bereuforia dengan dirinya sendiri, sementara di luar birokrasi terjadi perubahan yang besar di masyarakat. Karena perubahan itu tidak diikuti birokrasi, akibatnya program pemerintah menjadi tidak sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Inilah dampak dari birokrasi yang tidak bisa mengikuti perkembangan lingkungan secara strategis, baik secara internal maupun eksternal.
“Birokrasi harus netral (apolitis),” ujar Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen ini. Sayang, dalam prakteknya tidak demikian. Ada orang-orang yang memiliki pewarisan sosial yang sangat kuat dari resim sebelumnya. Misalnya gaya kepemimpinan (style leadership), struktur organisasi dan karakter birokrasi. Namun selama ini hanya struktur birokrasi yang berperan aktif. Sementara gaya kepemimpinan dan karakter birokrasi tidak begitu menonjol.

Demikian pula dengan penempatan seseorang untuk menduduki jabatan, harusnya didasarkan pada karir pemerintahan (birokrasi) dan bukan politik. Tapi yang lebih menonjol adalah karir politik. Inilah yang menyebabkan pelaksanaan birokrasi pemerintahan tidak berjalan sesuai harapan.

”Korupsi di kalangan pejabat terjadi karena salah satu faktornya sistem birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya upaya mempertahankan kekuasaan birokrasi. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan penyalahgunaan proyek pembangunan untuk memperkaya diri,” jelasnya.

Karena itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak terjadi. Sebab jika hanya transparansi, tapi tidak ada akuntablilitas akan sia-sia. Pengawasan fungsional yang selama ini dilakukan Inspektorat, menurutnya hanya mengawasi dirinya sendiri. Karena itu, diperlukan pengawasan politik yang bisa dimainkan pihak legislatif (DPRD kabupaten/kota dan DPRP) maupun pengawasan sosial masyarakat. Tapi masalahnya, ruang bagi berlangsungnya pengawasan sosial belum diatur secara baik.

Rubah Kultur dan Kebiasaan
Dalam kaitan dengan kasus korupsi ini Anggota DPD RI dari Dapil Papua, Paulus Sumino mengatakan penegakkan hukum di Tanah Papua harus dilihat secara keseluruhan. Aturan labil, kalau diterapkan secara kaku, banyak orang Papua masuk penjara. Penerapan hukum di Papua tidak bisa diterapkan secara kaku.
“Harus diperhatikan asas manfaat dari keuangan tersebut, tidak hanya semata-mata penerapan hukum belaka. Kalau korupsi dalam arti memperkaya diri dan berfoya-foya itu yang harus ditangkap,” tandasnya.

Untuk langkahkedepan Paulus menawarkan lima pandangan agar kondisi Papua menjadi lebih baik. Pertama, harus ada pertobatan. Kedua, harus dilengkapi dengan Perdasi/Perdasus. Ketiga, Gubernur harus memberi petunjuk konkrit. Keempat, SDM ditata dengan baik. Kelima, mekanisme penggunaan uang harus diatur dengan baik.

Direskrim Polda Papua, Petrus Waine berpendapat apa yang saat ini terjadi akibat lemahnya pengawasan internal dari Inspektorat dan pengawasan eksternal dari BPK, BPKP dan KPK. Kelemahan pengawasan internal lebih banyak menganut asas pembiaran, yang sifatnya pembinaan administrasi, sementara sudah nyata-nyata orang tersebut telah melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara.

Sementara pengawasan eksternal menganut sistem pembinaan yang bersifat administrasi, maupun penegakan hukum. Tetapi penegakan hukum persentasinya kecil, karena menganut asas pembiaran. Penegakan hukum ini ditempuh jika sudah sangat keterlaluan. Karena itu sangat ironi Papua yang memiliki dana besar dari dana Otsus, APBN, APBD, namun masyarakatnya tetap hidup dalam penderitaan.
”Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kedepan program yang digulirkan harus menyentuh dan sampai kepada masyarakat,” ujarnya.

Sementara Budi Setyanto menilai kasus korupsi di Papua masih sangat sedikit yang terangkat kepermukaan karena pertimbangan politik, kultur, alasan kurang bukti, dan sebagainya. Padahal sesungguhnya kasus korupsi di Papua sudah sangat memprihatinkan.

“Seharusnya siapa pun yang melanggar aturan harus diproses secara hukum,” ujarnya. Proses penegakan hukum untuk kasus korupsi mestinya dilakukan secara profesional. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan harus benar-benar profesional. Mereka harus betul-betul melakukan penyelidikan dan penyidikan yang serius dan sungguh-sungguh dan bukan menjadikan setiap kasus sebagai lahan bisnis.
Katanya, sejak dana Otsus Papua dilontorkan tahun 2002 hingga kini telah mencapai Rp 20-an triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua (penduduk asli sekitar 1,5 juta jiwa) yang hanya 2,6 juta jiwa (termasuk Papua Barat), tentu jumlahnya terlampau besar. Meskipun untuk perbandingan luas wilayah Tanah Papua, total dana itu masih kecil.

Secara konseptual visi-misi pembangunan Papua terbilang baik dan muluk. Ironisnya, pada tataran implementasi hal itu tidak diwujudkan dengan baik. Misalnya, reformasi pemerintahan yang digembar-gemborkan Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik belum berjalan sebagaimana dijanjikan.

Padahal dengan adanya reformasi pemerintahan akan terbangun suatu sistem yang mengatur secara mantap menyangkut birokrasi pemerintah, struktur anggaran, karakter birokrat, pelayanan publik, dan sebagainya untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik. Reformasi anggaran pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Konsep pembagian anggaran sebagaimana komitmen Gubernur juga tidak berjalan sepenuhnya. Di satu sisi transparansi dokumen APBD tidak pernah dibuka ke publik. Terkesan dokumen APBD sering dianggap sangat sakral sehingga publik tidak berhak mengetahuinya. Hal ini harus dirubah.

Ketua PWI Frans Ohoiwutun ikut prihatin dengan kasus korupsi yang menggerogoti Tanah Papua. Katanya, belakangan muncul dua fenomena di masyarakat. Pertama, bingung gunakan dana yang banyak. Kedua, bingung mempertanggung jawabkan setelah dana habis terpakai.
”Semua perencanaan yang dibuat di tingkat kampung, distrik, kabupaten hingga provinsi, tampaknya bagus, karena semuanya untuk mempercepat pembangunan. Tapi setelah dana dicairkan tidak digunakan sesuai yang direncanakan,” kata Ohoiwutun.

Ia memaklumi ketika alasan geografis, budaya dan sosial ekonomi Papua yang kompleks menyebabkan anggaran tidak digunakan sesuai peruntukannya dalam DIPA dan DPA. Harus diakui pembangunan fisik di Tanah Papua sudah begitu nampak dengan adanya infrastruktur jalan, jembatan, rumah, dan lainnya. Tapi banyak juga pembangunan yang tidak menyentuh masyarakat. Dari survei di beberapa wilayah dalam tugas jurnalistik dapat disimpulkan dana yang sampai ke masyarakat tidak lebih dari 20 persen.

“Pertanyaannya dana yang sebagian besar hilang itu larinya ke mana,” ucap Ohoiwutun.
Dalam kaitan dengan maraknya kasus korupsi di Tanah Papua Ohoiwutun mengharapkan agar dapat disikapi secara bijaksana. Sebagai daerah Otsus paling tidak ada hal khusus dalam penanganan terhadap kasus korupsi di Papua.

“Seandainya seorang pejabat menggunakan dana tertentu untuk masyarakat tapi tidak sesuai peruntukkannya, apakah itu bisa dikatakan kosupsi?. Inikan sulit,” ujarnya lagi.
Pada wilayah-wilayah kabupaten pemekaran, bupati dan pejabat bisa saja mengeluarkan uang untuk masyarakat dengan jumlah ratusan juta hingga miliar rupiah. ”Kalau mereka tidak keluarkan dana itu, nanti serba salah karena masyarakat setiap hari ada di kediaman atau kantor mereka. Kebutuhannya macam-macam, ada kebutuhan untuk beli beras, anak sakit, beli obat, pendidikan, dan sebagainya,” tambah Ohoiwutun.

Karena itulah, Ohoiwutun berharap penanganan kasus korupsi di Tanah Papua harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat yang sering membuat para pemimpin wilayah menjadi dilematis dalam mengambil keputusan. Padahal kehadiran mereka selaku pejabat publik sepenuhnya untuk melayani masyarakat.

Bedakan Privat dan Publik
Pengamat Politik Yohanes Fransiskus, SIP, M.Si dari FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta menilai apa yang saat ini dipersoalkan di Papua mengenai korupsi sebetulnya bukan masalah yang pelik jika semua orang paham dan bisa membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik.

”Kalau bicara soal negara, pemerintah, itu urusan publik. Kalau bicara soal keluarga, famili, kakak adik, suku, dan lain-lain, itu berarti kita bicara hal yang privat. Yang terjadi di Papua itu karena salah kaprah. Orang mencampuradukan urusan publik dan urusan privat. Itu salah besar. Tidak bisa karena alasan keluarga, beri uang negara ke keluarga, famili, suku lantas minta pembenaran. Padahal dana itu tidak sesuai peruntukannya,” kata Pengamat Politik yang biasa disapa Ansy ini.
Menurut Ansy umumnya korupsi itu ada dua jenis. Pertama, orang melakukan korupsi karena memang terdesak kebutuhan. Kedua, korupsi karena memang pelakunya serakah. Yang di Papua tampaknya terjadi karena keserakahan. Tidak ada bedanya dengan yang terjadi di pusat kekuasaan negara ini, atau pun sejumlah daerah lain di Indonesia.

”Saya harap semua kasus di Papua harus diproses secara hukum. Kalau memang kita mencintai rakyat Papua, sudah saatnya harus bawa semua pelaku korpsi ke hadapan pengadilan. Tidak bisa membiarkan begitu saja dengan berlindung di balik budaya masyarakat. Jangan persalahkan budaya masyarakat. Itu tidak benar,” katanya.

Proses hukum menjadi sangat penting sehingga harus ada yang dihukum untuk menumbuhkan efek jera. Tapi kalau lantas kita membiarkan semua ini bebas terjadi maka kondisi di Tanah Papua akan semakin memprihatikan. Yang akan tetap menderita itu rakyat jelata yang ada di berbagai pelosok Papua.

”Coba direnungkan kalau para koruptor itu selama ini membagi uang ke rakyat, lantas kenapa sampai hari ini rakyat Papua tetap berada dalam cengkraman kemiskinan. Karena itu soal benar atau tidak dana mengalir ke rakyat harus dibuktikan di depan pengadilan. Tidak boleh ada toleransi,” timpalnya.

Agar korupsi di Papua bisa ditekan/dikurangi, Ansy menghimbau kepada semua elemen yang ada di Papua mendorong demokrasi secara lebih baik. Kekuatan rakyat harus bergerak dan bersinergi. Mahasiswa, LSM dan semua yang peduli pada rakyat Papua harus berdiri di lini paling depan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.

”Bila hari ini orang Papua tidak berjuang untuk membebaskan diri mereka dari korupsi maka sampai kapan pun rakyat Papua tidak akan pernah keluar dari kemiskinan dan penderitaan,” tandas Ansy.

Karena korupsi adalah penipuan, dusta yang mengorbankan manfaat bersama atau kepentingan umum. Korupsi memberi ketenangan bagi patologi sosial yang memecah belah, menimbulkan keadaan tidak stabil dan membuat orang tidak peka. Korupsi tidak saja membawa masyarakat ke arah yang salah, tapi juga melunturkan legitimasi pemerintah, mendukung pemimpin yang salah dan memberi teladan yang salah bagi generasi yang akan datang. (Tim Fokus FOJA)