Minggu, 08 Agustus 2010

FOJA Edisi 27 / VII / 2010



Papua Terancam Lost Generation

Gawat. Himpitan persoalan kesehatan ibu dan anak yang melanda rakyat miskin di Papua sudah mencapai stadium darurat. Asupan gizi kaum ibu, terutama ibu hamil ternyata sangat mengenaskan. Bayi dan balita pun sama mirisnya. Sementara di sektor pendidikan, barisan panjang anak jalanan menjadi hantu pembangunan. Apakah realitas ini menjadi indikasi sedang terjadi proses lost generation di Tanah Papua?


Bo cah-bo cah k e c i l , r amb u t keriting. Tubuh hitamnya terlihat kurus, seperti lidi. Perutnya buncit, p e r s i s wa n i t a hami l . Tul ang b e l u l a n g n y a mencuat, seakan hendak menembus kulit. Begitu kuyu. Bola mata pun sayu, tak bergairah. Sesekali mereka menyeka ingusnya yang kental dengan punggung tangan.

Dari kejauhan seorang wani ta dengan profil nyaris s e rupa datang me n g h amp i r i . Wa n i t a k u r u s kering, telanjang dada, perutnya pun buncit. Usia kehamilannya jalan lima bulan. Di belakangnya, suami tercinta mengekor sambil menggendong babi. Di kepala suami tali noken membelit. Setelah diturunkan, ternyata noken (keranjang khas Papua) itu berisi bayi. Tangis si bayi pecah. Si ibu mengambilnya, membiarkan bayi kurus itu menetek pada puting dadanya yang koyor.

Itulah sketsa buram tentang kondisi mayoritas masyarakat di pedalaman Tanah Papua. Ritme kehidupan yang dijalani begitu sederhana, alami dan tanpa beban. Mereka menyatu dengan kultur dan kesuburan alam. Nomaden, adalah cara meniti kehidupan. Ladang berpindah dan perburuan menjadi andalan dalam menyiasati hidup.

Jangan tanya berapa banyak asupan gisi yang diterima anak-anak mereka. Sebab perut anaknya yang buncit hanya berisi cacing. Atau akibat busung lapar. Anak-anak itu tak sekolah. Tak bisa baca, tulis dan berhitung. Kalau pun namanya terdaftar di sekolah, hampir pasti mereka selalu alpa mengikuti proses belajar di ruang kelas.

Tampaknya keluarga-keluarga di pedalaman Papua belum termotivasi untuk memotivasi anak-anaknya agar sekolah. Alam Papua yang subur dan kaya raya seolah membius dan meninabobokkan. Kapan dan di mana saja ada sagu, umbi-umbian, dedaunan, buah-b u a h a n d a n binatang l iar . Al am menj adi lumbung yang tak pernah habis dikuras.

Nilai budayanya pun khas. Tak perlu kaget lihat l e l a k i P a p u a menggendong babi dengan penuh kasih. Sementara a n a k n y a d i b i a r k a n terkurung dalam n o k e n y a n g t e r g antung di b e l a k a n g n y a .

Dalam budaya P a p u a b a b i a d a l a h m a s kawin. Nilainya t ing g i . Puny a b a n y a k b a b i bisa kawin berkali-kali. Status sosial pun terangkat. Menjadi orang terpandang. Sebab para isteri yang dinikahi akan mengabdi sebagai pekerja di kebunnya. Isteri-isteri inilah yang mengolah tanah, menanam, menyiangi dan memanen. Mereka juga mencari kayu bakar dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan ketika melahirkan perempuan Papua melakukan seorang diri di hutan atau lokasi tertentu. Proses melahirkan seperti ini secara medis tentu tidak higienes. Tapi itulah realita yang sampai saat ini masih terjadi.

Realitas di atas memperlihatkn betapa sibuk perempuan Papua. Itu sebabnya mereka kurang perhatian pada anak-anaknya. Anak tumbuh secara alamiah. Jadi jangan tanya berapa banyak asupan gisi yang diberi kepada anak-anaknya. Dirinya saja kurang gisi, anak-anaknya pun tentu sama.

Di perkotaan pun serupa. Masalah pendidikan, kesehatan dan pendapatan begitu miris. Pecahnya rumah tangga, trend anak jalanan adalah indikator. Anak-anak tidak sekolah. Yang lain putus sekolah, lalu lari dari rumah dan mengais penghidupan di jalan. Kejamnya kehidupan jalanan menjungki rbal ikkan per i laku dan perangai mereka. Anak-anak yang semula lugu berubah jadi liar. Menggemari minuman keras (miras), narkoba, menghirup lem aibon (ngelem), bahkan sex bebas. Akibatnya, banyak yang terkena sakit kelamin, kecanduan narkotika/ miras, bahkan terinfeksi HIV.

Direktur Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua, Drs. Tahi Butar Butar, M.Kes mengatakan, yang utama dari pembangunan kesehatan adalah masa depan anak-anak. Negara wajib melindungi dan memperlakukan anak-anak sebagaimana ditetapkan dalam konvensi PBB mengenai Hak- Hak Anak. Namun di banyak negara berkembang perhatian terhadap hak-hak anak masih minim. Ini terekam dari lemahnya akses mereka ke sektor pendidikan dan layanan kesehatan.

Fakta ini terlihat jelas pada kondisi umum anak-anak di Tanah Papua. Mereka belum mendapat perhatian dan perlindungan, baik dari keluarga maupun pemerintah. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya berada di bangku sekolah justru bekerja di sektor swasta atau terpaksa menjadi anak jalanan. Padahal dalam fase perkembangan, mereka butuh fasi l i tas bermain dan belajar, serta bimbingan orang tua guna merangsang perkembangan karakternya. Dan ini harus dilakukan sejak dini. Saat anak dalam kandungan, masa bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga tumbuh jadi dewasa.

”Pada tahapan pertumbuhan inilah semua pihak wajib memberi dukungan penuh,” tandas Butar Butar. Soal anak jalanan, Butar Butar menilai sebagai dampak dari ketidakmampuan ekonomi orang tua. Atau akibat kehancuran rumah tangga (broken home). Dua penyebab inilah yang mendorong anak-anak lari meninggalkan rumah. Mereka mencari jati dirinya sendiri bersama anak-anak lainnya di jalanan. Mungkin saja mereka merasa lebih nyaman hidup di jalanan ketimbang di rumah.

”Tapi saya perlu sampaikan, ternyata ada juga anak jalanan yang patut diacungkan jempol. Mereka bekerja untuk membiayai pendidikan dan membantu ekonomi keluarganya,” puji Butar Butar.

Dalam kaitan dengan anak-anak, Mei lalu Butar Butar berkunjung ke Wamena. Dia bertemu anak-anak. Mereka tidak bersekolah. Rata-rata berasal dari sejumlah kabupaten sekitar seperti, Tolikara, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan lain-lain. Setiap hari anak-anak ini bekerja apa saja di sekitar pasar Jibama.

”Saya tanya apakah mereka mau sekolah? Semua anak menjawab mau. Beberapa anak saya suruh menggambar dan mereka lakukan dengan baik. Saya kira anak-anak ini terlantar secara sosial budaya, psikologi dan ekonomi,” tutur Butar Butar.

Menurut Butar Butar, fenomena anak jalanan bukan hanya ada di Jayapura atau Wamena. Sejumlah kota lain pun sama. Anak-anak tersebut sama sekali belum mengenyam pendidikan. Kesehatan mereka pun buruk. ”Bila kondisi ini diabaikan bukan mustahil Papua akan mengalami apa yang dinamakan lost generation (kehilangan satu generasi). Padahal anak-anak inilah kelak menjadi tulang punggung untuk membangun masa depan Tanah Papua,” kata Butar Butar serius.

P end i d i k an, Ke s eha t an, Pendapatan
Kekhawatiran Butar Butar soal kemungkinan terjadi lost generation di Tanah Papua sangat beralasan. Setidaknya ada tiga indikator penting memperlihatkan gejala ke arah sana. Pertama, keterdidikan anak-anak Papua yang rendah menjadi sinyal lampu merah yang serius.

Kedua, kondisi kesehatan masyarakat Papua, terutama kesehatan ibu hamil/menyusui/anak-anak dapat dikategorikan sebagai darurat gizi yang serius. Ketiga, pendapatan perkapita masyarakat Papua yang hanya sekitar Rp 6 juta perkapita per tahun (di luar dana dari Freeport) merupakan sinyal lain yang menunjukkan proses lost generation itu sungguh sedang terjadi.

Kita bedah dari tingkat pendidikan. Idealnya semua anak-anak Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Dikdas) 9 tahun. Tapi di Papua standar ini tidak tercapai. Saat ini jumlah anak-anak buta huruf masih banyak. Yang tidak tamat SD dan SLTP pun begitu. Ini fatal sekali.

Penyebabnya beragam. Minimnya tenaga pendidik dan fasilitas belajar menjadi persoalan krusial. Akses ke sekolah yang relatif sulit juga jadi kendala. Bahkan gedung-gedung sekolah di Papua banyak yang sudah hancur akibat dibangun asal jadi. Dampaknya, proses belajar mengajar di banyak tempat di daerah pedalaman berlangsung di gubug-gubug reyot dengan tenaga guru seadanya.

Begitu pula dengan tingginya biaya pendidikan menjadi persoalan serius. Sebab meskipun Gubernur Provinsi Papua telah mengeluarkan Keputusan No. 5/2009 tentang Pendidikan Gratis bagi rakyat asli Papua melalui subsidi dana Otsus, namun keputusan ini tidak berlaku efektif di lapangan. Kondisi ini secara keseluruhan membuat indikator pendidikan di Papua masih jauh di bawah rata-rata nasional.

Indikator kesehatan pun miris. Berdasarkan hasil analisis yang dikeluarkan LSM Foker Papua tahun 2009 menunjukkan kesehatan ibu dan anak selama beberapa tahun terakhir belum menunjukkan adanya perbaikan. Kendati Otsus sudah berjalan selama 8 tahun namun persoalan kesehatan di Tanah Papua belum bagus.

Hasil survey menunjukkan tahun 2001 jumlah bayi yang lahir sebanyak 64.471 jiwa. Ternyata yang hidup hanya 51.460 jiwa. Sekitar 7.150 bayi meninggal. Angka perbandingannya adalah: 122 per 1000 kelahiran hidup. Sementara dari 47.709 balita yang hidup, 3.751 balita di antaranya meninggal. Perbandingan angka kematian balita adalah: 64 per 1000 kelahiran hidup.

Sedangkan pada tahun 2003 Unicef Papua menemukan kematian ibu dan bayi baru lahir sebanyak 1.025 per 100.000 kelahiran hidup. Survey angka kematian ibu di Papua oleh Depkes tahun 2003 menunjukkan kematian ibu dan bayi baru lahir sebesar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibanding angka nasional yakni 350 per 100.000 maka situasi kesehatan ibu dan anak di Papua sangat memprihatinkan, sebab berada jauh di bawah standar nasional.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, drg. Hendrik Sembiring mengatakan, kesehatan bagi anak merupakan hal yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Untuk mendukung perkembangan anak, memang perlu dipersiapkan sejak dini. Karena itu, kegiatan Posyandu di masing-masing distrik dan kampung giat digalakkan agar dapat diketahui perkembangan anak setiap bulannya.

Tidak hanya sampai di situ saja. Ada juga program pemerintah yang dapat mengakses pelayanan kesehatan kepada masyarakat yaitu Mobile Clinik atau klinik berjalan, yang sudah dapat menjangkau daerah-daerah yang masih terisolirTernyata Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, juga lakukan penelitian pada tahun 2001. Hasilnya menyebutkan Kabupaten Jayapura dan Yapen Waropen, merupakan daerah yang paling tinggi angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh penyebab langsung seperti pendarahan infeksi saat melahirkan dan status gizi yang kurang, terutama pada masa kehamilan dan menyusui.

Penyebab tidak langsung biasanya akibat keterlambatan mengambil keputusan, jangkauan pelayanan kesehatan yang jauh, serta kurangnya penanganan medis yang berkualitas dan profesional, hingga pengaruh sosial budaya, ekonomi, pendidikan, tradisi kepercayaan dan kondisi geografis.

Hasil survey tahun 2001 juga menemukan penyebab utama kematian ibu dan anak adalah penyakit infeksi saluran pernafasan (pneumonia). Tingginya kasus kematian ibu dan anak juga erat kaitannya dengan buruknya pelayanan kesehatan dan perilaku petugasnya. Sampai hari ini banyak tenaga medis di distrik dan kampung tidak menjalankan tugasnya dengan baik, namun gaji mereka terima secara utuh setiap bulannya.

Indikasi di atas memperlihatkan pendapatan perkapita rakyat Papua yang terbilang sangat kecil. Padahal permasalahan sosial yang terkait dengan masalah anak biasanya tak terlepas dari kondisi ekonomi keluarga dan lingkungan sosial budaya sekitarnya.

“Ketika keluarga itu sejahtera, sudah bisa dipastikan seluruh anggota keluarga seperti anak-anak akan merasa nyaman dan tentram berada di rumah,” ujar Sekretaris Badan Koordinasi Keluarga Nasional (BKKBN) Provinsi Papua, Dra. Betty Kusuma, M.Si.

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anak-anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Jadi kualitas keluarga sangat ditentukan oleh terpenuhinya aspek-aspek mencakup; pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, mental, spiritual dan nilai-nilai agama.

Secara umum keluarga dikategorikan dalam 5 tahap. Tahap keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, tahap 2, tahap 3 dan keluarga tahap 3
plus.

Keluarga sejahtera dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup materil dan spiritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Sementara keluarga pra sejahtera atau sering disebut keluarga miskin adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, seperti sandang, pangan, papan, pengajaran/pendidikan, agama dan kesehatan.

Menurut Betty Kusuma, permasalahan anak dan remaja, seperti miras, seks bebas, IMS, narkoba, dan kenakalan remaja umumnya disebabkan oleh latar belakang keluarga yang tidak bisa memberi kenyaman bagi anak-anaknya. Karena itu harus diputuskan mata rantainya melalui penyuluhan, informasi dan program pemberdayaan ekonomi keluarga sejahtera.

Semboyan nasional yang menekankan 2 anak lebih baik, menurut Betty adalah upaya mengurangi beban ekonomi keluarga, apalagi keluarga kurang mampu. Ini dimaksudkan agar anak yang akan lahir merupakan generasi penerus yang berkualitas. Sebab orang tuanya bisa memberikan perhatian pada tahapan perkembangan dan masa depannya. Selain itu, kata Betty Kusuma, pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) untuk wilayah Papua sifatnya tidak dipaksakan. Tapi disesuaikan dengan kearifan sosial budaya masyarakat lokal.

“Dalam hal ini BKKBN bukan bermaksud membatasi kelahiran anak, tetapi mengatur jumlah anak yang diinginkan sesuai kemampuan orang tuanya,” urainya.

Di satu sisi orang tua keluarga pra sejahtera (keluarga kurang mampu) sering sulit mengakses informasi dan pengetahuan yang bisa memberi mereka pendidikan dalam hal mengatur jarak dan jumlah anak yang diharapkan. Karena itu, tak heran jika dalam keluarga pra sejahtera cenderung memiliki anak yang banyak. Banyaknya anak tetapi jika tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi, tentunya akan berdampak pada menurunnya kualitas keluarga.

Dengan demikian pendidikan kepada orang tua merupakan faktor yang sangat penting. Sebab orang tua merupakan panutan bagi anak-anaknya. Soal penanganan terhadap anak-anak tanpa perlindungan, demikian Betty Kusuma, perlu ada semacam rumah singgah. Pada rumah singgah anak-anak dibina sesuai potensi dan bakatnya. Karenanya, masalah anak jalanan harus dtangani secara terintegrasi melibatkan semua stake holder.

Rendahnya ketiga indikator dimaksud, yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan tentu akan melahirkan generasi baru Papua yang tidak berkualitas. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka secara perlahan lost generation itu pasti terjadi. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang tidak tamat SD atau SLTP? Bahwa dalam 25 tahun ke depan pasti akan terjadi pertambahan jumlah penduduk, namun mutu manusianya tetap rendah. Manusia yang ada hanyalah orang-orang dengan tingkat kecerdasan minimalis. Tak ada yang bisa diharapkan dari manusia tak berkualitas. Inilah yang dicemaskan dari lost generation itu.

Pendampingan dan Pencerahan
Untuk menyelamatkan manusia Papua dari ancaman lost generation Konsultan Kesehatan Ibu Anak Ausaid NTT, Raymundus Lema menyarankan agar dilakukan Revolusi Pencerahan dan Pendampingan Warga Berakarkan Komunitas Basis Warga. Yang ingin dicapai dari gerakan ini adalah perubahan mainset berpikir masyarakat. Warga Papua (terutama orang tua, tokoh adat, dll) harus dicerahkan sehingga bisa melepaskan diri dari ikatan pengaruh budaya yang kukuh mengekang dan memahami pentingnya masalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang baik seseorang tidak mungkin mampu merubah keadaannya menjadi lebih baik.

”Saran saya, di tiap kampung ditempatkan satu tim yang terdiri dari orang-orang yang sungguh mau tinggal bersama masyarakat Papua, makan minum dan tidur bersama rakyat. Orang-orang ini tulus mau mengabdi. Sebab kondisi warga Papua yang masih terbelakang membutuhkan manusia pengabdi, bertanggung jawab, tidak cengeng, apalagi mengeluh. Mereka inilah yang melakukan pendampingan dan pencerahan kepada mayarakat,” kata Mundus yang juga adalah anggota Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan NTT.

Tim yang akan lakukan revolusi sebaiknya terdiri dari minimal lima orang dengan latar belakang berbeda. Mereka tidak harus tenaga sarjana. Cukup tenaga SLTA atau sederajat. Kelima orang tersebut baiknya berlatar belakang pertanian, ekonomi, penerangan, kesehatan dan pendidikan. Harus tenaga yang sudah berpengalaman dan menguasai bidangnya. Sangat bagus bila tim ini didukung LSM yang peduli pada permasalahan ini.

”Saya harapkan Pemda menawarkan gaji menarik. Beri mereka gaji yang besar agar mau tinggal bersama rakyat dan mengabdi sepenuh hati untuk masyarakat. Dana Otsus yang mencapai triliunan seharusnya bisa mewujudkan gagasan ini,” tambahnya.

Dengan pendampingan dan pencerahan yang dilakukan secara intensif secara perlahan-lahan akan mampu merubah mainset berpikir masyarakat Papua pada umumnya. Setidaknya, rakyat akhirnya mengerti akan pentingnya masalah pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
”Kalau orang-orang tua di pedalaman sudah paham akan pent ingnya pendidikan dan kesehatan, saya yakin ke depan mereka akan termotivasi untuk memotivasi anak-anaknya agar bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi. Dari sinilah akan lahir anak-anak Papua yang berkualitas. Anak-anak inilah yang dapat diandalkan untuk mens e jaht e rakan r a k y a t P a p u a , ” tambahnya.

D a l a m keprihatinan yang s a m a D i r e k t u r YPKM Papua, Butar Butar sesungguhnya t e lah me lakukan p e n d a m p i n g a n terhadap anak-anak di berbagai daerah di Papua. Di kota Jayapura ada 60 anak yang didampingi . Usia mereka antara 9 hingga 18 tahun, pendidikannya setingkat SD dan SMP. Mereka tersebar di beberapa titik, mulai dari Pasar Dok IX, pantai depan kantor Gubernur Dok II, Depan GOR Cenderawasih APO, Pelabuhan Porasko, Taman Imbi, pasar lama Jayapura (Ampera), terminal Mesran, Weref, terminal Entrop, lingkaran Abepura, Tanah Hitam dan Pasar Kotaraja hingga Waena.

Menurutnya, tujuan utama pendampingan untuk merubah perilaku menjadi lebih baik. Juga menggali bakat dan potensi anak-anak yang terabaikan. Bagi yang sudah terbiasa melakukan hubungan seks akan dibekali dengan informasi seputar HIV-AIDS. Yang mengalami ketergantungan miras, narkoba, dll, pihaknya bekerjasama dengan Yayasan Permata Hati Kita (Yakita) Papua untuk menangani masalah kecanduan.

Koordinator Lapangan dan Pelatih Kelompok Muda Berdaya Yakita, Agus Hayong membenarkan pihaknya pernah membina 5 orang anak melalui program pemulihan dari ketergantungan narkoba dan miras. Saat ini anak-anak tersebut telah kembali ke keluarga. Yakita juga kerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) untuk kegiatan-kegiatan penjangkauan. Umur anak-anak yang berhasil dijangkau berkisar antara 16 hingga 20 tahun. Mereka umumnya melakukan aktivitas negatif seperti mengonsumsi miras, mengisap aibon dan melakukan seks bebas. Bahkan ada yang sudah mengkonsumsi narkoba.

“Ada 4 anak perempuan sedang menjalani pemulihan. Semuanya anak-anak asli Papua. Kita juga mendapat rujukan anak-anak pecandu narkoba, aibon dan miras dari BMP, KPA, YHI, WVI dan lain-lain.

Proses rehabilitasinya berlangsung selama 3 bulan,” aku Agus.
Soal pekerja anak yang marak di Jayapura, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura, Sabar Simbolon, SE, mengatakan definisi pekerja anak adalah pekerja yang usianya di bawah 18 tahun. “Di Jayapura tidak ada anak bekerja sebagai pekerja formal (terdaftar di perusahaan wajib lapor ke Disnaker). Memang banyak pekerja anak tapi di sektor informal. Misalnya, menjual koran, buruh pasar, dll. Anak-anak yang bekerja di sektor informal bukan menjadi tanggung jawab Disnaker,” kata Simbolon.

Mengenai anak di bawah umur bekerja di tempat hiburan malam, menurut Simbo l on, me r eka tergolong pekerja illegal. Datang atas kemauan sendiri. “Kalau bermasalah saya mewajibkan perusahaan memulangkan anak-anak itu ke daerah asalnya,” imbuhnya.
Ternyata kegiatan pendampingan YPKM juga diberikan kepada anak-anak Sentani. Ada 45 anak, berumur 9 hingga belasan tahun. Mereka tersebar di 3 titik, yaitu Pasar Lama, Pasar Baru, dan Terminal Sentani. Sedangkan di Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ada 494 anak. Usia mereka antara 10 hingga 17 tahun. Sebanyak 214 anak tidak sekolah, 117 anak SD, 19 anak SMP dan 21 anak SMA. Sementara 92 orang anak masih tetap sekolah. Anak-anak ini sehari-hari melakukan aktivitas di sekitar area pasar tradisional Jibama dan airport Wamena.

Di Kota Se rui YKPM juga mendampingi 30 anak. Terdiri dari 10 anak perempuan dan 20 anak laki-laki dengan latar belakang pendidikan SD. Aktivitas anak-anak ini di sekitar alun-alun Tr iko r a Serui dan pelabuhan laut. Sementara untuk Nabire ada sekitar 100 anak jalanan. Namun yang didampingi hanya 28 o rang . Me r eka tersebar di dua titik, yaitu di pasar Nabire dan Kawasan Ruko. Yang mengejutkan, nyaris semua anak ini t e lah lakukan hubungan seks bebas. Malah ada yang sudah bermain sex sejak usia 9 hingga 15 tahun.

Di Manokwari masalah anak jalanan juga memprihatinkan. Kepa l a Bidang SMA, Dina s Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manokwari, Barnabas Dowansiba mengatakan, persoalan yang dihadapi memang kompleks, perlu kerja sama antara dinas sosial dan dinas pendidikan. “Kita butuh data yang akurat mengenai anak jalanan. Kita punya pendidikan Paket A, B dan C. Anak-anak bisa belajar melalui paket pendidikan yang ada,” katanya.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Manokwari, Drs. Aljabar Makatita juga sependapat. Menurutnya, Dinke sos jug a bertekad membantu anak-anak agar berpendidikan, sehingga ke depan memiliki kemampuan untuk merubah nasibnya menjadi lebih baik.

“Saat ini kami sedang membina para pekerja seks komersial (PSK) baik yang masih usia sekolah maupun sudah dewasa. Mereka merindukan masa depan yang lebih baik,” kilah Aljabar. (Tim Fokus FOJA)

2 komentar:

  1. trut berduka dengan sebua kata yang membuat adalah persoalan kesehatan ibu dan anak yang melanda rakyat miskin di Papua sudah mencapai stadium darurat. Asupan gizi kaum ibu, terutama ibu hamil ternyata sangat mengenaskan. Bayi dan balita pun sama mirisnya, ini membuat dengan kepentingan saja karena ada uang yang untuk gizi tetapi pemerintah daerah tidak mejangkau di plosok-plosok bakan tidak mencairkan dana untuk gizi sehingga menjadi penomena sangat mencandiwarakan sampai saat ini.

    BalasHapus
  2. itulah kaka. kita ini selalu dengar setiap tahunnya dana Otsus yang masuk ke Papua jumlahnya trilliunan (ribuan miliar) rupiah, tapi kok tidak ada perubahan apa-apa? memang tidak dipungkiri ada daerah yang sudah menunjukkan kemajuan, namun sebagian besar lagi tidak tersentuh pembangunan.padahal kalau pemerintah bisa fokus ke 1 bidang saja setiap tahunnya, pasti akan kelihatan hasilnya. Mungkin karena kepentingan politik lebih dominan daripada hati nurani untuk melayani rakyat. mudah-mudahan pemerintahan mendatang bisa berbuat yang terbaik.

    BalasHapus