Sabtu, 31 Juli 2010

FOJA Edisi 26 / VI / 2010

Hukuman Mati Bagi
Koruptor?


Papua, anak emas dari timur. Agak sombong, maklum alamnya kaya raya. Elok nian orang dan panoramanya. Pekik merdeka bikin Jakarta ketar-ketir. Otonomi khusus (Otsus) diberi. Triliunan rupiah dikucur. Korupsi merajalela. Pejabat dan keluarganya mandi uang dari pancuran korupsi. Jelata berebut dari yang menetes. Kemiskinan mengental. Kemelaratan menggumpal. Lantas hukuman macam apakah yang pantas bagi si koruptor? Kepada Julian Howay dari FOJA Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih mengupasnya secara lugas dan tuntas bagi pembaca sekalian. Selamat mengikuti...!!!

Seperti apa Anda melihat fenomena korupsi di Papua?
Dari konteks ketatanegaraan kekuasaan itu cenderung korup. Power tend to corrupt, kata Lord As ton. Jadi , kekuasaan i t u cenderung disalahgunakan orang. Itulah yang sebenarnya membuka ruang terjadinya korupsi. Untuk konteks pemberantasan korupsi di Papua, hingga kini saya lihat belum maksimal. Padahal, meski cakupan wilayah Papua begitu luas, namun yang lakukan korupsi hanya segelintir orang. Sepertinya ada kesepakatan-kesepakatan dalam tanda petik. Seharusnya itu tidak perlu dilakukan antara koruptor dan aparat penegak hukum. Saya lihat ada kasus korupsi yang mestinya diproses hukum, tapi faktanya tidak. Tidak ada tindak lanjut secara normatif.

B a g a i m a n a d e n g a n akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua?
Sa y a l iha t a kunt a b i l i t a s (pertanggung jawaban) publik, secara umum di Indonesia, lebih khusus di Papua memang masih rendah. Karena akuntabilitas itu berkaitan dengan partisipasi. Maka akuntabilitas tidak boleh berdiri sendiri. Harus ada partisipasi rakyat yang tinggi. Kalau tidak ada partisipasi dalam penyelenggaraan kekua s a an, bi s a dika t aka n akuntabilitas pemerintah tidak berjalan baik. Pertanyaannya, apakah pejabat kita terbuka? Soalnya, kalau berbicara uang, pasti gelap semua. Tidak ada akuntabilitasnya.


Lalu kinerja Inspektorat dan BPKP sendiri seperti apa?

Ba g i s a y a b a d a n pengawasan internal , seperti Inspektorat (dulu: Bawasda-red) itu bukan pengambil keputusan akhir, lho. Badan ini sifatnya hanya memberi rekomendasi. Keputusan t e r a k h i r a d a p a d a gubernur. Dalam konteks p e n e g a k a n h u k u m untuk memberantas ko rups i , menurut saya Inspektorat itu t idak ada gunanya. Pertanyaannya, apakah I n s p e k t o r a t b i s a melanjutkan temuannya? Karena suatu temuan bisa ditindaklanjuti atau tidak tergantung gubernur. Saya kira kita masih sulit. Intinya sapu kotor tidak mungkin bisa membersihkan lantai. Begitu juga soal transparansi. Mestinya hasil temuan badan pengawas tidak ditutup-tutupi. Ini dalam rangka keterbukaan, demokratisasi, partisipasi dan akuntabilitas. Masakan menyangkut uang rakyat/ publik kok dirahasiakan. Yang bisa menjadi rahasia hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Kalau soal akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan p e n g g u n a a n a n g g a r a n , rahasia apa yang mau disembunyikan? Di negara-negara maju tidak seperti itu, hanya di negara kita saja yang seperti ini.

Kabarnya pemekaran wilayah menjadi celah pejabat lakukan korupsi. Menurut Anda?
Sederhana saja. Kalau kita bicara korupsi, maka yang korupsi sebenarnya siapa? Pasti, pejabat. Korupsi tidak dilakukan masyarakat. Pejabat, penguasa, pengambil keputusan, itulah pelaku korupsi. Terlepas dari apakah mereka berkomplot dengan pihak lain, tapi intinya pasti pejabat. Kenapa pemekaran itu bisa menimbulkan kemungkinan korupsi? Nah, sederhana saja. Dari evaluasi nasional menunjukkan bahwa belanja aparatur di Indonesia lebih besar ketimbang belanja publik (rakyat). Bahkan ada beberapa daerah sampai 98 persen dari APBD hanya untuk aparatur. Berarti hampir tidak ada pembangunannya. Gaji rata-rata dari APBD di Indonesia, termasuk Papua adalah 57 persen untuk gaji birokrat ditambah tunjangan operasionalnya sebesar 17 persen. Itu berarti semuanya berjumlah 74 persen untuk birokrasi. Sangat disayangkan karena rakyat tidak dapat apa-apa. Makanya saya secara pribadi cenderung tidak begitu setuju adanya pemekaran. Karena uangnya tidak selalu untuk kesejahteraan rakyat, tapi beralih untuk birokrasi.

Sejumlah pejabat diindikasi terlibat kasus korupsi. Tapi kenapa proses hukumnya belum jelas?
Saya ki ra per tanyaannya buntu. Karena apa? Memang sejauh ini ada temuan kasus-kasus korupsi di Papua yang sudah diproses hingga ke kejaksaan dan pengadilan. Tapi ada yang berhenti di tengah jalan. Pertanyaannya kenapa berhenti dan tidak lanjut? Saya juga tidak tahu persis, tapi mudah-mudahan bisa dilanjutkan. Saya kira inilah model-model penegakan hukum di Indonesia dan bukan hanya di Papua. Bisa dikatakan, proses penegakan hukum bisa dinegosiasi. Itu faktanya. Ka l au memang sudah tersangka kenapa lama prosesnya. K e n a p a t i d a k di tangkap atau di tahan dan seterusnya diproses ke pengadilan? Ini berarti ada pendekatan-pendekatan di luar hukum.

Kenapa temuan kasus korupsi sul i t di telusur i bi la mat a rantainya melibatkan aparat penegak hukum?
Ya. Kalau secara umum, memang tidak mudah menangani kasus korupsi semacam itu. Sering terjadi kebuntuan kalau kita bicara keterkaitan antara pelaku korupsi dengan aparat penegak hukumnya. Secara pribadi, saya sangat susah untuk mengatakan bahwa kasus semacam itu harus diapakan. Tapi menurut saya, harus dipotong generasi di jajaran birokrasi yang korup, termasuk dalam jajaran penegak hukumnya. Sebab kalau yang tua sudah korupsi, maka akan susah cari yang bersih. Saya tidak setuju kalau korupsi hanya dibilang melibatkan oknum, padahal sifatnya sudah sistem. Karena bukan hanya oknum, tapi sistem kita di Indonesia memang korup. Kalau sistemnya baik, tapi manusianya yang korup, ada kemungkinan sistemnya bisa diperbaiki. Masalahnya, sistemnya sudah korup, manusianya juga korup, maka sempurnalah korupsi itu. Ini memang susah, karena itu untuk mengatasinya harus ada potong generasi. Namun, di level generasi ke berapa yang harus terpotong. Ini tidak mudah.

Apakah hukum bisa memberi efek jera pada koruptor?
Saya ki ra secara normat i f hukuman sudah cukup tegas. Bila perlu koruptor dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Tapi faktanya, sejarah di Indonesia menunjukkan hukuman paling lama terhadap pelaku korupsi hanya 6 tahun dan dendanya tidak seberapa. Pertanyaannya kenapa seperti itu dan tidak dipakai maksimal? Tergantung lagi penyidiknya, kenapa hanya 6 tahun? Padahal mereka sudah korupsi miliaran rupiah. Malahan mereka juga dipotong masa tahanannya. Kenapa tidak pakai maksimal? Ini menunjukkan putusan-putusan pengadilan terhadap kasus korupsi masih sangat rendah. Pastikan hukuman mati karena korupsi adalah kejahatan luar bisa.


Maksud Anda menghadapi koruptor harus tegas?

Ya. Yang perlu kita pahami bahwa menyelesaikan peristiwa hukum tidak selamanya harus melalui proses hukum. Karena masih ada hal-hal lain di luar proses itu. Namun, dalam konteks korupsi dan karena ini sifatnya kejahatan luar biasa, harus ada contoh yang bisa menjadi perbandingan. Lihat saja di Cina, kenapa mereka bisa berantas korupsi? Itu karena pemimpinnya bilang, kalau saya yang korupsi saya langsung dihukum mati. Beranikah pejabat Indonesia katakan seperti begitu? Mereka hanya bilang kita buat pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tapi tidak ada yang berani katakan seperti para pemimpin di Cina. Misalnya, kalau dia terbukti korupsi langsung ditembak mati. Kenapa Cina bisa, kita kok tidak bisa. Menurut Mochtar Lubis, ciri manusia Indonesia pertama adalah hypocrite atau munafik. Kalau pejabat dan penguasa itu pura-pura (munafik), berarti secara filsafat manusianya tidak tulus dan jujur. Karena pejabatnya tidak tulus dan jujur, maka ada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Sebaliknya, kalau pejabat itu memberi teladan dengan tulus dan jujur, tentu korupsi tidak akan terjadi.

Koruptor dijatuhi hukuman mati?
Sebenarnya sederhana. Harus dibuat peraturan (norms) yang baik. Artinya peraturan itu bisa membuat pejabat berperilaku yang baik. Itu yang tidak ada selama ini. Kalau sudah ada peristiwa hukum dalam konteks korupsi, apa yang harus dilakukan? Itu berarti kembali ke penegak hukumnya. Ada kewenangan dan tupoksi yang telah dimiliki masing-masing aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Ke j aks a an dan Peng adi l an. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan tugasnya dengan baik? Kalau dalam konteks Papua, saya amati pelaksanaannya belum maksimal. Menurut saya, di samping potong generasi yang korup, harus ada pejabat yang dihukum mati (death sentence) untuk membuat efek jera dan perubahan. Ini sebenarnya bisa dilakukan, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya lewat pesan moral. Sebab, kita masih tetap juara dunia dalam korupsi. Itu persoalan, jadi tidak cukup lewat pesan moral. Kalau pesan moralitas tidak efektif, berarti harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. (Tim Fokus Foja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar