Rabu, 27 Januari 2010

Susah....Terselubung....


Data Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua memperlihatkan, jumlah pekerja seks jalanan (PSJ) di Kota Jayapura meningkat setiap tahun. Tahun 2001, jumlahnya mencapai 250 orang, 2005 naik menjadi sekitar 500, dan kini diperkirakan mencapai 1500. Sekitar 70 persen PSJ adalah perempuan Papua. Mengapa hal ini terus terjadi? Bagaimana kaitannya dengan trafficking?
Wartawan Foja, Junaedy Patading mewawancarai Direktur YPKM Drs. Tahi Butar Butar M.Kes di ruang kerjanya, awal Agustus 2009 lalu. Selain memimpin lembaga yang ikut bergerak menangani PSJ, pria asal Pematang Siantar, Medan ini juga aktif sebagai steering committe di Foker LSM saat ini. Berikut petikan wawancaranya.

Apakah saat ini ada data terbaru yang ditangani YPKM saat ini?
Sekarang ini ada beberapa titik PSJ yang kami dampingi yaitu Terminal Jaya, Dok IX, Bufer, Waena, Hamadi sebanyak 29 orang berusia antara 15-36 tahun, lokasi Tangga Seribu sebanyak 30 orang berusia 25-54 orang, dan Kabupaten Jayapura yang beroperasi di Terminal Sentani sebanyak 36 orang berusia 15-35 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Pegunungan. Sampai saat ini, terdapat 39 orang berstatus sebagai ODHA, yang saat ini ditampung di rumah singgah Abepura. Secara keseluruhan di Papua, kami menangani sebanyak 75 PSJ yang terinfeksi HIV-AIDS sejak tahun 2001.

Apa peningkatan ini terkait juga dengan trafficking?
Jelas ada. Memang kami tidak menangangani trafficking secara langsung, tetapi saya melihat, saat ini semakin banyak jaringan mafia perdagangan perempuan. Ini sudah mengindikasikan adanya industri baru dalam dunia seks. Artinya ada hubungan dengan pelacuran. Dengan menjamurnya industri seks, peluang terciptanya jaringan perdagangan perempuan kian besar. Hal ini sangat menguntungkan pebisnis dan sindikat, tetapi merugikan PSK-nya sendiri.

Dari penuturan para PSJ yang diampingi, apa penyebab utama mereka terlibat dalam pelacuran?
Sekarang ini istilah pelacur sudah mesti dihilangkan menjadi PSK, Pekerja Sex Komersial. Pelacur lebih berkonotasi negatif karena dianggap kotor, sampah masyarakat, tidak berguna. Bahkan sekarang ini semua negara di dunia menyebut pelacur sebagai PSK karena mereka juga sebagai manusia. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, baik dari kawan-kawan Uncen dan penelitian berjudul “Kemampuan Negosiasi Pekerja Seks dalam Penggunaan Kondom Mencegah Penularan HIV dan AIDS di Kota Jayapura,” saya menemukan beberapa factor yang mempengaruhi. Terbanyak akibat masalah ekonomi, juga karena psikologi terutama broken home. Kelompok yang terlilit ekonomi lemah umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang sangat rendah. Rata-rata dari SD, SMP dan SMA.

Makin tingginya angka kasus HIV-AIDS di Kota Jayapura erat kaitannya dengan mobilisasi PSK. Pendapat Anda?
Beberapa arus mobilisasi PSK mobilisasi yang pertama adalah mobilisasi antarkota dalam satu provinsi atau antar kabupaten. Dalam satu provinsi, misalnya PSK dari Sorong atau Merauke yang datang ke Kota Jayapura. Yang ke dua adalah mobilisasi antar desa dengan kota yaitu ketika mereka datang sekolah di kota yang kesulitan biaya hidup dan biaya pendidikan, dengan terpaksa menempuh jalan pintas menjadi PSK. Ini mengindikasikan bahwa di kota bukan hanya pekerja seks non Papua tetapi juga pekerja seks Papua. Ada juga trend di mana PSK jalanan datang dari kota ke daerah yang terkait dengan perusahaan, industri, atau perkebunan. Setiap saat mobilisasi mereka cukup tinggi datang dan pergi seminggu sekali bukan hanya untuk para pekerja di perkebunan tetapi mereka juga ke sana, karena ada bookingan. Yang ke tiga adalah tipe mobilisasi antar provinsi.

Mereka yang termasuk dalam mobilisasi ini rata-rata yang saya temukan di bawah umur dari 13 tahun hingga 20 tahun. Kasus lain bahwa mereka didatangkan dengan janji sebuah pekerjaan namun sesampainya di sini, ternyata mereka di pekerjakan di bar, panti, atau lokalisasi.
Yang paling rentan terhadap penularan HIV-AIDS adalah yang termasuk dalam mobilisasi antarkota dan antarprovinsi. Sebab selain tidak terkontrol, yang juga sering terjadi adalah si PSK itu tidak menyadari bahwa sebelum berpindah ke Kota Jayapura, ia sudah terinfeksi HIV-AIDS. Dari beberapa kasus yang kami teliti dengan kawan-kawan LSM bahwa ternyata dulunya dia berprofesi sebagai pekerja seks di kota asalnya. Ada beberapa yang mengaku saat kami interview bahwa dulunya bekerja di Manokwari atau Sorong sebagai PSK.

Langkah penanganan yang telah dilakukan YPKM?
Hingga saat ini kami men¬dampingi sekitar 500 PSK di seluruh Papua, sementara di Kota Jayapura sendiri PSK yang kami tangani berjumlah 250 orang. Sejak 1999 sampai sekarang, YPKM melakukan pendampingan secara intensif. Pendampingan yang dimaksud yaitu pertama mengatasi persoalan kesehatannya karena sebagian besar dari mereka beresiko tertular HIV dan infeksi menular seksual. Jika ini sampai terjadi akan menurunkan produkvitas kerjanya sehingga pendapatannya pun berkurang. Yang lebih beresiko adalah yang di lapangan, karena mereka tidak terkontrol kesehatannya, sehingga kami melakukan sistem jemput bola. Kami mendekati mereka, mengajaknya ke VCT, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Puskesmas setempat untuk mendampingi secara intensif bagi yang terinfeksi.
Selain itu, kami juga mem¬berdayakan skill mereka terhadap pekerjaan-pekerjaan tertentu, sudah ada yang berubah profesinya menjadi tenaga lapangan kita. Mereka ini justru berperan sangat sentral untuk memberikan informasi kepada teman-temannya, menggugah teman-teman untuk memperhatikan kesehatan selama bekerja.

Kesulitan di lapangan yang Anda temui selama melakukan pendampingan?
Paling utama, kebiasaan mabuk dari para PSK. Akibatnya, mereka tidak memakai kondom atau tidak mampu melakukan negoisasi dengan kliennya untuk menggunakan kondom. Kebiasaan mabuk ini juga menyebabkan mereka tidak konsentrasi menerima informasi. Jalan lain yang kami tempuh, kami melakukan pendekatan personal, mengajak mereka rekreasi. Inilah waktu paling tepat untuk menyampaikan informasi.

Selain itu, kami memperbanyak peer educator dari kalangan mereka sendiri dan itu jauh lebih efektif untuk menyampaikan informasi. Kita juga harus memperhatikan karakteristik mereka, mampu membangun kepercayaan mereka terhadap pihak pendamping, tidak menjadikan mereka objek tetapi sebagai partner kerja. Kesulitan lain, kami belum intensif mendampingi PSK jalanan atau PSK yang terselubung misalnya di bar, restoran, panti pijit, kost dan lain-lain. Kendalanya, aktivitas kerja mereka menyebar dan terselubung. Sementara yang di lokalisasi lebih terorganisir, sehingga mudah dikontrol, dibina, secara sosial dan secara kesehatan sehingga bisa mendapatkan pembinaan kesehatan rutin. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar