Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua, yang diamanatkan dalam UU No. 21 Tahun 2001, telah berjalan kurang lebih delapan tahun. Selayaknya di usianya yang semakin dewasa ini sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh orang Papua, namun dalam kenyataannya justru menuai banyak kontroversi, baik dari substansi, penafsiran maupun pelaksanaanya, yang disebabkan karena dinamika yang begitu cepat. Bahkan muncul wacana untuk mengembalikan Otsus.
Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan dalam rangka HUT Majalah Berita Foja yang pertama, bertema ‘Papua 2010’ yang dipandu oleh Direktur Pemberitaan Majalah Berita Foja Agus Ohee, sementara bertidak sebagai panelis Wakil Walikota Jayapura Sudjarwo, BA, yang membeberkan sejumlah masalah yang belum terselesaikan di Kota Jayapura, seperti sanitasi, pasar, jalan dan lalu lintas, dan lain-lain, sementara Kabid. Humas Polda Papua Agus Rianto yang mengungkapkan perlunya pendekatan pelayanan aparat kepolisian, yang lebih maksimal kepada masyarakat, serta kesiapan aparat untuk menghadapi agenda pilkada secara serentak di 22 kabupaten dan 1 kotamadya.
Sebuah wacana klasik untuk merevisi UU Otsus dilemparkan oleh Ketua Democratic Center (DC) Uncen Jayapura Drs. Mohammad Abud Musa’ad, M.Si. “Hal-hal yang mendasar saya kira dari pasal 1 sampai pasal 79 banyak sekali pasal UU Otsus yang tidak sesuai lagi dengan dinamika yang berkembang. Ada yang multi tafsir. Salah satunya adalah penggunaan dana APBD Papua yang digunakan untuk membiayai program pembangunan di Provinsi Papua Barat.
UU itu berjudul UU No. 21 Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Jadi dengan tegas hanya untuk Provinsi Papua bukan untuk provinsi lain. Kenyataannya tidak seperti itu. Pembagian dana Otsus yang 70% untuk Papua, dan 30% untuk Papua Barat, apa dasar hukum pembagian ini. Bahkan anggaran untuk pendidikan digunakan untuk pabrik kursi di sana. Hal ini menunjukkan adanya pengabaian supremasi hukum, etika dan moral serta prinsip akuntabilitas. Mau tidak mau di Papua ini justru hukum yang meyesuaikan dengan dinamika politik, karena situasi yang tidak memungkinkan,” kata Musaad. Hal lain yang dikemukakan oleh Musa’ad adalah kontroversi tentang kedudukan MRP.
Menurutnya hadirnya Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, merupakan kebijakan yang kontraproduktif. Sebab menurutnya, materi muatan dalam Perpu No 1 Tahun 2008 yang selanjutnya ditetapkan menjadi UU No. 35 Tahun 2008, tidak cukup mampu menyelesaikan permasalahan Papua Barat. Perpu tersebut hanya berisi dua hal yakni pertama, hanya menjelaskan bahwa Provinsi Papua yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya sekarang menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat.
Ke dua, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, sehingga muncul sejumlah pertanyaan kritis pertama, bagaimana kedudukan MRP, apakah hanya satu atau ada di setiap provinsi, “Saya berharap pada 2010, ada kajian tentang MRP, karena belum jelas MRP yang ada sekarang ini khusus untuk Provinsi Papua, atau juga untuk Provinsi Papua Barat,” kata Musa’ad.
Ke tiga, bagaimana dengan jumlah kursi DPRD Papua Barat, apakah sama dengan dengan DPR Papua atau tidak?. Ke empat, bagaimana dengan teritorial pemberlakuan Perdasus, apakah hanya di Provinsi Papua saja atau juga melingkupi wilayah Papua Barat. Ke lima, bagaimana dengan pembagian dana Otsus, apakah perlu regulasi khusus untuk menentukan besarnya persentase pembagian antara kedua provinsi? Ke enam, bagaimana dengan kewenangan Gubernur Papua Barat terhadap sejumlah kewenangan pemerintah pusat seperti, politik luar negeri, hankam, moneter-fiskal, yustisia (peradilan) dan agama?.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Bambang Sugiono, SH, M.Hum, selaku pengamat Hukum Tata Negara, menjelaskan jika dicermati dengan menggunakan logika hukum maupun logika umum, yang dikaitkan dengan kondisi akal, kondisi objektif, dan fakta empiris, maka rumusan Pasal 1 huruf a pada Perpu No 1 Tahun 2008, telah membingungkan. Sebab, antara maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan makna batang tubuh saling bertolak belakang. “Ini ibarat orang mau pergi ke suatu tempat, tapi arah yang dituju berlawanan,” ujar Sugiono.
Menurutnya, pada penyusunan Perpu No. 1 Tahun 2008, Presiden bersama anggota DPR RI yang menetapkannya menjadi UU No. 35 Tahun 2008, mungkin saja lupa, sengaja lupa atau tidak cermat dalam memperhatikan kata “Provinsi Papua“ yang dirumuskan secara berulang-ulang pada hampir setiap materi muatan Pasal-pasal dalam batang tubuh UU No. 21 Tahun 2001. Karena itu, merubah secara parsial tanpa memahami karakteristik substansi UU No. 21 Tahun 2001, justru menimbulkan masalah yuridis dan pemerintahan daerah dalam kerangka implementasi Otsus Papua.
Tokoh intelektual Papua Neles Tebay pada tengahan Juli 2009 mengungkapkan hal serupa bahwa telah banyak kebijakan di Papua ditempuh padahal bertentangan dengan UU Otsus. “Misalnya saja adalah pembentukan MRP setelah empat tahun berjalannya Otsus, padahal menurut UU Otsus itu cuma selang enam bulan. Kedua Inpres pemekaran tiga provinsi di Papua tahun 2003, dengan demikian posisi MRP yang ada menjadi rancu, sehingga mereka di sana (Papua Barat -red) menuntut pembentukan MRP. Ketiga Perpu No. 1 tahun 2008, tentang percepatan pembangunan, yang secara cepat disetujui oleh Pemprov padahal secara jelas tumpang tindih dengan UU Otsus,” kata Tebay. Hal inilah yang pernah disebut sebagai sebuah pembohongan publik oleh pemerintah pusat terhadap orang Papua.
“Itu suatu upaya untuk memporak-porandakan Otsus yang sedang berlangsung di tanah Papua,“ ungkap Jhon Ibo, suatu ketika kepada Foja. Menurutnya, secara ilmiah politis dan asas hukum, maka jelas Perpu itu telah salah posisi karena negara ini juga menganut asas hukum internasional, di mana suatu Perpu hanya lahir di atas UU, apabila negara sedang dalam keadaan darurat (state in emergency). Lagipula, kata Ibo, lahirnya Perpu maupun UU tersebut juga dilakukan tanpa melibatkan lembaga-lembaga seperti gubernur, DPRP, MRP, serta sejumlah stakeholder lainnya di Papua maupun Papua Barat. Karena itu, Jhon Ibo menghendaki perlu adanya dialog bersama untuk mengantisipasi persoalan yang akan terjadi di kemudian hari. Sebab lahirnya Perpu ini justru akan memunculkan gejala-gejala politik di Papua oleh kelompok masyarakat tertentu untuk melahirkan provinsi-provinsi baru yang kontradiktif. Menurut Tebay, yang menjadi masalah selain itu persoalan lembaga KKR, dan pengadilan HAM, yang sudah diatur dalam UU Otsus tetapi tidak direalisasikan. “Tapi hal ini terjadi karena pada dasarnya dari awal pemerintah pusat memang tidak serius memberikan Otsus. Hal ini hanya untuk meredam tuntutan merdeka dari masyarakat Papua, yang gaungnya telah sampai ke dunia Internasional,” kata Tebay.
“Hal ini sudah pernah diusulkan namun pihak DPRP menyatakan tidak perlu dilakukan revisi. Cepat atau lambat jika kita tidak bergerak maka Jakarta (pusat) akan melakukan langkah untuk sebuah revisi. Kalau ini sampai terjadi saya khawatir nantinya tidak akan sesuai dengan aspirasi serta tidak mengakomodir kepentingan masyarakat Papua. Perlu diingat bahwa UU Otsus buka kitab suci, yang tidak bisa diubah,” jelas Musa’ad. Menurutnya kita harus berkaca pada pada sesama penyandang Otsus, Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD), kerangka kebijakan yang bisa dijadikan pedoman yang sesuai dengan aturan resmi jelas sangat ketinggalan jauh, karena UU Otsus di Aceh sudah direvisi sesuai perkembangan daerah.
Hal ini diamini oleh Ketua PWI Papua Frans Ohoiwutun. “Jika DPRP tidak mengambil sikap tegas, maka Jakarta akan mengambil kebijakan revisi. Sudah saatnya hal ini segera disikapi dengan cepat,” tegasnya. Praktisi hukum Zainal Sukri turut memberikan komentar mengatakan bahwa berbicara tentang Otsus di Papua, orang lebih banyak berbicara tentang uang. “Ini adalah kesalahan dari awal para pembuat undang undang yang tidak melakukan prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang,” kata Sukri.
Beberapa hal yang ditekankan Musa’ad untuk evaluasi 2010 pada kesempatan itu adalah; pertama, harus ada sebuah keberanian untuk menentukan rekonstruksi tentang Otsus yang saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi dinamika sosial di masyarakat. Ke dua UU itu dibuat hasil kompromi antara Papua-Jakarta mengawali reformasi sehingga masih banyak hal yang dianggap tabu, yang hari ini sebenarnya tidak tabu lagi. Hal ini menjadi pergumulan masyarakat di Papua dan internasional. Kemudian yang ke tiga, banyak pasal-pasal yang pada saat itu seperti pasal karet yang tidak bisa dilaksanakan yang menimbulkan multitafsir dan menimbulkan kontroversi, dan ke empat adalah mempertegas Perdasi dan Perdasus karena banyak uang yang dihambur-hambur untuk membuat perdasi/perdasus yang ada.
Dukungan untuk melakukan revisi UU Otsus datang dari berbagai kalangan. Budi Setyanto dari ICS mengungkapkan bahwa Otsus mengalami keredupan dalam pelaksanaannya. “Dalam aspek normatif, mengalami inkonsistensi, dan terdapat banyak penyalahgunaan kewenangan. Indikatornya adalah pembagian alokasi anggaran yang mencapai 70% untuk Birokrat, dan 30% untuk publik. Budi juga mengungkapkan sejumlah persoalan yang menjadi evaluasi dan harus diselesaikan dengan cepat.
Di antaranya adalah munculnya tuntutan pengembalian Otsus, temuan penyalahgunaan dalam pelaksanaan anggaran yang mencapai tiga trilliun lebih, adanya desakan untuk penegakan hukum yang dinilai lambat, lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus, kebijakan RESPEK yang tidak efektif, alokasi anggaran pembangunan dalam APBD yang timpang, dan wacana untuk rekonstruksi/revisi UU Otsus. Menurutnya akar permasalahan dari hal tersebut di atas adalah ketidak pahaman berbagai elemen termasuk Pemda dan DPR terhadap filosofi dan tujuan Otsus, inkonsistensi pelaksanaan UU Otsus, serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus, karena tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas.
Hal ini juga pernah diakui oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH, saat membawakan materi pada seminar dan lokakarya tentang evaluasi 7 tahun Otonomi Khusus di Tanah Papua yang diselenggarakan Universitas Cenderawasih pada November 2008 lalu mengatakan, Otsus kini menjadi “kacau balau”. Kekacaubalauan itu tak lain karena saat Otsus dilaksanakan hingga kini, sejumlah instrumen penunjang berupa perlunya pembuatan 18 Perdasi dan 11 Perdasus belum ditetapkan seluruhnya.
Kepala Biro Antara Jayapura Peter Tukan sangat menyesalkan implementasi UU Otsus yang belum berjalan sebagaimana mestinya. “Yang sekarang aja belum dilaksanakan, tetapi sudah harus di revisi atau rekonstruksi,”. Menurut Peter rekonstruksi hanya bisa dilakukan jika telah melalui evaluasi dan dinyatakan gagal. “Siapa yang memulainya? Jika hanya satu orang bicara itu sama saja dengan teriak di padang gurun. Untuk itu Rekonstruksi harus segera menjadi sebuah gerakan, dan tugas kita adalah mengingatkan DPR, ” ujarnya.
Selanjutnya ICS dalam press realesenya menyatakan bahwa yang harus memotori hal ini adalah pemerintah daerah, DPRP, MRP dan perguruan tinggi negeri dan swasta dengan melibatkan berbagai stakeholders yang ada di Papua dan anggota DPR serta DPD dari Papua di Jakarta. Dengan demikian syarat mutlak untuk melakukan rekonstruksi UU Otsus harus didukung oleh seluruh elemen yang ada di Papua, tanpa ini maka bisa diprediksi bahwa prose rekonstruksi akan mengundang konflik internal di kalangan masyarakat Papua dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu.
Selanjutnya ICS, bersikap bahwa dilihat dari aspek normative secara umum memang sudah selayaknya dan sudah seharusnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua di rekonstruksi dan/atau direvisi, karena di samping telah adanya perubahan-perubahan terkait dengan pelaksanaan ketentuan hukum dari UU Otsus sebagai akibat adanya pemekaran provinsi atau pemekaran kabupaten/kota di Papua, serta adanya pemilu dan pilkada secara langsung, juga banyaknya ketidak jelasan dari klausul-klausul yang tercantum dalam UU Otsus itu sendiri (tidak rinci dan multi tafsir). Sehingga jika tidak ada rekonstruksi/revisi UU Otsus dalam pelaksanaanya akan selalu tidak jelas, dan cenderung digunakan pemegang kekuasaan atau pelaksana Otsus, untuk kepentingannnya sendiri.
Namun demikian dari aspek politik harus dicermati, dipahami dan disadari bahwa untuk melakukan revisi UU, apalagi rekonstruksi terhadap UU Otsus yang notabene berlaku di Provinsi Papua yang dikategorisir sebagai daerah konflik, maka rekonstruksi akan mengalami/sarat dengan kepentingan politik tingkat tinggi yang dilakukan oleh elit-elit lokal maupun elit-elit nasional, sehingga jika rekonstruksi Otsus dilakukan dengan asal-asalan dan tidak dengan hati-hati dikhawatirkan rekonstruksi bukan menuju pada perubahan yang lebih baik tetapi bisa menjadi lebih buruk daripada yang sudah ada. Untuk itu sebelum adanya upaya rekonstruksi/revisi terhadap UU Otsus diperlukan kesepahaman pemikiran atau satu persepsi baik ditingkat masyarakat (Orang Asli Papua), pemerintah, DPRP/DPRD, MRP dan organisasi keagamaan, organisasi masyarakat sipil dan seluruh elemen yang ada di Papua, jika tidak maka akan menjadi kontraproduktif.
Jadi untuk memperoleh legitamasi yang kuat bagi upaya melakukan rekonstruksi terhadap UU Otsus, sebaiknya dilakukan penelitian secara ilmiah terlebih dahulu terhadap implementasi Otsus selama sembilan tahun yang telah berjalan, dengan demikian hasil penelitian tersebut bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi pelaksanaan rekonstruksi Otsus di Papua. Tanpa adanya peneltian secara ilmiah, gagasan atau upaya melakukan rekonstruksi Otsus akan dianggap mencari popularitas atau hanya upaya mendesakkan kepentingan kelompok tertentu saja.
Ketua PWI Papua Frans Ohoiwutun, menyatakan komitment dukungannya. “Gerakan ini harus segera diangkat melalui media yang ada,” ujarnya. Sementara itu Frits Ramandey dari Komnas HAM Papua mengungkapkan bahwa tahun 2010 adalah sebuah perenungan, dimana perlu dirumuskan kembali kebijakan yang mengikat orang Papua, sehingga ketika hukum ditegakkan maka hak asasi manusia akan dihormati. “Semua kebijakan harus bisa diakses sehingga semua pihak bisa berpartisipasi dalam mengawasi,”.
Beberapa alternatif yang ditawarkan oleh Budi adalah upaya reformasi di institusi Pemda, DPR, MRP, dan penegak hukum agar lebih didorong, memilih pemimpin harus berdasarkan kapasitas, moralitas, kejujuran, bukan dengan dasar primordialisme, instrumen hukum pelaksana Otsus diseriusi, dan perlunya pemikiran komprehensip untuk menjembatani konflik politik antar pemerintah pusat, dan masyarakat Papua.
Pada akhir diskusi Agus Ohee menyimpulkan beberapa hal tekait pandangan dari para panelis maupun pembahas, yang menjadi “PR” di 2010, di antaranya UU Otsus harus segera direvisi, karena tidak sesuai lagi dengan dinamika yang berkembang, perlunya penegakan hukum yang tegas di Papua, dan perlunya transparansi atau keterbukaan dalam pengelolaan negara dan keuangan, penataan kota yang lebih baik, agenda pelaksanaan Pilkada secara serentak di 22 kabupaten dan 1 kotamadya. (R3-R4)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar