Senin, 30 November 2009

Potret Kemiskinan di Negeri Otonomi Khusus


Deretan rumah mewah pejabat disepanjang jalan menuju kawasan angkasa Jayapura, tak ubahnya seperti topeng yang menutupi wajah kemiskinan di bagian belakangnya. Jika kita menyusuri jalan Sabang Merauke, kita akan mendapati sebuah perkampungan yang disebut kampung Wamena. Sebuah ironi tampak jelas terpampang. Beberapa rumah papan yang sudah dimakan rayap, menandakan status social penghuninya. Namun gelak tawa sekumpulan anak kecil yang sedang bermain sepertinya menghapus semua kesedihan dan penderitaan penghuni kampung ini.
Fanny Asso misalnya bocah manis ini tampak selalu ceria berkejar-kejaran dengan teman-teman sepermainannya. Anak kecil berkulit putih dengan rambut keriting pirang menandakan hasil perkawinan campuran ini merupakan anak dari Paul Asso. Umurnya yang sudah tujuh tahun seharusnya mengantarkannya duduk di bangku sekolah dasar, namun kenyataannya hingga sekarang Fanny harus rela menghabiskan hari-harinya bermain di halaman rumahnya. “Saya mau sekolah tapi kata bapak tidak punya uang untuk biaya,” katanya polos.
Paul dan anaknya Fanny, menempati rumah berpetak tiga. Mereka sendiri menempati bagian tengahnya, sementara dua petak lainnya ditempati oleh kerabatnya. Ruang tamunya tampak rapi. Sebuah meja kayu panjang tanpa taplak, hanya dihiasi oleh sebuah vas bunga dan setumpuk buku rohani serta sebuah Alkitab. Sebuah televisi tua merek sony empet belas inch menjadi satu-satunya penghibur duka lara Paul dan Fanny, sementara jam dinding Seiko yang jarumnya tidak bergerak pertanda mati, sepertinya menjadi saksi bisu penderitaan keluarga ini.
Menurut Paul Asso, ibu Fanny yang asal Jawa, telah meninggal dunia beberapa waktu lalu akibat tumor ganas yang tidak pernah mendapat pengobatan. Ia sendiri dalam keadaan sakit sakitan. “Saya kasihan melihat Fanny. Setiap pagi mukanya kelihatan sedih melihat anak-anak lainnya yang berangkat ke sekolah. “Saya hanya mampu menyekolahkannya hingga Taman Kanak-Kanak,” ujar pria berbadan kurus ini.
“Saya lahir di Wamena, dan sekolah hingga kelas dua SMP, namun karena keterbatasan biaya, akhirnya saya berhenti dan berniat mencari pekerjaan. Kesulitan hidup di Wamena membuat saya berpikir untuk merantau ke Jayapura. Saya datang kesini (Jayapura-red) sejak tahun1980,” kata Paul memulai kisahnya. Di Jayapura Paul kemudian bekerja di rumah Komandan Kodim Danin Harianto. “Waktu itu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Semuanya saya kerjakan mulai dari memasak, mencuci, menyetrika, hingga mengantar anak-anak ke sekolah. Saya bekerja disana tanpa imbalan, saya hanya berpikir yang penting saya bisa hidup,” kata pria kelahiran Wamena 1963 ini.
Setahun kemudian Paul memutuskan untuk bekerja sebagai cleaning service di depot Pertamina Dok IX, Jayapura. Di sini Paul bekerja selama kurang lebih empat belas tahun. Namun usia yang terus menggerogoti hidupnya menyebabkan ia harus berhenti. Oleh atasannya ia kemudian dipindahkan ke rumah dinas pimpinannya juga sebagai petugas kebersihan. Setelah bekerja selama satu tahun lebih satu persatu penyakit mulai menderanya. “Kata dokter saya menderita penyakit maag kronis, namun saya terpaksa tidak berobat karena tidak memiliki biaya, sementara ini saya belum menerima pesangon dari tempat kerja saya dulu. Saya hanya bisa pasrah dengan keadaan,“ katanya.
Hingga saat ini Paul hanya bisa berharap uluran tangan dari kerabat-kerabat terdekatnya. “Saya beruntung masih ada Alex Siep (kerabatnya-red) yang mau menolong kesusahan saya. Rumah yang kami tempati ini juga kami bangun dari hasil patungan dengan bapak Alex dan keluarga lainnya,” ungkap Paul. Kini Paul dan Fanny hanya bisa berharap perhatian dari pemerintah atau dermawan yang dapat membantu kesulitan ekonomi dan menyekolahkan Fanny demi masa depannya. Ataukah pendidikan gratis anak-anak Papua, yang digembor-gemborkan pemerintah mungkin hanya akan menjadi sebuah mimpi penghias tidurnya. (R3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar