Minggu, 08 Agustus 2010

FOJA Edisi 27 / VII / 2010


Potret Buram Masa Depan Anak-Anak Papua
Anak-anak jalanan. Mereka bukan lagi bayangan samar. Mereka ada dan nyata di sekitar kita. Mereka berkeliaran di perempatan jalan, terminal, pasar, pertokoan dan kompleks pelacuran. Mereka anak-anak asli Papua. Dilahirkan dari ayah ibu asli Papua. Tiap hari mandi debu jalanan, bernafaskan asap hitam kendaraan. Seperti potret buram, mereka terkucil, terbuang, tersungkur di tanah tumpah darahnya sendiri. Terlalu....!

Me r e k a a d a l a h a n a k - a n a k , bagian terpenting dari kita sebagai bangsa. Pada mereka masa depan disandarkan. Pada mereka reputasi Papua dipertaruhkan. Baik buruknya Papua hari ini dan masa mendatang akan sangat tergantung b a g a i m a n a memp e r s i a p k a n generasi penerusnya. Anak-anak bukan h a n y a me n j a d i tumpuan harapan keluarga, tetapi ikut menentukan masa depan rakyat Papua.

Karena itu, rumah mestinya menjadi tempat yang teduh. Orang tua, dalam hal ini ayah dan ibu, seharusnya menjadi tempat berlindung. Namun di sebagian rumah tangga realitasnya berbeda. Rumah bukanlah istana, melainkan neraka bagi anak-anaknya. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga menimbulkan ketakutan. Pukulan dan ancaman membuat anak-anak semakin bertambah takut. Jalan yang paling mudah untuk melepaskan diri adalah lari. Tempat yang paling mudah dicapai adalah jalanan. Alasan lainnya karena pengaruh ekonomi keluarga, bujukan teman atau hanya ikut-ikutan.

Apakah hidup di jalan lebih aman? Entahlah. Meski awalnya diliputi ketakutan, tapi anak-anak yang tersingkir dan terbuang dari rumah merasakan kebebasan luar biasa. Jalanan lalu menjadi tumpuan kehidupan baru yang menawarkan sedikit harapan. Padahal jalanan pun mempunyai struktur sendiri yang tak kalah ganasnya, mengancam seluruh bagian tubuh anak-anak yang masih sangat kecil itu. Riwayat keberadaan mereka lebih merupakan lingkaran setan. Penuh resiko dan begitu menakutkan.

FOJA dalam bulan Juli ini menelusuri kehidupan mereka. Merekam ritme realitas hitam putih yang menyelimuti anak jalanan. Kami mengunjungi salah satu lokasi tempat mangkalnya komunitas anak jalanan di sekitar area Jayapura City. Lokasi itu berada di belakang Pasar Ampera. Warga sekitar menyebutnya sebagai “lokasi a n a k - a n a k obeng,” atau anak aibon. J a r a k n y a hanya sekitar 50 meter dari b e l a k a n g Bank Papua yang megah b e r l a n t a i t u j u h d a n Kantor Dolog R e g i o n a l Papua.

Di lokasi ini terdapat dua gubuk kecil b e r d i n d i n g t r i p l e k s, berdempetan d e n g a n t e m b o k b e l a k a n g Ruko Ampera. Tripleks yang
b e r l u b a n g ditutupi karung. Ceceran sampah, bau anyir, makin mempertegas liarnya gubuk itu. Beberapa anak keluar dari dalam. Masing-masing memegang erat kaleng kecil berwarna merah dan menaruhnya tepat di bawah hidung. Sesekali mereka menghela nafas, menikmati aroma dari dalam kaleng itu. Mata mereka sayu, memerah, menatap kosong sekitarnya.

”Ini lem fox atau aibon. Lem ini untuk menempel benda-benda kasar. Kitong biasa pakai untuk tempel barang. Baunya enak, bisa bikin flay,” ujar Samuel Jeri Imbiri (17), salah seorang dari penghuni gubug reyot dengan tatapan menerawang.

Remaja akil balik ini mengaku ayah dan ibunya selalu bentrok. Tiap hari pasti ribut. Puncaknya, keduanya bercerai. Perceraian inilah yang menyebabkan Samuel meninggalkan rumah, meninggalkan sekolah dasar dan hidup sebagai anak jalanan. Dalam usia sangat muda dia harus merasakan pahit getirnya kehidupan. Tiap hari berjuang di lingkungan jalanan yang keras, ganas, sadis, demi sesuap nasi. Tiap hari keringat dan air matanya campur aduk jadi satu.

Samuel mengaku semua beban deritanya bersama teman-teman sirna ketika mereka ngelem atau menghirup lem aibon. Aroma lem aibon yang khas dan menyengat dalam sekejab membawa mereka ”melayang”. Pada saat seperti itulah kebahagiaan datang menghampiri. Dia bisa berimajinasi, menghayalkan segala sesuatu yang diimpikan dalam hidup.

”Saat ngelem saya membayangkan mempunyai kehidupan yang layak, memiliki pekerjaan yang baik, mempunyai pasangan hidup dan kemewahan. Ini seperti candu yang membuat ketagihan. Tiap hari kami pasti ngelem,” aku pemuda yang sedang dalam masa puber pertama.

Ditanya soal pendidikan, Samuel sejenak terdiam. ”Saya hanya sampai kelas dua SD. Baca tulis dan berhitung belum lancar. Sebetulnya saya masih ingin sekolah, tapi siapa yang menanggung biayanya,” ucap pria muda ini.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Samuel bekerja serabutan. Dia mau lakukan apa saja asalkan menghasilkan uang. Namun bila ada kapal penumpang yang merapat ke Dermaga Jayapura Samuel lalu mengumpulkan tikar-tikar yang ditinggalkan penumpang yang turun dan menjualnya ke penumpang yang akan berlayar. ”Habis mau bikin apa lagi, saya hanya bisa begini saja. Teman-teman yang lain juga sama,” suaranya terdengar lirih.

Begitu juga dengan Ebin. Bocah berusia sekitar 15 tahun ini mengaku menjadi anak jalanan sejak masih tinggal di Biak. Di kota asalnya dia sudah terbiasa ngelem. Dia menjadi anak jalanan Kota Jayapura baru sekitar tiga tahun terakhir. Kini remaja yang sempat berada di kelas satu SMP ini menjadi pendorong gerobak yang menjual nasi kuning di depan kantor PLN setiap jam 22.00 malam.

Ternyata, selain Samuel dan Ebin di dua gubug reyot itu tinggal pula 26 anak jalanan lainnya. Tragisnya, 10 orang di antaranya adalah anak perempuan. Latar belakang kisah mereka beragam. Tapi secara umum pecahnya bahtera rumah tangga kedua orang tua, berikut persoalan ekonomi membuat anak-anak yang seharusnya masih membutuhkan belaian kasih sayang itu tersingkir dan tersungkur di jalanan.

Pekerjaan anak-anak ini beragam. Mulai dari menjajakan koran/ majalah, tukang parkir illegal di depan pertokoan jalan Ahmad Yani, dorong gerobak, jual makanan kecil, memungut barang bekas, dll. Bahkan dalam kondisi terjepit mereka nekat mencuri barang orang atau istilahnya ”tabrak”. ”Kalau sudah sangat terjepit terpaksa kita ”tabrak” barang orang. Abis kitong mau bagaimana lagi,” timpal anak-anak ini polos.

Kes enangan ngelem d a n menenggak minuman keras (miras) sering membuat perilaku anak-anak ini tak terkendali. Warga di sekitar lokasi tempat mereka bermukim sangat terganggu dengan kegaduhan yang sering ditimbulkan. Mereka buat onar dan bentrok dengan warga sekitar. Konon, beberapa dari mereka telah diciduk polisi. ”Kalau sudah mabuk lem aibon atau miras biasanya mereka buat gaduh. Sikap mereka sangat tidak bersahabat. Kita takut terjadi apa-apa dengan warga di sini,” keluh seorang warga.

Sisi gelap lainnya, anak-anak ini juga disinyalir kecanduan seks bebas. Di pusat prostitusi Jayapura City mereka menikmati miras sambil mencicipi lekak lekuk tubuh sintal para penjaja cinta. Dahaga itu direguk sampai tandas tanpa mempedulikan ancaman akan terinfeksi HIV.

Data yang dihimpun dari Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Jayapura menyebutkan sampai tahun 2010 jumlah anak jalanan di Kota Jayapura sekitar 115 orang. Mereka berada pada sejumlah titik, seperti Taman Imbi, Taman Mesran dan beberapa lokasi lain. Anak-anak ini umumnya telah putus sekolah. Yang tidak tamat SD sebanyak 61 orang, SLTP 34 orang, SLTA 16 orang. Yang tidak diketahui pendidikannya sebanyak 4 orang. Berdasarkan umur, yang paling muda berusia 8 tahun, tertua 37 tahun untuk pendidikan SD. Untuk pendidikan SLTP, yang termuda 12 tahun, yang tertua 36 tahun. Sedangkan untuk SLTA, yang termuda 14 tahun, sedangkan yang tertua 45 tahun. Secara keseluruhan laki-laki 62 orang, perempuan 52 orang dan 1 waria.

Ternyata masalah anak jalanan bukan cuma terjadi di Kota Jayapura. Kota-kota lain di Provinsi Papua maupun Papua Barat fenomena ini pun mulai menggeliat. Terbentuknya kota-kota baru akibat pemekaran daerah otonom telah memicu munculnya seabrek permasalahan sosial , termasuk munculnya anak jalanan. Kota Manokwari, Merauke, Biak, Serui, Sarmi, dll memperlihatkan fenomena serupa.

A p a s e s u n g g u h n y a y a n g diinginkan anak-anak jalanan? Sangat naif jika kita mengira mereka tidak mempunyai cita-cita. Sebagai manusia mereka pun memiliki mimpi. Dari hasil pergulatan hidup selama bertahun-tahun di jalanan anak-anak ini akhirnya menyadari betapa penting ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Kami ingin ada dukungan dari mana pun. Kami ingin disediakan tempat tinggal. Juga latihan ketrampilan agar bisa memasuki dunia kerja. Kami berharap bisa mendapat bantuan peralatan untuk usaha pencucian kendaraan. Bila permintaan ini dikabulkan, kami akan meninggalkan kehidupan di jalanan,” ujar Samuel apa adanya.

Mengenai bantuan, mereka mengaku pernah menerimanya. Misalnya bahan makanan, rokok, sabun, pakaian, dll. Tapi bantuan uang belum pernah diterima. ”Sering kami dengar akan ada bantuan uang, tetapi tidak pernah sampai ke tangan kami. Ah, biar sudah, mungkin orang yang ambil uang itu lebih butuh dari kitorang,” celetuk salah seorang anak jalanan sambil tertawa.

Perlu Lakukan Pemetaan
Pengamat Masalah Kesejahteraan Sosial dari FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) , Drs. Herman Kareth, M.Si, mengatakan, yang masuk kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial sangat banyak. Salah satunya adalah fenomena anak-anak jalanan dan anak terlantar yang tidak mendapat perhatian maupun perlindungan dari keluarga, lingkungan dan pemerintah.

Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial ( IKS) FISIP Uncen ini menyarankan perlunya pemetaan terbaru melibatkan Pemda, LSM dan Perguruan Tinggi secara terkoordinasi. Karena pemetaan yang dilakukan Tim Jurusan IKS FISIP Uncen pada tahun 2006 menemukan sedikitnya ada 15 titik di Kota Jayapura yang menjadi tempat berkumpul komunitas anak-anak jalanan. Mereka tersebar pada 5 distrik di Kota Jayapura, mulai dari Base G hingga Waena dan Sentani. Tempat mangkal mereka umumnya berada pada pusat keramaian seperti pertokoan, mall, pasar, terminal, pelabuhan dan pemukiman umum.

”Latar belakang persoalan anak-anak ini beragam. Tapi secara umum karena alasan ekonomi keluarga, kehancuran rumah tangga dan pengaruh pergaulan,” kata Herman.

Ferry Sitorus, M.Si, juga Pengamat Masalah Kesejahteraan Sosial dari jurusan IKS FISIP Uncen justru menduga pengaruh Otonomi Daerah (Otda) menyebabkan beberapa wilayah kabupaten/kota di Tanah Papua lebih cepat berkembang. Kondisi ini membuat banyak keluarga dari kampung-kampung (daerah pedalaman) tergiur untuk hidup di kota guna mencari penghidupan yang layak.

“Bagi mereka kehidupan di kota akan lebih baik karena banyak tersedia fasilitas modern dan kemewahan,” kata Ferry. Namun setelah berada di kota mereka tidak memperoleh pekerjaan yang memberi penghasilan besar karena keterbatasan pendidikan dan keahlian yang menunjang. Akibatnya, sebagian besar dari mereka tidak mampu bersaing. Fenomena ini memunculkan masyarakat marginal yang mengandalkan hidupnya dengan menjadi petani substitance di area pinggiran kota, menjadi tukang parkir, buruh bangunan, tukang muat barang dan lain-lain. Penghasilan mereka tidak seberapa.

Akibatnya, anak-anak mereka kurang mendapat perhat ian. Kebutuhan pendidikan, kesehatan, pendampingan dan pembinaan mental spiritual menjadi tak terurus. Banyak anak-anak terpaksa tinggalkan rumah dan menjadi anak jalanan. Kerenggangan hubungan keluarga juga menjadi pemicu lain larinya anak-anak dari rumah.

Kendati trend anak jalanan di Papua menunjukkan peningkatan secara signifikan namun Herman Kareth dan Ferry Sitorus menilai ada perbedaan antara anak jalanan di Tanah Papua dengan anak jalanan di Jawa atau daerah lain di Indonesia.

”Kami tidak sependapat jika kategori anak jalanan di Jawa atau daerah lain di Indonesia disamakan dengan Papua. Anak jalanan di Jawa hampir sebagian besar hidupnya berlangsung di jalanan. Sementara di Papua, meskipun anak-anak beraktivitas di jalanan, selalu ada waktu untuk berkumpul bersama orang tua dan anggota keluarga lainnya,” kata keduanya.

Fenomena anak jalanan di Tanah Papua sangat ditentukan oleh faktor kekerabatan sosial budaya masyarakatnya. Jika ada anak-anak di Papua aktivitasnya lebih
banyak di jalan, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai anak jalanan. Sebab anak-anak itu secara kekerabatan masih terikat dan menjadi tanggung jawab keluarganya yang lain atas kesamaan marga (fam).

“Jadi bila ada anak Papua memilih hidup di jalanan, ini pasti akibat fungsi institusi keluarga dan kekerabatan sosial di Papua tidak berjalan semestinya,” cetus Sitorus. Ia menyayangkan karena secara umum konteks budaya orang Papua kurang memberi perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak.

Grace Dina Ursia, pemerhati anak Papua yang juga Education Advisor Wahana Visi Indonesia (WVI) Region Papua mengatakan saat ini pihaknya bekerjasama dengan International Labour Organization (ILO) Perwakilan Papua untuk mengadvokasi pekerja anak. Upaya itu dilakukan agar bisa mengembalikan mereka ke bangku sekolah melalui Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) meng gunakan modul -modul yang disiapkan ILO. Jika ini bisa dilakukan, secara otomatis akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua.
”Hanya saja kita agak kesulitan karena belum ada lembaga yang mempunyai data pekerja anak, baik pemerintah maupun LSM,” ujarnya.

Anak-anak yang terpaksa bekerja dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu anak bekerja dan pekerja anak. Untuk kategori anak bekerja terbilang wajar, karena sebatas membantu orang tua. Mereka bekerja kurang dari tiga jam dan tetap bersekolah. WVI Papua juga sedang menyiapkan CLMS (Child Labour Monitoring System), yaitu proyek pemantauan terhadap pekerja anak dari aspek kesehatan dan pendidikan. Secara nasional proyek ini sudah ada, namun untuk Papua belum diterapkan.

Tanggung Jawab Pemerintah
Lantas siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab terhadap nasib anak-anak jalanan ini? UUD 1945 Pasal 34 secara jelas menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Isyarat yang sama tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Karena itu negara dalam hal ini pemerintah tidak bisa tinggal diam. Pemerintah Papua, baik propinsi maupun kabupaten/kota tak boleh menutup mata terhadap realitas anak jalanan di daerahnya.

Yang dimaksudkan dengan anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk bayi dalam kandungan ibunya. Itu sebabnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan. Dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Adriani Salman Walli, SST.Par, Anggota Komnas HAM Perwakilan P a p u a K e l omp o k K h u s u s Perempuan dan Anak mengatakan penanggulangan masalah anak oleh pemerintah masih sangat rendah. Indikasinya terlihat dari semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, anak aibon, kelainan fisik, anak dengan keterbelakangan mental, dll.

”Ini persoalan yang sangat ser ius. Anak-anak mest inya memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik, memperoleh layanan kesehatan dan tidak terbebani masalah ekonomi keluarga,” kata Adriani.

Sejumlah pengaduan telah disampaikan ke lembaganya. Kebanyakan menyangkut persoalan broken home, juga hamil di luar nikah. Be lakangan masalah trafficking atau perdagangan anak pun telah menyedot perhatian.

”Inilah duka dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Selama 9 tahun tampaknya Otsus tidak dilaksanakan secara merata. Saya sebut ini pemerataan yang tidak adil. Ke depan, pemerintah harus lebih menitikberatkan pada pendidikan anak usia dini, terutama membekali mental dan psikologinya. Dengan pembinaan moral yang baik tentu anak-anak tidak gampang terjerumus menjadi anak jalanan,” kata Adriani.

Data pada Unicef juga tak jauh berbeda. Hasil penelitian Unicef Perwakilan Papua dan JPAB tahun 2004 memperlihatkan angka drop out yang tinggi, anak pekerja, anak yang mengalami kekerasan seksual, kekerasan terhadap a n a k d a n a n a k pengguna miras, aibon dan obat terlarang yang terus meningkat.

Unicef memetakan persoalan anak menjadi enam kategori. Pertama, anak korban pelecehan seksual dan eksploitasi seksual komersil. Kedua, anak drop out (putus sekolah). Ketiga, anak korban kekerasan dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga. Keempat, anak mengkonsumsi aibon, narkoba dan minuman keras. Kelima, pekerja anak seperti tukang parkir liar, membantu jasa di pasar dan terminal, anak peminta-minta, tukang angkut barang. Keenam, anak yang berkonf ik dengan hukum akibat melakukan tindakan kriminal seperti, pencurian, berjudi, pemerkosaan dan lain-lain.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Jayapura, Drs. Petrus Way menyebutkan anak-anak jalanan sebetulnya bukan berasal dari Kota Jayapura tetapi dari berbagai kabupaten lain di Papua seperti Biak, Serui, Sarmi, dll. Mereka berkeliaran di Kota Jayapura hanya sementara. Setelah empat bulan biasanya mereka akan pergi. Pada lain kesempatan mereka akan kembali lagi ke Jayapura. Siklus ini akan terus berulang.

Terhadap anak jalanan, demikian Way, selalu dilakukan bimbingan rohani bekerjasama dengan gereja-gereja. Lama pembinaan antara 15 sampai 30 hari. Melalui bimbingan rohani diharapkan perilaku seperti mabuk-mabukan, merokok, judi, ngelem, bisa ditinggalkan dan memulai kehidupan baru dengan perilaku yang benar. “Sedangkan bagi yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP jika bisa menunjukkan raport akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikannya. Yang putus sekolah di tingkat SMA juga bisa melanjutkan jika menunjukkan ijasah SMP dan raportnya. Terus terang kami berkoordinasi dengan orangtua dari anak-anak yang putus sekolah. Kami pun bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Hasilnya, ada yang sudah kembali ke tengah keluarga dan melanjutkan pendidikan,” jelas Way.

Karena itu tanggung jawab mengatasi persoalan anak jalanan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah semata. Harus dilakukan secara terintegrasi, komprehensif dan lintas sektoral karena persoalannya sudah sangat kompleks. Ini berarti semua stakeholder di Papua harus peduli dan mau ambil bagian mengatasi masalah ini.

“Tugas mengembalikan anak-anak jalanan ke rumah orang tua harus menjadi tanggung jawab bersama. Kami mengharapkan peran aktif LSM, organisasi sosial, tokoh masyarakat, tokoh agama, juga semua pribadi yang peduli dengan anak-anak. Kuncinya hanya satu, kita hadir dengan ketulusan dan kejujuran untuk membantu anak-anak ini,” ucap Way.

Keterlibatan berbagai elemen sangat penting. Karena untuk mendekati anak-anak ini terbilang sulit. Begitu tahu ada yang mendekati mereka langsung menghilang. “Padahal tujuan kita hendak membimbing mereka.” Mereka kebanyakan berasal dari jalan percetakan, Polimak, dan Hamadi. Tempat mangkalnya di sekitar Taman Imbi, Terminal Lama dan Taman Mesran. Jumlah anak-anak ini diperkirakan terus meningkat. Trendnya mengikuti perkembangan kota dan dinamika sosial ekonomi masyarakat.

Y a n g memp r i h a t i n k a n , anak-anak ini ada yang telah berprofesi sebagai pekerja seks. Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan (PSK) Universitas Cenderawasih Jayapura pada tahun 1998 memperlihatkan jumlah yang berprofesi sebagai pekerja seks sebanyak 44 orang. Di antaranya ada juga anak-anak perempuan yang dikenal dengan istilah: kaliabo. Jumlah ini tentu telah melonjak hingga ratusan orang dalam sepuluh tahun terakhir.

Sementara itu pengamat Kebijakan Publik, Septinus Saa, S.Sos,M.Si, menilai keberadaan anak jalanan merupakan gejala sosial yang umum. Namun harus segera ditangani. Pemerintah mesti responsif, sebab ini masalah publik. ”Yang harus aktif berperan adalah SKPD-SKPD yang punya kaitan dengan penanganan masalah ini, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut Saa, perlu dilakukan kajian dan identifikasi masalah sehingga bisa dimasukkan ke dalam program anggaran atau menjadi dasar dalam menentukan kebijakan pemerintah.
“Kami dari akademisi hanya bisa memberikan konsep, tetapi yang bertanggungjawab adalah pemerintah karena mereka yang punya anggaran,” kata dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Uncen ini. Menurutnya anak jalanan sebenarnya korban sehingga dipe r lukan suatu kebi jakan pemerintah yang melindungi dan menjamin masa depan mereka.

Sementara Herman Kareth dan Ferry Sitorus mengharapkan Pemda, LSM, Perguruan Tinggi dan lembaga lain sudah harus bekerjasama untuk menangani dan mencegah persoalan ini secara serius. Dukungan penguatan lewat pendanaan yang cukup, pelaksanaan program pendampingan dan pembinaan yang efektif sangat diperlukan. Begitu pula Peraturan Daerah (Perda) sebagai perlindungan hukum terhadap anak-anak perlu dipertimbangkan.

Langkah konkrit yang mesti segera dikerjakan adalah mendirikan rumah singgah (shelter) di setiap lokasi di mana mereka biasa beraktivitas. Hal ini perlu dibarengi dengan program kegiatan belajar mengajar. Rumah singgah harus dikenal oleh komunitas anak-anak tersebut dan memenuhi syarat agar memberi kenyamanan bagi mereka. Misalnya, ketersediaan makanan yang sehat dan pemberian program pembinaan oleh pendamping anak atau pekerja sosial (LSM) yang berpengalaman.

Melalui program rumah singgah, anak-anak tanpa perlindungan bisa diberi penyadaran dan dikembalikan ke keluarga mereka. Dalam konteks Otonomi Khusus Papua, semestinya upaya proteksi, perlindungan dan pemberdayaan yang lebih terarah harus betul-betul diterapkan bagi anak-anak Papua. “Pemda kita sering bicara bangun masyarakat dengan dana Otsus tapi hanya sebatas fisik. Masalah sosial seperti ini belum mendapat perhatian serius,” kata Sitorus.

Memang sejauh ini pemerintah telah berupaya menciptakan program pendidikan dan pendampingan anak. Misalnya melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pusat Kegiatan Belajar mengajar (PKBM) dan berbagai program pembinaan lainnya. Namun karena pengelolaannya belum bagus akhirnya terhenti. Padahal fungsinya sangat membantu pembinaan dan pendidikan anak-anak. Begitu juga menyangkut anak putus sekolah. Dinas Pendidikan dan Pengajaran melalui Program Kejar Paket seharusnya bisa menjawab persoalan ini.

Rasanya sangat ironis ketika meneriakkan slogan bahwa anak-anak adalah tumpuan dan harapan masa depan Tanah Papua. Namun pada saat yang bersamaan sebagian dari anak-anak asli Papua ini justru hidup terlunta-lunta di jalanan berlumpur dan berdebu. Keterlaluan...!!! (Tim Fokus FOJA)
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar