Senin, 30 November 2009

Hidup Tanpa Harapan


Jika kita berada di Jakarta fenomena perumahan kumuh dan tempat tinggal yang tidak layak huni bukan pemandangan langka. Namun jika hal itu terjadi di daerah yang diberi otonomi khusus seperti Papua, lalu sejauh mana peran dari otsus itu sendiri setelah berjalan hampir sembilan tahun. Bahkan hal itu bisa ditemui di tengah ibukota Provinsi Papua, Jayapura yang menjadi pusat pengelolaan dana otsus.
Pina May mungkin salah satu dari sekian banyak contoh kegagalan otonomi khusus, yang digadang-gadangkan mampu mewujudkan kesejahteraan orang Papua.
Ditemui Senin malam 15 Juni 2009 lalu di pondoknya yang terletak di sudut jembatan Hanyaan, jalan raya poros Hamadi-Entrop, suasana pondok mama Pina demikian ia biasa disapa tampak lengang, dan temaram. Tempat kediamannya yang berukuran kurang lebih tiga kali lima meter itu lebih layak disebut gubuk hanya diterangi oleh sebuah lampu lantera, dan ruang dalamnya, yang merupakan dapur sekaligus tempat tidur diterangi oleh pelita, yang terbuat dari kaleng buatan mama Pina sendiri. Lantai papan yang berderik dan beberapa tampak lepas dari posisinya karena tidak di paku, membuat kita mesti hati-hati melangkahkan kaki, jika tidak mau terperosok kedalam sungai. Tidak ada meja ataupun perabot lain di dalamnya. Menurutnya tanah tempat membangun gubugnya tersebut merupakan tanah adat suku Dawir. “Saya sudah mendapat ijin dari kepala suku, untuk tinggal disini,” ungkap mama Pina.
“Pondok ini saya buat sendiri, sekitar lima tahun lalu tanpa bantuan siapa-siapa,” katanya. Perempuan kelahiran Serui enam puluh tahun silam ini menceritakan bahwa suaminya Suradi yang asal Jawa merupakan seorang nakhoda kapal Navigasi Teluk Tanah Merah, milik dinas perhubungan provinsi Papua. Namun karena terserang penyakit, akhirnya meninggal dunia, meninggalkan Pina dan seorang anak perempuannya. Kesulitan ekonomi yang mulai menghimpit, membuat Pina memutuskan menyerahkan anak semata wayangnya ke pihak neneknya di Jawa, untuk di pelihara. Jauhnya jarak yang memisahkan Pina dan anaknya menyebabkan putusnya hubungan komunikasi diantara mereka. Kabar terakhir menyebutkan bahwa anaknya tersebut telah berada di Swiss, karena menikah dengan orang setempat.
Kehilangan suami dan anaknya tidak membuat Pina hilang arah hidupnya. Berbekal semangat untuk bertahan hidup mama Pina berjuang mencari nafkah sebagai pencari kayu bakar, yang kemudian dijual di depan gubugnya. Setiap harinya mama Pina berangkat mencari kayu dengan mengayuh sampan mengarungi kali Hanyaan hingga muara bersama teman-teman lainnya, hingga muara Tobati. “Kami biasanya berangkat bersama teman-teman pukul 08.00 dan pulang ke rumah pukul satu siang,” ungkap wanita asal Serui ini. Setelah beristirahat mama Pina melanjutkan aktifitasnya untuk membelah kayu bakarnya untuk dikeringkan. Dari hasil menjual beberapa tumpuk kayu bakar mama Pina hanya bisa menghasilkan enam puluh ribu rupiah itu pun kalau laku terjual. “Terkadang satu harinya tidak ada yang laku, apalagi kalau lagi tanggal tua,’ ujarnya. Walaupun penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhannya, namun mama Pina tidak pernah mau meminta belas kasihan orang lain. Gaji pensiunan suaminya yang tidak pernah diterimanya tidak membuatnya sakit hati. Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diprioritaskan bagi fakir miskin pun tidak diharapkannya. Bahkan dua orang saudara kandungnya yang telah menempati posisi strategis di pemerintahan, juga tidak menunjukkan perhatian kepadanya. “Saya tidak mau berharap pada orang lain bahkan kepada anak dan saudara-saudaraku Soleman dan Frans May,” tandasnya.
Di gubugnya tersebut Mama Pina hanya ditemani oleh tiga ekor anjing kesayangannya jena, ani dan asko. Ketiganya dengan setia menjaga gubug jika mama Pina keluar ataupun sedang tidur. “Saya tidak pernah takut tinggal sendirian di sini. Sering di depan ada orang mabuk namun mereka tidak pernah mengganggu saya,” kata Pina.
Penderitaan yang dialami mama Pina tidak membuatnya lupa akan Tuhan, sebaliknya ia selalu menyempatkan diri untuk berdoa, dan beribadah setiap hari minggu di Gereja. “Saya selalu bersyakur dalam segala kekurangan saya, sehingga hati saya selalu gembira menjalani hidup,” ungkap wanita yang gemar menggunakan kalung salib ini. (R3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar