Minggu, 08 Agustus 2010

FOJA Edisi 27 / VII / 2010


Anak Papua Itu Cerdas, Bahkan Jenius


Wahana Visi Indonesia (WVI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam advokasi anak, khususnya bidang pendidikan. Saat ini WVI menyantuni sekitar 17. 000 anak Papua. Tersebar di tiga cluster, yaitu sekitar Jayapura, Keerom, Wamena, Kurima, Mulia, Karubaga, Lani Jaya, dan lain-lain. Cluster selatan seperti Merauke, Boven Digul, dan Pantai Kasuari. WVI pun sedang merancang ekspansi pelayanan ke Kabupaten Jayapura, Biak dan Wamena. Seperti apa potensi anak Papua? Mengapa Manager WVI Region Papua Drs. Roriwo Karetji, MM meyakini anak Papua itu cerdas, bahkan jenius? Reporter Majalah Berita FOJA, Junaedy Patading melakukan wawancara eksklusif di ruang kerjanya belum lama ini. Berikut petikannya.

Fokus pelayanan WVI itu sesungguhnya apa, ya?
Sejak berdiri WVI fokus pelayanan pada anak. Khusus Papua, yang paling kita dorong adalah pelayanan bidang pendidikan dan informasi mengenai HIV-AIDS. Bidang pendidikan misalnya, seorang anak harus menyelesaikan pendidikan minimal 12 tahun. Yang kita lakukan adalah meningkatkan pembelajaran melalui guru-guru. Misalnya dengan menambah metodologi mengajar agar guru bisa mengajar dengan baik. Lalu kita evaluasi untuk mengetahui manfaat dari apa yang sudah dilakukan.

Faktor yang menghambat?

I n i masalah klasik. Masih soal kondisi geografis. Kita kesulitan menjangkau a n a k - a n a k d i pedalaman. Ini sangat berpengaruh terhadap pelayanan kami. Faktor penghambat lainnya soal fasilitas pendidikan. Kondisi fasilitas pendidikan di pedalaman Papua begitu memprihatinkan. Bangunan sekolah tidak memadai, rusak di sana-sini. Bayangkan, gurunya juga hanya satu. Buku-buku pelajaran sangat kurang dan masih banyak lainnya lagi.

Dukungan keluarga dari anak-anak di pedalaman?
Dukungan keluarga juga sangat kurang. Keluarga di pedalaman Papua belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Itu sebabnya mereka tidak menyediakan fasilitas yang memungkinkan anak-anak bisa belajar di rumah agar bisa menempuh pendidikan dengan baik.

Bagaimana dengan masalah kesehatan?
Kesehatan juga memprihatinkan. Pola hidup sehat yang menganjurkan makan makanan bergizi belum menjadi perhatian keluarga-keluarga di pedalaman. Mereka sudah punya pola makan s e n d i r i y a n g sulit diubah. Padahal alam Papua begitu subur, menyediakan berbagai sumber bahan makanan. Saya kira ini merupakan tantangan tersendiri. Sekarang tinggal bagaimana kita mampu mengubah pola hidup mereka yang sudah membudaya. Karena budaya terinternalisasi dari generasi ke generasi melalui suatu proses yang lama. Namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan memberikan informasi dan pendidikan secara terus menerus saya yakin akan terjadi perubahan.

Apakah anak Papua masih punya harapan?
Just ru ini yang ingin ki ta buktikan. Sebenarnya anak-anak Papua jika diajar dengan baik tidak akan kalah dengan anak-anak lain di Indonesia. Contohnya, anak-anak yang kita kirim belajar di Yohanes Surya Institute. Mereka memperlihatkan hasil yang positif. Yang perlu diketahui, anak-anak itu direkrut dari daerah sangat terpencil. Orang tua mereka masih kenakan koteka. Tapi lihat hasilnya. Mereka memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan masuk kategori jenius. Bayangkan, dalam 3 bulan mereka sudah mampu menguasai pelajaran SMP yang seharusnya selesai dalam 3 tahun (pendidikan formal). Menurut saya jika sumber daya anak-anak Papua digali dengan metode belajar yang baik hasilnya tidak akan kalah dengan anak-anak lainnya di Indonesia.

Motivasi anak-anak di pedalaman itu seperti apa, ya?
Yang saya lihat motivasinya bagus, anak-anak di pedalaman itu mau maju. Semangat untuk maju begitu luar biasa. Ini merupakan suatu potensi yang baik. Sebetulnya mereka sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Bahkan kadang mereka datang ke kota hanya dengan modal nekat. Di kota mereka survive (berjuang) untuk hidup, membiayai sekolah atau kuliahnya sendiri. Entah sebagai loper koran, tukang sapu jalan, tukang parkir atau pekerjaan sektor informal lainnya. Mereka bertarung di kota tanpa ada dukungan finansial dari keluarga atau orang tuanya. Kenyataan ini bisa kita lihat di kota Jayapura sekarang ini. Banyak dari mereka akhirnya berhasil.

Seperti apa fenomena anak jalanan di mata anda?
Saya kurang setuju kalau mereka disebut ’anak jalanan’. Saya lebih suka menyebut mereka ’anak di jalan’. Anak yang ada di Kota Jayapura, maupun kota lainnya di Papua jika dibandingkan dengan anak-anak yang ada di kota besar lainnya di Indonesia, pola hidupnya sangat berbeda. Mereka ini masih terkait dengan keluarga. Mereka masih punya rumah dan hidupnya tidak semua dihabiskan di jalan. Sementara yang di Jakarta misalnya, hidupnya memang 24 jam di jalan, dan apa saja bisa menimpa mereka seperti pelecehan seksual, terlibat narkoba, minuman keras, mengalami kekerasan, dieksploitasi oleh pihak tertentu dan lain-lain.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka?
Justru sebaliknya. Jika hal ini dibiarkan terus, maka tidak mustahil suatu waktu keadaannya akan sama dengan anak jalanan di Jawa. Ini harus segera ditangani. Harus ada program yang jelas dari pemerintah. Mereka yang usia sekolah harus didekati agar bisa melanjutkan pendidikannya lagi. Bagi mereka yang bukan usia sekolah, mungkin harus diberi keterampilan tertentu agar berdaya dan produktif. Jadi penting untuk dilakukan pembinaan.

Sejak kapan anak ’di jalan’ ini muncul?
Mereka muncul sekitar tahun 90, tapi masih sangat jarang. Tahun 90-an ke bawah bisa dikatakan tidak ada. Maraknya sekitar tahun 2003-2004. Saya tidak mau mengatakan bahwa ini terjadi setelah era Otsus, tetapi memang mulai marak ketika aktivitas ekonomi mulai berjalan. Akses terbuka, euforia pembangunan, terjadi perkembangan kota. Hal ini perlu ditelusuri, mungkin saja anak ini terpinggirkan sehingga turun ke jalan. Ini harus diteliti dengan pendekatan antropologi dan sosiologi.

Yang mendorong mereka ke kota dan turun ke jalan?
Dalam teori migrasi ada dua faktor, yaitu push factor (faktor pendorong) dan pull factor (faktor penarik). Tentu perkembangan kota sangat mempengaruhi peningkatan anak-anak jalanan. Sama halnya dengan Kota Jakarta yang begitu menarik bagi orang-orang dari provinsi lain. Namun ada satu hal yang menjadi masalah bahwa banyak yang datang ke Jayapura namun tidak memiliki keterampilan dan latar belakang pendidikan memadai. Akhirnya, mereka melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu ada juga yang turun ke jalan karena latar belakang persoalan keluarga.

WVI punya program untuk tangani masalah ini?
Untuk Papua saat ini belum, kecuali untuk program pusat memang ada. Tapi kalau mau jujur sebenarnya sudah ada, namun belum spesifik benar. Kami telah memulai kerjasama dengan pihak ILO (International Labour Organization) untuk beberapa program pemantauan pekerja anak agar mereka kembali ke bangku sekolah seperti CLMS (Child Labour Monitoring System). Ke depan kami pasti mulai memikirkan hal ini.

Apa makna dari Peringatan Hari Anak Nasional?
Berkaitan dengan peringatan Hari Anak Nasional, kita seharusnya disadarkan akan adanya hak-hak anak sesuai Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang sudah diratifikasi. Kita harus mengetahui bahwa anak-anak juga mempunyai hak yang harus dilindungi seperti mendapat pendidikan, layanan kesehatan dan lingkungan yang baik. Hal yang diperhatikan menyangkut anak ada 4 aspek yaitu; hak untuk hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk berkembang (pendidikan dan kesehatan) dan hak partisipasi.

Itu berarti pola mendidik anak di lingkungan keluarga juga harus dicermati. Sudah saatnya menghentikan kekerasan terhadap anak. Ruang untuk berpendapat juga mesti disediakan. Seperti hak untuk berpendapat, mengemukakan persoalannya. Karena satu hal yang menjadi kesalahan kita selama ini bahwa kita sebagai orang tua sepertinya sangat paham dan mengetahui persoalan anaknya, tetapi sebetulnya tidak. Padahal permasalahan anak itu harusnya kita tahu dari sumber yang pertama (anak-anak sendiri). Jika ini bisa dilakukan, maka akan sangat membantu dalam pembuatan program yang disesuaikan dengan persoalan anak. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar