Jumat, 16 April 2010

Menuju Rumah Sakit Mandiri


RSUD Yowari yang diresmikan sejak tahun 2007 lalu masih mengalami berbagai kendala. Pembenahan terus dilakukan menuju rumah sakit yang mandiri.


Pagi sudah menjelang siang ketika aktivitas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari, Kabupaten Jayapura mulai terlihat. Di pintu masuk RS, lalu-lalang kendaraan bermotor, maupun pejalan kaki terlihat ramai. Ada pasien, pembesuk, ada pula perawat, dan staf rumah sakit.

Di depan poliklinik puluhan pasien tampak menunggu antrian. ”Pelayanan di RSUD Yowari ini sudah cukup baik, seperti pengambilan kartu, dan obat. Namun mungkin dokter perlu ditambah, karena kita pasien membutuhkan pelayanan yang cepat sehingga tidak usah menunggu lama, apalagi orang sakit kalau dibiarkan menunggu lama akan semakin parah. Ini perlu diperhatikan oleh manajemen,” kata Yahya Romawi. Menurut pria asal Nabire ini kebersihan juga menjadi nilai plus rumah sakit Yowari. ”Cukup bersih, dibandingkan dengan yang lain (rumah sakit lain). Saya ke sini check up gula darah kerena dengar dari teman kalau Yowari cukup baik,” katanya.
Senada dengan itu, ibu Dwi yang sedang mengantar putra kesayangannya yang sedang demam mengungkapkan bahwa ia lebih senang berobat ke sini daripada ke Puskesmas. ”Di samping rumah saya yang dekat dari sini saya juga senang karena di sini bersih. Tidak bau obat, cuma pelayanan agak lambat. Mungkin pasien terlalu banyak atau jumlah dokternya yang kurang,” kata warga Kertosari ini.

Ditemui di ruang kerjanya Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Yowari, dr. Nico Barends, M.Kes, mengungkapkan, bahwa permasalahan terbesar rumah sakit terletak pada pengelolaannya, bukan pada pembangunannya. ”Untuk mewujudkan pelayanan prima, setiap tahunnya biaya operasional RSUD Yowari bisa mencapai 20 hingga 25 miliar rupiah. Jadi biayanya sangat besar, karena jika tidak, akan jadi rumah sakit kumuh,” katanya.
Menurut Barends rumah sakit ini direncanakan dengan matang oleh Pemda dan menjadi prioritas di bidang kesehatan. ”Keseriusan itu terlihat jelas pada bagaimana pihak Pemda mempersiapkan sumber daya dalam mengelola rumah sakit ini, dan fasilitas yang tergolong lengkap untuk ukuran rumah sakit di Papua. Selain itu apa yang menjadi kebutuhan RSUD Yowari saat ini masih terpenuhi. Yang saya khawatirkan jika nantinya ada pergantian kepemimpinan di daerah, sehingga orientasi ke rumah sakit dialihkan ke Puskesmas. Ini akan berdampak pada kualitas pelayanan dan secara otomatis menyebabkan keluhan masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut Barends mengatakan bahwa pasca terbitnya UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, sebenarnya memungkinkan rumah sakit sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLU), dalam artian semi swasta, yang tidak wajib menyetor pendapatannya ke kas daerah, tetapi dikelola sendiri untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. ”Tetapi walaupun tidak tergantung kepada pemerintah, tetapi subsidi harus tetap jalan,”.
Badan Layanan Umum (BLU) sendiri merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. ”Kita menargetkan tahun 2012 hal ini (BLU-red) bisa terwujud, dan ini sesuai dengan visi kabupaten, yaitu kemandirian,” kata Barends optimis.


Usaha Layanan Prima

Dalam bahasa Tanah Merah, dan daerah lain di Kabupaten Jayapura pada umumnya, kata Yowari merupakan gabungan dari dua kata yaitu yo, yang artinya rumah atau kampung, dan wari diartikan sebagai nafas atau kehidupan. Jadi secara harafiah dapat diartikan sebagai rumah pemberi kehidupan.
Kata ini sangat cocok untuk menggambarkan peran rumah sakit dalam kehidupan masyarakat. ”Sesuai namanya, maka kami berkomitment untuk menjadikan rumah sakit ini sebagai tempat pelayanan masyarakat, sehingga masyarakat bisa merasakan arti dari keberadaan rumah sakit ini,” kata Barends. Kendati begitu ia mengakui pada awalnya pasien yang datang Yowari masih sangat sedikit. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya tenaga dokter, terutama dokter spesialis. ”Waktu itu kami masih menggunakan dokter part time,” ujarnya.

Berbagai usaha kemudian diupayakan oleh pihak manajemen RSUD untuk mewujudkan pelayanan yang maksimal. Termasuk mendatangkan dokter-dokter spesialis dari luar. ”Untuk menarik minat para dokter spesialis datang ke sini, kami merangsangnya dengan honor hingga 15 juta rupiah per bulan yang sebelumnya hanya 5 juta rupiah. Hal ini kami lakukan karena kebutuhan akan dokter spesialis sangat tinggi, sementara hal itu juga merupakan syarat untuk memenuhi standar sebagai rumah sakit type C. Jadi dengan kebijakan itu, saat ini kami sudah memiliki dokter umum sebanyak 13 orang, 7 dokter spesialis, dan satu part time,” jelasnya.
Secara terang-terangan, Barends mengungkapkan kebijakan menaikkan honor dokter ini sebagai trik agar mereka bisa bertahan, karena menurutnya seorang dokter yang tidak memiliki hubungan emosional atau ikatan batin dengan Papua, akan sulit bertahan. ”Seorang tenaga medis harus memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, dan tidak berorientasi terhadap materi. Kalau tidak, susah!,” tambahnya.
Walaupun hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan akan dokter spesialis di RSUD Yowari pemerintah daerah sedang menyekolahkan putra-putri daerah, namun belum mampu mengatasi persoalan ini. ”Sebagian masih dalam proses belajar jadi belum bisa diharapkan. Memang sudah ada yang kembali tapi belum cukup. Mudah-mudahan tahun ini ada lagi yang datang,”. Sementara itu untuk mengatasi kekurangan tenaga medis lainnya Pemkab telah mengakomodirnya pada setiap penerimaan CPNS setiap tahunnya.

“Saya berharap dengan tenaga yang masih kurang, pelayanan kepada masyarakat harus tetap menjadi perhatian. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, maka dalam bekerja harus terikat dengan sumpahnya yakni untuk melayani masyarakat dengan sungguh-sungguh sepenuh jiwa dan hati,” kata Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, suatu ketika.

Menurut Barends untuk standar Rumah Sakit Daerah, pelayanan di rumah sakit ini sudah cukup ideal. Kami terus memperbaiki kualitas pelayanan berdasarkan referensi pengaduan dari masyarakat melalui kotak saran yang ditempatkan di sudut-sudut rumah sakit. Bentuk bentuk pengaduan yang masuk seperti pelayanan apotek yang lambat dan solusinya adalah di lakukan standar waktu tunggu dan juga pengadaan mesin racik untuk obat-obatan.
Bahkan pada pertengahan tahun 2009 lalu, Pemkab telah meyelenggarakan Lokakarya Mekanisme Pengaduan Masyarakat Terhadap Kinerja Pelayanan RSUD, dan Puskesmas yang ada di lingkungannya. ”Pengelolaan pengaduan masyarakat akan menjadi bahan evaluasi bagi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit, maupun Puskesmas,” kata Sekda Kabupaten Jayapura, Ir. La Achmady, MM, ketika itu.
“Banyak pengaduan dari masyarakat yang merupakan respon atas kinerja pelayanan kami. Untuk itulah berdasarkan hal tersebut kami akan berjanji untuk melakukan perubahan-perubahan menuju perbaikan lebih baik ke depan. Upaya yang kami lakukan sudah terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pasien yang berobat kemari. Ini menandakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit ini mulai meningkat, walaupun terkadang yang datang itu adalah pasien yang seharusnya ditangani di Puskesmas, karena penyakitnya masih tergolong ringan, misalnya flu. Apalagi yang tinggalnya dekat dengan rumah sakit,” ungkap pemegang gelar S2 dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini.

”Dari semua yang kami telah lakukan, cukup memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Pasien sudah mulai berdatangan, bahkan dari daerah lain. Untuk peningkatannya, memang belum bisa digambarkan dalam angka karena belum ada data pembanding. Termasuk untuk angka kematian cukup menurun drastis,” ungkap Barends.

Jamkesda
Pelaksanaan program kesehatan gratis sendiri menurut Barends sempat mengalami kendala, terutama dana Jamkesda Provinsi karena belum adanya petunjuk teknis (Juknis). ”Kami mesti hati-hati menggunakan dana itu, jika tidak mau berurusan dengan hukum. Jadi untuk tahun kemarin kami masih menggunakan dana kabupaten. Dan kami sangat selektif menentukan kepada siapa dana itu diberikan. Misalnya orang asli Kabupaten Jayapura yang benar-benar miskin, atau orang yang dalam keadaan darurat yang harus ditolong pada saat itu juga seperti melahirkan atau operasi dadakan. Padahal menggunakan Askes atau Jamkesmas itu aturannya harus ada rujukan dari Puskesmas, agar bisa diklaim. ”Kalau sudah begitu terpaksa kita yang pergi mengurusnya untuk memenuhi birokrasinya,”.
”Untuk tahun ini kami sudah bisa menggunakan dana Jamkesda Provinsi, karena Juknisnya sudah turun sejak November lalu. Jamkesda ini memang sangat membantu, namun birokrasinya sangat susah diterapkan, apalagi pemeriksaan dari BPK sangat ketat,”.


Pengembangan

RSUD Yowari dengan luas areal 10 hektar, masih sangat mungkin untuk dikembangkan ke depannya. Pasalnya arela yang digunakan baru mencapai 5 hektar, atau setengahnya. ”Di waktu lalu kami masih menggunakan ruang kelas III. Karena semakin membludaknya pasien dan tuntutan dari masyarakat maka kami telah membangun ruang VIP dan ruang kelas I dan telah diresmikan penggunannya oleh bapak bupati pada tanggal 27 Maret lalu. Jika ini belum cukup, maka kami akan tambah, termasuk pembangunan gudang farmasi,” jelasnya.

Soal kebersihan lingkungan rumah sakit walaupun sepintas tampak terjaga, namun Barends merasa belum puas. ”Kami belum bisa menerapkan aturan-aturan yang ekstrim. Kami masih sebatas himbauan,”. Menurut Barends banyaknya pintu masuk karena belum adanya pagar, menyebabkan pengunjung belum diatur, sehingga akan berdampak pada kebersihan lingkungan RS, karena orang dengan leluasa masuk membawa pinang, merokok di lingkungan rumah sakit. ”Kami hanya bisa menghimbau lewat pamflet, kecuali ICU yang kebersihannya kita jaga betul. Hal itu kami atasi dengan membuat pagar darurat,”.
Dampak lain dari ketiadaan pagar seperti jam berkunjung (pembesuk) belum bisa diatur. ”Dulu kami sudah pernah mencobanya, namun sangat sulit Tapi mudah-mudahan tahun ini kami bisa membangun pagar, agar semuanya bisa diatur. Jika hal ini terpenuhi, maka semuanya akan lebih tertib,” katanya. Barends berharap suatu waktu rumah sakit Yowari akan tampil sebagai pelayanan traumatik terbaik di Papua, di mana harus mempunyai layanan unggulan, misalnya memiliki dokter spesialis ortopedi, bedah syaraf, dengan fasilitas yang lengkap. ”Ini juga adalah amanat pak Bupati,” tegas Barends. Semoga. (Junaedy Patading)

Nasib Malang Si Bocah Tumor


Ruangan berukuran 3x4 meter pagi itu kelihatan ramai oelh beberapa orang. Seorang ibu sedang menyusui bayinya, bersama dengan tiga orang laki-laki yang sedang memandangi seorang bocah yang terbaring lemah. Namun tidak satupun yang bersuara. Suasana terasa hening. Hanya suara pembaca berita tentang kasus Bank Century dari TV ukuran 17 inch yang sengaja dikecilkan volumenya di sudut ruangan memecah kesunyian.

Abraham Soplanit terlihat sibuk merapikan tikar rajutannya yang terbuat dari beberapa karung beras bekas yang telah dijahit. Seakan tidak mempedulikan kedatangan Foja ia kemudian mengalasi tikar buatannya itu dengan beberapa lembar koran usang sambil sesekali mengelus dengan kedua telapak tangannya seperti sedang menyeterika. Suasana belum juga cair. Di sisi ruangan lain Yakobus Mokoibimo duduk terpekur memeluk kedua lututnya. Diam seribu bahasa, entah apa yang ada di benaknya. Matanya seperti tidak mau lepas mengawasi seonggok tubuh kurus kering dengan perut buncit di depannya.

“Namanya Alex. Ia menderita tumor,” kata Abraham membuka pembicaraan. Suasana jadi cair. Rupanya ia telah selesai dengan pekerjaannya. ”Tikar ini saya buat untuk terapi dia nanti,” tambah laki-laki, yang akrab disapa Bram ini. Ia menjelaskan bahwa tikar buatannya itu akan ditaburi dengan pasir yang telah dipanaskan dan selanjutnya tubuh Alex dibaringkan di atasnya. ”Mau apa lagi. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk meringankan rasa sakitnya,” katanya lagi. Menurut Bram terapi ini dilakukan atas saran dari seorang bernama Ibu Morin, yang sering mengobati berbagai jenis penyakit dengan metode alternatif.

Tumor ganas yang diderita Alex sudah berlangsung setahun, namun akibat dari kemiskinan, maka terpaksa dibiarkan. Desember 2009 ia dibawa ke RSUD Merauke oleh Yakobus, pamannya. ”Kami tinggal di Mappi, sementara dokter di sana (Mappi-red) bilang harus ke RS Merauke,” ungkap Yakobus. Di Rumah sakit Merauke bocah cilik itu divonis menderita tumor ganas. Sayangnya keterbatasan peralatan medis menjadi penghalang untuk operasi. Pihak rumah sakit kemudian menganjurkan untuk dibawa ke RSUD Dok II, Jayapura, yang mempunyai peralatan lebih lengkap. Yakobus hanya bisa tertunduk lesu mendengar keputusan pihak rumah sakit. Maklum saja mereka bukanlah keluarga yang berada. Jangankan untuk biaya berobat atau operasi, untuk sekedar ongkos jalan ke Jayapura pun tidak ada.

Sebersit harapan kembali muncul. Atas bantuan dari berbagai pihak, Yakobus akhirnya membawa keponakannya itu ke Jayapura.

Masuk Rumah Sakit Dok II Jayapura, penderitaan yang dialami Alex tidak lantas berhenti. Bukan hanya rasa sakit yang mendera. Jalan satu-satunya untuk sembuh harus melalui operasi. Namun kata pihak RS harus menyediakan sedikitnya delapan kantong darah golongan AB. Yakobus bingung harus mencari ke mana. Sementara itu Alex hanya mendapat perawatan ala kadarnya, bahkan cenderung terabaikan.
Rasa iba Abraham Soplanit yang merupakan petugas kamar jenazah di rumah sakit ini muncul. Rasa kemanusiaannya seperti terusik melihat keadaan Alex. ”Saya tidak punya hubungan apa-apa namun saya tidak tega melihat ia terbaring menderita di situ,” kata Bram dengan nada sedih. Bram bersama istrinya kemudian memutuskan untuk membawa Alex ke rumah mereka yang tidak jauh dari lokasi rumah sakit.

Dengan penuh kasih ia merawat Alex, dengan berbagai cara yang bisa dilakukannya, termasuk dengan pengobatan alternatif. Sementara itu sang paman, Yakobus setiap hari berkeliling untuk mencari darah untuk persiapan operasi kelak. Dari berbagai informasi mengenai tempat yang kemungkinan mempunyai persediaan darah pun ia datangi. Tidak mudah. Di samping golongan darah yang dibutuhkan memang tergolong langka, ia juga mesti melakukan ini dengan berjalan kaki. Panas terik matahari kota Jayapura tidak dipedulikan demi keselamatan Alex. ”Saya telah mendatangi berbagai tempat, namun saya tidak dapat darah,” kata Yakobus pasrah.

Tumor yang bersarang di perut Alex menyebabkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Badannya kurus dengan perut membuncit seperti busung lapar. Tidak hanya itu setiap saat ia harus merintih kesakitan, dengan nafas tersengal seperti tertahan di kerongkongan. Sesak.

Beberapa waktu kemudian perawatan dan terapi yang dilakukan oleh Bram sudah mulai menampakkan hasil. Terbukti perut yang tadinya membuncit berangsur-angsur surut. Rasa sakit dan sesak pun mulai hilang. Walaupun begitu tidak lantas semuanya menjadi selesai. Ia masih harus menjalani operasi pengangkatan tumor di perutnya, itupun jika ia mampu menyediakan delapan kantong darah, belum lagi biaya lain-lain. Adakah yang tergerak hatinya?. (Junaedy Patading)

Menuju Rumah Sakit Sehat



Sejarah singkat
Setelah perang dunia ke II selesai antara tahun 1946–1959 RSUD Abepura dikelola oleh pemerintah Belanda. Setelah penyerahan kekuasaan kepada RI tahun 1969 RSUD Abepura diubah statusnya menjadi Puskesmas Perawatan dan sekaligus berfungsi sebagai Latihan dan Percontohan Kesehatan Masyarakat (DLPKM). Selanjutnya tahun 1989 DLPKM dipisahkan menjadi PKM Abepura dan Rumah Sakit Pembantu Abepura dengan Kapasitas tempat tidur 30 buah. Sebagai tindak lanjut berikutnya maka sesuai dengan Surat Gubernur KDH.TK.I IRIAN JAYA NOMOR 445/1019/set tanggal 23 Maret 1990 serta surat Dirjen YANMED no.601/YANMED/RS/BU, Dik./YMU/90 tanggal 24 Agustus 1990, kemudian diterbitkan SK Gubenur KDH TK I Irian Jaya No.204 tahun 1990 tentang penetapan RSU Abepura dengan Kapasitas tempat tidur 50 buah. Tahun 1997 sesuai SK Menkes no 1183/Menkes /SK/XI/194 dan keputusan Mendagri nomor 117 tahun 1996 RSUD Abepura ditetapkan menjadi RS Kelas D yang diresmikan oleh Gubenur KDH TTK I Irianjaya pada tahun 1997.

Tidak lama berselang, SK Menkes nomor 491/Menkes /SK/V/1997 tanggal 20 Mei 1997 status RSUD Abepura dinaikkan kelasnya menjadi Kelas C atas persetujuan Mendagri melalui Radiogram nomor: 061/1983/ tanggal 2 juli 1997, dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 107 buah. Rentang waktu yang lama telah dilalui RSUD Abepura memberikan pelayanan masyarakat di Papua.

Visi, Misi dan Motto
Visi dari RSUD Abepura adalah Memberikan Pelayanan Kesehatan dan dipercaya oleh pasien, karyawan dan pihak lain yang berkepentingan dan dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional untuk kepuasan pelanggan untuk terwujudnya Indonesia sehat tahun 2010. Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberapa misi seperti: Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang profesional, sesuai dengan bidang tugasnya, Mengadakan sarana dan prasarana serta kelengkapan fasilitas sehingga pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan baku. Mewujudkan pelayanan prima. Mewujudkan lingkungan Rumahd an sakit yang bersih dan tertib. RSUD Abepura sendiri mempunyai Motto Motto CERIA yaitu:
• Cekatan, adalah setiap penanganan klien dalam bertindak selalu cekatan, cepat tepat dan teliti.
• Efisien, adalah setiap penanganan klien selalu bertindak efisien baik dari segi waktu,biaya dan material.
• Ramah, yaitu setiap petugas dilingkungan RSUD Abepura selalu bersikap ramah kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan dan informasi tanpa membedakan suku/golongan.
• Indah, yaitu selalu menjaga kebersihan lingkungan rumah sakit, sebagai cermin dan kesan pertama bagi para pengunjung RS.
• Aman, yaitu selalu memberikan rasa aman kepada klien dan keluarga, karyawan dan orang lain saat berada di lingkungan.


Manajemen profesional
RSUD Abepura berdiri diatas tanah seluas 7.675 m². Fasilitas yang dimiliki oleh rumah sakit ini adalah gedung perawatan pria, perawatan wanita, perawatan UGD, perawatan bersalin, perawatan bedah, operasi, perawatan anak, gedung poliklinik, loundry, gizi, ruangan kelas/VIP, genset, workshop, ruang rapat, laboratorium, radiologi, obat, apotik, kamar jenazah, dan mobil ambulance. Tenaga perawat dan non perawat 302, sementara dokter umum 23 orang, gigi 3 orang, spesialis 38 orang.
Menurut Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Abepura, drg. Allosyus Giay, Rumah Sakit merupakan lembaga padat karya, dengan ratusan jenis pelayanan sekunder dan tersier yang berbeda dengan lembaga lain dan berlangsung duapuluh empat jam dalam sehari. Kondisi tersebut menyebabkan rumah sakit menjadi organisasi atau lembaga yang padat tenaga, karena membutuhkan banyak tenaga profesional. “Spesifikasi atau jenis tenaga kerja yang ada di Rumah Sakit sangat heterogen, dan mempunyai karakter yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan manajemen yang sangat baik untuk menyatukan,” kata Giyai.

Pengalamannya serta karirnya yang memperlihatkan dedikasi tinggi menempatkan dirinya sebagai figur the right man in the right place. Tercatat ia pernah memimpin di sejumlah instansi seperti Koordinator pendirian Rumah Sakit Pendidikan Type RSUD Jayapura tahun 2002-2005, Ketua Pengelola JPS (Jaminan Pengamanan Sosial) di Bidang Kesehatan RSUD Jayapura tahun 2003-2005, Kepala Seksi Puskesmas pada Subdin Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura tahun 2005-2007, Kepala Sub Dinas Kesehatan Keluarga pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura tahun 2007, Kepala Puskesmas Perawatan Inap Koya Barat pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura tahun 2007, Ketua Jurusan Administrasi Kebijakan Kesehatan (AAK)/Pejabat Kontrak pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen 2005-2007, dan Kasubdin Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kota Jayapura, 2007-2009.

Menurutnya Seorang pemimpin harus mempunyai beberapa aspek penting yaitu ilmu, pengalaman organisasi, keberanian mengambil resiko, dan seni memainkan, karena terkadang aturan itu berbeda dengan kondisi di lapangan,” ungkapnya diplomatis.
Sejak kepemimpinannya di RS ini berbagai perubahan telah dilakukan. “Saya berusaha menghidupkan sistim organisasi, sesuai dengan Tupoksi masing-masing bagian sehingga mereka merasa dihargai. Saya juga berusaha membangun komunikasi dengan para staf, dengan berbagai pendekatan. Misalnya saja ketika mereka tidak masuk saya tidak sungkan untuk datang ke rumahnya untuk menanyakan permasalahannya.

Giyai berpendapat kualitas SDM (Petugas-red) akan semakin meningkat bila memenuhi faktor-faktor seperti Human Relation, yaitu pembangunan hubungan antara bawahan, dan atasan secara terus menerus, adanya transparansi pengelolaan keuangan, maupun hal-hal yang perlu diketahui, dan perubahan sistim seperi memperjelas Standar Pelayanan Minimum (SPM), dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Misalnya di Unit Gawat Darurat UGD) untuk kasus ringan kami menuntaskan pelayanan dalam waktu 5-10 menit atau tidak lebih dari 20 menit, kasus sedang tuntas dalam waktu 10-20 menit atau tidak lebih dari 30 menit, dan kasus berat tuntas dalam waktu 30-50 menit atau tidak lebih dari satu jam.

Program Jamkemas dan Jamkesda
Ia mengatakan bahwa sesuai dengan Perda No. 6 Tahun 2009 yang dikeluarkan Gubernur Papua tanggal 3 Maret 2009, pihaknya saat ini sudah mengimplementasikannya sehingga bagi masyarakat asli Papua miskin dan bagi warga asli Papua yang tidak mampu tidak dipungut biaya dalam bentuk apapun. Hal ini berlaku bagi pasien yang memiliki kartu Jamkesmas ataupun tidak karena, bagi pasien yang memiliki Kartu Jamkesmas sudah tercover dari dana APBN sedangkan yang tidak terakomodir oleh Perda No. 6 Tahun 2009 yang dikeluarkan Gubernur Provinsi Papua tanggal 3 Maret 2009 tentang Kesehatan Gratis bagi masyarakat Papua. Kebijakan yang ditempuh ini ditujukan untuk meningkatkan standar dan mutu pelayanan di RSUD Abepura. “Diperlukan sebuah terobosan radikal untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga bisa dirasakan oleh masyarakat. Pihak kami juga berusaha membebaskan biaya bagi masyarakat non Papua, yang benar-benar tidak mampu”.

Menurutnya kebijakan ini adalah dilakukannya mengingat sumpahnya sebagai seorang dokter yang harus melayani masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Saat ini ia sudah membuat Juknis (Petujuk Teknis) tentang prosedur pelayanan sesuai Perda No.6 yang dikeluarkan Gubernur dan juga Formularium (daftar obat-obatan) RSUD Abepura. “Para dokter dan tenaga medis yang melayani harus mengacu kepada formularium sehingga tidak ada lagi biaya bagi masyarakat yang berobat,”.


Pembangunan Fasilitas

Era kepemimpinan Giay jumlah pasien yang dirawat di RSUD Abepura, semakin meningkat, apalagi setelah pemberlakuan program Jamkesda. “Kami cukup kewalahan bahkan terkadang kami terpaksa menggunakan lorong untuk menampung mereka karena tidak mungkin kita tolak. Kami senang karena hal ini berarti masyarakat semakin percaya dengan kami dan mereka (masyarakat-red) juga semakin sadar dengan arti dan pentingnya pemeliharaan kesehatan,”. Aloysius Giay, juga mengungkapkan bahwa angka kematian pun semakin berkurang sebesar 2,1 %. Menurutnya masih banyak yang perlu dibenahi di RS tersebut seperti masalah bangunan yang masih minim baik untuk perawatan, administrasi, maupun gudang obat. Hal ini menjadi salah satu prioritas program utama tahun 2010, yaitu penambahan fasilitas RSUD Abepura, khususnya ruang-ruang unit perawatan.
Melihat luas tanah di RS Abe, sangat tidak mungkin kompleks RS diperluas lagi. Tidak kehabisan akal, pihaknya merencanakan menambah lantai ke atas.

“Mengenai rancangan bangunnya kami siapkan dalam bentuk lantai 3 dan 4, untuk gudang logistik, serta kantin dan koperasi bagi para petugas medis.
Selain, penambahan ruang unit perawatan, hal mendesak yang harus segera dibenahi adalah, ruang UGD dan pembangunan gudang farmasi di depan UGD yang dulunya lokasi parkir. Untuk Fasilitas penunjang pelayanan, saat ini manajemen RS sedang berusaha melengkapi secara bertahap, misalnya AC untuk ruangan kerja dan kipas angin

Kebersihan
Sementara itu tidak lupa juga bidang pelayanan kebersihan dan gizi juga semakin diperhatikan. Lorong-lorong rumah sakit sekarang ini semakin bersih dengan penataan kebun dan tanaman bunga di sepanjang sisinya. Di instalasi loundry misalnya saat ini sudah hampir pasti melakukan tugasnya membersihkan kebutuhan pasien seperti sprei, sarung bantal, gorden, dan lain-lain, sesuai dengan prosedur dan standar kebersihan rumah sakit. “Kami baru saja mendapat tambahan mesin baru dan dengan tenaga loundry sebanyak 8 orang sudah mampu mengatasi hal ini. Kedepan kami merencanakan untuk melakukan study banding ke beberapa RS untuk meningkatkan kualitas pelayanan kami,” kata Kepala instalasi Loundry Yulianus Yawang S.Sos.

Program lain yang saat ini sedang digalakkan dan sudah mulai menampakkan hasilnya adalah RS yang bebas asap rokok, bebas pinang dan miras. “Saya berusaha melakukan tindakan tegas terhadap masyarakat yang mengisap rokok dan membuang ludah pinang di sembarang tempat, terutama bagi petugas RS. Saya juga tidak memberi toleransi kepada orang yang mengonsumsi miras di lokasi RS. “Saya bahkan menginstruksikan kepada petugas keamanan untuk tidak segan-segan bertindak represif kepada orang yang mengonsumsi miras di lokasi RS,”.

Di instalasi gizi juga memperlihatkan kemajuan signifikan. Makanan yang disajikan kepada pasien sudah lebih dari layak. Allosyus bahkan mengaku lebih senang makan makanan dari RS ketimbang di restoran. “Kalau ingin sembuh pasien harus diperhatikan kebersihan serta kualitas gizinya,” katanya tersenyum. Allosyus juga seringkali melakukan inspeksi mendadak untuk mengontrol langsung kondisi lapangan baik kebersihan maupun kualitas pelayanan. “Bapak sering melakukan sidak ke setiap ruangan jadi petugas selalu berusaha melakukan tugasnya sebaik mungkin,” kata seorang perawat. Selain itu ia senantiasa memberikan arahan dan petunjuk bagi para petugasnya pada acara apael pagi, yang rutin digelar.


Hambatan

Setelah berbagai pembenahan yang dilakukan namun tidak luput juga dari berbagai kendala. Hambatan seperti masih terbatasnya pasokan air bersih di setiap ruangan. Hal ini juga diakui oleh. “Kami masih sangat kesulitan terhadap air bersih baik untuk loundry, maupun untuk kebutuhan ruangan. Saat ini kami masih mengandalkan sumur artesis, karena pasokan dari PDAM masih sangat minim,”. Menurut Giay pihaknya mengantisipasi hal tersebut dengan menyediakan tangki-tangki air untuk menampung air dari PDAM. “Kami juga telah melakukan kerjasama dengan pihak PDAM untuk membangun pipa air khusus untuk melayani kebutuhan Rumah sakit, dengan nilai 1, 2 Miliar yang akan beroperasi pada tahun 2010. Kami yakin jika hal ini telah berjalan maka keluhan kami terhadap pasokan air bersih akan terselesaikan,”.

Ia juga prihatin dengan kesejahteraan para pegawainya. “Kasihan mereka sudah bekerja keras, namun kesejahteraan masih sangat sangat minim. Masih banyak hak-hak mereka yang belum terakomodir. Namun saya bersyukur mereka tidak banyak menuntut dan tetap melaksanakan tugas pokok sebagaimana mestinya,” kata pria kelahiran 08 September 1972.

Setelah semua perubahan yang telah dilakukan berbagai apresiasi dan dukungan datang dari berbagai kalangan. Ketua Dewan Kesehatan Rakyat Papua Kota Jayapura Alex Krisifu dan Koordinator Sekretariat DKR Provinsi Papua Donald Heipon, dalam kunjungannya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa DKR Papua siap mendukung kebijakan yang diambil Direktur RSUD Abepura drg. Aloysius Giai, M.Kes. selama itu Pro-Rakyat. “Saya berharap DKR selalu mengawal dan mengawasi, dan mengontrol setiap kebijakan yang ditempuh oleh pihak RSUD, agar lebih memberikan pelayanan maksimal kepada masyrakat,”, kata Giyai. (Junaedy Patading)