Minggu, 08 Agustus 2010
FOJA Edisi 27 / VII / 2010
Otsus Dituding Picu Maraknya Anak Jalanan
Ada apa ini. Apa yang salah dengan Otonomi Khusus (Otsus)? Kenapa banyak kalangan menuding Otsus sebagai biang keladi maraknya fenomena anak jalanan di Tanah Papua, khususnya Kota Jayapura? Padahal Otsus dengan dukungan dana triliunan rupiah seharusnya mampu menyejahterakan orang asli Papua. Bukan sebaliknya, menyengsarakan dan menelantarkan mereka!
Anak jalanan kini semarakkan denyut nadi kota-kota di Papua. Di pusat-pusat keramaian Jayapura mudah sekali menemukan anak jalanan. Style mereka khas, agak kumal. Ada yang berjalan sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang hitam. Mereka menjajakan barang dagangan, mengumpulkan barang bekas atau menjadi tukang parkir illegal di jantung kota. Ada yang bilang, munculnya anak jalanan menjadi indikasi kemajuan sebuah kota.
Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak dalam perbincangan dengan FOJA di Papua belum lama ini mengaku kaget. Mulanya dia tidak menyangka ada anak jalanan di Papua, khususnya Jayapura.
“Anak jalanan sangat rentan kekerasan. Umumnya yang menjadi korban adalah anak perempuan. Secara bertahap harus dilakukan sosialisai UU Perlindungan Anak dan merubah cara berpikir masyarakat agar peduli pada anak-anak,” pesan Linda Gumelar.
Linda boleh kaget , namun fenomena anak jalanan di Papua sebetulnya sudah agak lama. Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) Region Papua Drs. Roriwo Karetji, MM mencatat, pada era sekitar tahun 90, anak jalanan sudah mulai terlihat. Namun fenomenanya menjadi sangat marak baru pada tahun 2003-2004.
”Saya tidak mau katakan ini terjadi setelah era Otsus, tetapi memang mulai marak ketika aktivitas ekonomi mulai berjalan. Akses terbuka, euforia pembangunan dan perkembangan kota menjadi penyebab,” kata Karetji.
Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Study Penelitian Gender Universitas Cenderawasih, Dra. Murni Sinulingga, MS. Pengamat Sosial ini membenarkan fenomena anak jalanan di Papua, khususnya Jayapura mulai muncul sejak era Otsus. Munculnya anak jalanan disinyalir karena faktor kesulitan ekonomi atau keretakan rumah tangga. Faktor lain merupakan dampak dari urbanisasi dan migrasi besar-besaran penduduk dari luar ke Tanah Papua sejak Otsus mulai berlaku. Arus transportasi yang semakin lancar mempengaruhi tingkat mobilitas penduduk dari kampung ke kota atau sebaliknya.
“Sepengetahuan saya sebelum Otsus hampir tidak ada anak jalanan di Jayapura. Semua aman-aman saja. Barang-barang yang ada di luar rumah tidak hilang,” kata wanita yang sudah menetap lebih dari 30 tahun di Jayapura ini.
T e n t a n g p e n d a p a t y a n g menyebutkan anak jalanan di Papua berbeda dengan anak jalanan di Jawa, Sinulingga menegaskan, keberadaan anak jalanan akan meningkat tiap tahun seiring perkembangan kota dan tingkat kebutuhan masyarakat.
“Kita jangan mau kelihatan mulus agar lari dari kenyataan. Pihak yang berkepentingan jangan berpikir terlalu sempit hanya karena persoalan penjabaran definisi untuk dijadikan alasan agar tidak bertindak,” sindir Murni.
Secara kasat mata bisa terlihat bahwa sebagian besar anak-anak asli Papua yang aktivitasnya lebih banyak di jalanan umumnya berasal
14dari wilayah pedalaman. Kondisi ini disebabkan faktor urbanisasi, sebab masyarakat di wilayah pedalaman menganggap perkembangan kota menyediakan berbagai fasilitas modern yang dibutuhkan. Sayangnya kedatangan mereka di kota tidak dibarengi pendidikan dan keahlian yang cukup.
”Setibanya di kota mereka bingung mau bikin apa. Akhirnya terjadi semacam pembiaran terhadap anak-anak. Anak-anak mereka terpaksa mencari jalan sendiri-sendiri, entah sebagai peminta-minta, tukang kumpul barang bekas atau tukang parkir,” tambahnya.
Padahal anak-anak itu seharusnya ada di bangku sekolah. Jika hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin bisa memberi peluang kepada pihak tertentu untuk mengeksploitasi mereka. Misalnya, digunakan untuk mencuri atau sebagai penadah barang curian dan pengumpul barang bekas dengan bayaran murah. Sinulingga berharap perlu diselidiki akar persoalan yang mendorong anak-anak lebih memilih ke jalanan ketimbang di rumah. Ini masalah sosial yang menarik. Ada benang merah antara perkembangan kota dengan pola hidup maupun tingkat kebutuhan masyarakat.
Ledakan Penduduk
Apapun tudingan orang bahwa Otsus memicu maraknya anak jalanan di Jayapura, namun tidak ada yang bisa membantah bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis ledakan penduduk. Krisis ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, seperti kualitas hidup manusia, sumber alam, lingkungan hidup, urbanisasi, transmigrasi, hak asasi manusia, etika, moral dan kemiskinan.
Bayangkan, tahun 1950 jumlah warga bumi baru sekitar 2,5 milyar. Hanya dalam tempo 50 tahun, persisnya tahun 2000 jumlah penduduk dunia sudah melebihi 6 milyar. Indonesia pun sama. Tahun 1961 angkanya baru 97 juta. Namun tahun 2010 jumlahnya sudah diatas 230-an juta. Papua juga begitu. Mungkin pada tahun 1970 jumlahnya baru 1 juta jiwa. Namun pada 2010 bisa jadi jumlah penduduknya sudah di atas 3 jutaan jiwa.
Kota yang menawarkan kerlap-kelip lampu yang glamour, sarana transportasi modern, gedung-gedung bertingkat, pusat hiburan malam, super market, mall, dll, menjadi magnet yang mampu menarik siapa saja. Karenanya, bila pada tahun 1974 hanya sekitar 38 % penduduk dunia yang memilih hidup di kota, namun pada tahun 2010 sudah lebih dari 50 % penduduk dunia menetap di kota. Indonesia pun sama. Tahun 1980 jumlah penduduk yang menetap di kota baru 32,8 juta atau 22,3 %, namun pada tahun 2010 jumlah penduduk yang menetap di kota telah berada di atas 50 %.
Papua pun tak beda. Daya tarik kota yang luar biasa menyebabkan masyarakat yang ada di pedalaman Papua berbondong-bondong ingin hidup di Kota Jayapura. Sarana transportasi, laut dan udara yang lancar telah membawa warga dari daerah lain menyerbu Kota Jayapura. Jayapura kemudian menjadi pusat kompetisi. Pertarungan kecerdasan terjadi di kota ini. Yang kalah akan terpental dan menghasilkan ampas kompetisi berupa anak jalanan.
Yang kemudian terekam, kota menjadi semakin padat, sumpek dan sembrawut. Sebagian warganya terpaksa tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh. Kota pun akhirnya menampilkan wajah ganda. Di satu sisi kota hadir secara mengesankan dalam wujud arsitektur modern, mewah dan megah di sepanjang ruas jalan-jalan utama. Namun di baliknya menjamur pula lingkungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk mendukung kehidupan manusia berbudaya.
Kenapa begitu? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota-kota di Indonesia, termasuk kota-kota di Papua berkembang tanpa dilandasi suatu perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kota-kota semacam ini tidak dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek. Akibatnya kota-kota di Papua juga menampilkan wajah ganda. Ada bagian kota mengesankan citra bagus dalam wujud arsitektur menarik, namun tidak sedikit bagian kota menampilkan kekumuhan. Di balik kekumuhan itulah anak jalanan mengais kehidupan dan menggantungkan secercah harapan.
Karenanya, keberhasilan seorang pemimpin, gubernur, bupati atau wali kota, juga sangat ditentukan oleh keberhasilannya menata mutu kehidupan di kota. Termasuk menyiasati persoalan anak jalanan sehingga dapat hidup lebih baik dan layak.
Kriminal Meningkat
Selain lingkungan kumuh dan mencuatnya fenomena anak jalanan, perkembangan suatu kawasan perkotaan yang menampilkan kegemerlapan, serta kehebatan teknologi juga menghadirkan sisi gelap dari modernisasi yang melekat padanya. Kejahatan perkotaan meningkat secara kuantitas maupun
15kualitas. Pencurian, perampokan, korupsi, penipuan dan lain-lain mulai dilakukan melalui dunia maya. Bahkan kriminal percintaan belakangan memanfaatkan teknologi semisal e-mail, facebook, twitter, dll.
Dari banyaknya laporan kasus kekerasan dan tindakan asusila terhadap anak yang masuk di Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak Polresta Jayapura selama 6 bulan terakhir, terdapat dua kasus tindakan asusila terhadap anak yang berawal dari media jejaring sosial facebook.
Pertengahan April silam, seorang gadis belia, sebut saja Mawar (13) bertemu dengan Kumbang (bukan nama sebenarnya) remaja 17 tahun yang dikenalnya melalui facebook. Hubungan keduanya baru berjalan dua pekan. Bosan dengan browsing dan chatting, dua ABG yang belum pernah bertatap muka itu janji bertemu di sebuah warnet di daerah Abepura. Mereka lalu ke rumah tantenya si Kumbang, masih di daerah Abepura. Di rumah tantenya yang kebetulan kosong, Kumbang mengajak Mawar melakukan hubungan layaknya suami istri.
“Awalnya Mawar menolak, tapi bujuk rayu Kumbang tidak dapat ditolaknya,” ujar Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak Satreskrim Polresta Jayapura, Mince Mayor.
Kasus serupa terjadi pada Mei lalu. Kali ini korbannya lebih muda, 12 tahun. Sebut saja Melati namanya. ABG yang masih bau kencur ini nekad menemui seorang pria berusia 31 tahun yang dikenalnya lewat facebook sekitar sebulan silam. Ironisnya, Melati yang masih di bawah umur itu mau saja diajak tersangka ke salah satu penginapan di kawasan Tanjung Elmo Sentani. Dua hari Melati tidak pulang ke rumah. Keluarga mencarinya dan melaporkan ke pihak berwajib.
Dalam triwulan terakhir, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Reskrim Polresta Jayapura mencatat 13 kasus kekerasan dan asusila dengan korban di bawah umur. Selain kasus asusila melalui situs jejaring sosial, pencabulan dan aborsi juga menjadi kasus menonjol di tahun 2010 ini. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya.
“Ada peningkatan jumlah kasus. Ini karena masyarakat sudah mulai mengerti aturan hukum, sehingga mereka berani melapor,” ujar Kasat Reskrim Polresta Jayapura AKP IGG Era Adhinata, SIK.
Menurut Era Adhinata, pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak masih kurang. Padahal bila ada laporan tindak kejahatan terhadap anak, hukum pidana tetap berlaku kendati dilakukan atas dasar suka sama suka.
Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Jayapura, Betty Pui, SE,MM mengatakan, untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 pihaknya tidak terlalu terjun mengurusi masalah anak sebab sudah menjadi tanggung jawab dinas terkait lainnya. Ia berkilah, Biro Pemberdayaan Perempuan hanya berfokus pada perempuan dan masalah gender.
Sementara Iche Korwa, SH.MH, Kabid. Data dan Analisis Kebijakan Tindak Kekerasan Perempuan, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, menyebutkan UU Perlindungan Anak, kalau dilihat dari pola pikir, sebenarnya anak-anak perempuan, siapa pun dia, apakah miskin, tidak punya pendidikan dan tidak mengerti hukum, akan menjadi kelompok yang rentan. Termasuk anak-anak, mereka rentan terhadap kekerasan akibat tidak mengerti. “Bahkan anak-anak juga rentan terhadap praktek trafficking,” kata Iche Korwa.
Pada simpul inilah, ketika kita membicarakan tentang anak-anak dengan berbagai problematiknya, hendaknya para pemimpin di Tanah Papua mau merenung. Apakah mereka telah membangun Papua dengan benar. Membangun kota-kota di Papua berdasarkan suatu perencanaan yang matang dan terpadu? Apakah dana Otsus triliunan rupiah itu telah digunakan secara benar bagi sebesar-besarnya kemakmuran orang asli Papua? Kemakmuran anak cucu Tanah Papua tercinta? Hanya Tuhan yang tahu. (Tim Fokus FOJA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar