Rabu, 27 Januari 2010

Susah....Terselubung....


Data Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua memperlihatkan, jumlah pekerja seks jalanan (PSJ) di Kota Jayapura meningkat setiap tahun. Tahun 2001, jumlahnya mencapai 250 orang, 2005 naik menjadi sekitar 500, dan kini diperkirakan mencapai 1500. Sekitar 70 persen PSJ adalah perempuan Papua. Mengapa hal ini terus terjadi? Bagaimana kaitannya dengan trafficking?
Wartawan Foja, Junaedy Patading mewawancarai Direktur YPKM Drs. Tahi Butar Butar M.Kes di ruang kerjanya, awal Agustus 2009 lalu. Selain memimpin lembaga yang ikut bergerak menangani PSJ, pria asal Pematang Siantar, Medan ini juga aktif sebagai steering committe di Foker LSM saat ini. Berikut petikan wawancaranya.

Apakah saat ini ada data terbaru yang ditangani YPKM saat ini?
Sekarang ini ada beberapa titik PSJ yang kami dampingi yaitu Terminal Jaya, Dok IX, Bufer, Waena, Hamadi sebanyak 29 orang berusia antara 15-36 tahun, lokasi Tangga Seribu sebanyak 30 orang berusia 25-54 orang, dan Kabupaten Jayapura yang beroperasi di Terminal Sentani sebanyak 36 orang berusia 15-35 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Pegunungan. Sampai saat ini, terdapat 39 orang berstatus sebagai ODHA, yang saat ini ditampung di rumah singgah Abepura. Secara keseluruhan di Papua, kami menangani sebanyak 75 PSJ yang terinfeksi HIV-AIDS sejak tahun 2001.

Apa peningkatan ini terkait juga dengan trafficking?
Jelas ada. Memang kami tidak menangangani trafficking secara langsung, tetapi saya melihat, saat ini semakin banyak jaringan mafia perdagangan perempuan. Ini sudah mengindikasikan adanya industri baru dalam dunia seks. Artinya ada hubungan dengan pelacuran. Dengan menjamurnya industri seks, peluang terciptanya jaringan perdagangan perempuan kian besar. Hal ini sangat menguntungkan pebisnis dan sindikat, tetapi merugikan PSK-nya sendiri.

Dari penuturan para PSJ yang diampingi, apa penyebab utama mereka terlibat dalam pelacuran?
Sekarang ini istilah pelacur sudah mesti dihilangkan menjadi PSK, Pekerja Sex Komersial. Pelacur lebih berkonotasi negatif karena dianggap kotor, sampah masyarakat, tidak berguna. Bahkan sekarang ini semua negara di dunia menyebut pelacur sebagai PSK karena mereka juga sebagai manusia. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, baik dari kawan-kawan Uncen dan penelitian berjudul “Kemampuan Negosiasi Pekerja Seks dalam Penggunaan Kondom Mencegah Penularan HIV dan AIDS di Kota Jayapura,” saya menemukan beberapa factor yang mempengaruhi. Terbanyak akibat masalah ekonomi, juga karena psikologi terutama broken home. Kelompok yang terlilit ekonomi lemah umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang sangat rendah. Rata-rata dari SD, SMP dan SMA.

Makin tingginya angka kasus HIV-AIDS di Kota Jayapura erat kaitannya dengan mobilisasi PSK. Pendapat Anda?
Beberapa arus mobilisasi PSK mobilisasi yang pertama adalah mobilisasi antarkota dalam satu provinsi atau antar kabupaten. Dalam satu provinsi, misalnya PSK dari Sorong atau Merauke yang datang ke Kota Jayapura. Yang ke dua adalah mobilisasi antar desa dengan kota yaitu ketika mereka datang sekolah di kota yang kesulitan biaya hidup dan biaya pendidikan, dengan terpaksa menempuh jalan pintas menjadi PSK. Ini mengindikasikan bahwa di kota bukan hanya pekerja seks non Papua tetapi juga pekerja seks Papua. Ada juga trend di mana PSK jalanan datang dari kota ke daerah yang terkait dengan perusahaan, industri, atau perkebunan. Setiap saat mobilisasi mereka cukup tinggi datang dan pergi seminggu sekali bukan hanya untuk para pekerja di perkebunan tetapi mereka juga ke sana, karena ada bookingan. Yang ke tiga adalah tipe mobilisasi antar provinsi.

Mereka yang termasuk dalam mobilisasi ini rata-rata yang saya temukan di bawah umur dari 13 tahun hingga 20 tahun. Kasus lain bahwa mereka didatangkan dengan janji sebuah pekerjaan namun sesampainya di sini, ternyata mereka di pekerjakan di bar, panti, atau lokalisasi.
Yang paling rentan terhadap penularan HIV-AIDS adalah yang termasuk dalam mobilisasi antarkota dan antarprovinsi. Sebab selain tidak terkontrol, yang juga sering terjadi adalah si PSK itu tidak menyadari bahwa sebelum berpindah ke Kota Jayapura, ia sudah terinfeksi HIV-AIDS. Dari beberapa kasus yang kami teliti dengan kawan-kawan LSM bahwa ternyata dulunya dia berprofesi sebagai pekerja seks di kota asalnya. Ada beberapa yang mengaku saat kami interview bahwa dulunya bekerja di Manokwari atau Sorong sebagai PSK.

Langkah penanganan yang telah dilakukan YPKM?
Hingga saat ini kami men¬dampingi sekitar 500 PSK di seluruh Papua, sementara di Kota Jayapura sendiri PSK yang kami tangani berjumlah 250 orang. Sejak 1999 sampai sekarang, YPKM melakukan pendampingan secara intensif. Pendampingan yang dimaksud yaitu pertama mengatasi persoalan kesehatannya karena sebagian besar dari mereka beresiko tertular HIV dan infeksi menular seksual. Jika ini sampai terjadi akan menurunkan produkvitas kerjanya sehingga pendapatannya pun berkurang. Yang lebih beresiko adalah yang di lapangan, karena mereka tidak terkontrol kesehatannya, sehingga kami melakukan sistem jemput bola. Kami mendekati mereka, mengajaknya ke VCT, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Puskesmas setempat untuk mendampingi secara intensif bagi yang terinfeksi.
Selain itu, kami juga mem¬berdayakan skill mereka terhadap pekerjaan-pekerjaan tertentu, sudah ada yang berubah profesinya menjadi tenaga lapangan kita. Mereka ini justru berperan sangat sentral untuk memberikan informasi kepada teman-temannya, menggugah teman-teman untuk memperhatikan kesehatan selama bekerja.

Kesulitan di lapangan yang Anda temui selama melakukan pendampingan?
Paling utama, kebiasaan mabuk dari para PSK. Akibatnya, mereka tidak memakai kondom atau tidak mampu melakukan negoisasi dengan kliennya untuk menggunakan kondom. Kebiasaan mabuk ini juga menyebabkan mereka tidak konsentrasi menerima informasi. Jalan lain yang kami tempuh, kami melakukan pendekatan personal, mengajak mereka rekreasi. Inilah waktu paling tepat untuk menyampaikan informasi.

Selain itu, kami memperbanyak peer educator dari kalangan mereka sendiri dan itu jauh lebih efektif untuk menyampaikan informasi. Kita juga harus memperhatikan karakteristik mereka, mampu membangun kepercayaan mereka terhadap pihak pendamping, tidak menjadikan mereka objek tetapi sebagai partner kerja. Kesulitan lain, kami belum intensif mendampingi PSK jalanan atau PSK yang terselubung misalnya di bar, restoran, panti pijit, kost dan lain-lain. Kendalanya, aktivitas kerja mereka menyebar dan terselubung. Sementara yang di lokalisasi lebih terorganisir, sehingga mudah dikontrol, dibina, secara sosial dan secara kesehatan sehingga bisa mendapatkan pembinaan kesehatan rutin. (*)

Kamis, 21 Januari 2010

Otsus Harus Direvisi

Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua, yang diamanatkan dalam UU No. 21 Tahun 2001, telah berjalan kurang lebih delapan tahun. Selayaknya di usianya yang semakin dewasa ini sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh orang Papua, namun dalam kenyataannya justru menuai banyak kontroversi, baik dari substansi, penafsiran maupun pelaksanaanya, yang disebabkan karena dinamika yang begitu cepat. Bahkan muncul wacana untuk mengembalikan Otsus.

Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan dalam rangka HUT Majalah Berita Foja yang pertama, bertema ‘Papua 2010’ yang dipandu oleh Direktur Pemberitaan Majalah Berita Foja Agus Ohee, sementara bertidak sebagai panelis Wakil Walikota Jayapura Sudjarwo, BA, yang membeberkan sejumlah masalah yang belum terselesaikan di Kota Jayapura, seperti sanitasi, pasar, jalan dan lalu lintas, dan lain-lain, sementara Kabid. Humas Polda Papua Agus Rianto yang mengungkapkan perlunya pendekatan pelayanan aparat kepolisian, yang lebih maksimal kepada masyarakat, serta kesiapan aparat untuk menghadapi agenda pilkada secara serentak di 22 kabupaten dan 1 kotamadya.

Sebuah wacana klasik untuk merevisi UU Otsus dilemparkan oleh Ketua Democratic Center (DC) Uncen Jayapura Drs. Mohammad Abud Musa’ad, M.Si. “Hal-hal yang mendasar saya kira dari pasal 1 sampai pasal 79 banyak sekali pasal UU Otsus yang tidak sesuai lagi dengan dinamika yang berkembang. Ada yang multi tafsir. Salah satunya adalah penggunaan dana APBD Papua yang digunakan untuk membiayai program pembangunan di Provinsi Papua Barat.

UU itu berjudul UU No. 21 Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Jadi dengan tegas hanya untuk Provinsi Papua bukan untuk provinsi lain. Kenyataannya tidak seperti itu. Pembagian dana Otsus yang 70% untuk Papua, dan 30% untuk Papua Barat, apa dasar hukum pembagian ini. Bahkan anggaran untuk pendidikan digunakan untuk pabrik kursi di sana. Hal ini menunjukkan adanya pengabaian supremasi hukum, etika dan moral serta prinsip akuntabilitas. Mau tidak mau di Papua ini justru hukum yang meyesuaikan dengan dinamika politik, karena situasi yang tidak memungkinkan,” kata Musaad. Hal lain yang dikemukakan oleh Musa’ad adalah kontroversi tentang kedudukan MRP.

Menurutnya hadirnya Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, merupakan kebijakan yang kontraproduktif. Sebab menurutnya, materi muatan dalam Perpu No 1 Tahun 2008 yang selanjutnya ditetapkan menjadi UU No. 35 Tahun 2008, tidak cukup mampu menyelesaikan permasalahan Papua Barat. Perpu tersebut hanya berisi dua hal yakni pertama, hanya menjelaskan bahwa Provinsi Papua yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya sekarang menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat.

Ke dua, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, sehingga muncul sejumlah pertanyaan kritis pertama, bagaimana kedudukan MRP, apakah hanya satu atau ada di setiap provinsi, “Saya berharap pada 2010, ada kajian tentang MRP, karena belum jelas MRP yang ada sekarang ini khusus untuk Provinsi Papua, atau juga untuk Provinsi Papua Barat,” kata Musa’ad.

Ke tiga, bagaimana dengan jumlah kursi DPRD Papua Barat, apakah sama dengan dengan DPR Papua atau tidak?. Ke empat, bagaimana dengan teritorial pemberlakuan Perdasus, apakah hanya di Provinsi Papua saja atau juga melingkupi wilayah Papua Barat. Ke lima, bagaimana dengan pembagian dana Otsus, apakah perlu regulasi khusus untuk menentukan besarnya persentase pembagian antara kedua provinsi? Ke enam, bagaimana dengan kewenangan Gubernur Papua Barat terhadap sejumlah kewenangan pemerintah pusat seperti, politik luar negeri, hankam, moneter-fiskal, yustisia (peradilan) dan agama?.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Bambang Sugiono, SH, M.Hum, selaku pengamat Hukum Tata Negara, menjelaskan jika dicermati dengan menggunakan logika hukum maupun logika umum, yang dikaitkan dengan kondisi akal, kondisi objektif, dan fakta empiris, maka rumusan Pasal 1 huruf a pada Perpu No 1 Tahun 2008, telah membingungkan. Sebab, antara maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan makna batang tubuh saling bertolak belakang. “Ini ibarat orang mau pergi ke suatu tempat, tapi arah yang dituju berlawanan,” ujar Sugiono.

Menurutnya, pada penyusunan Perpu No. 1 Tahun 2008, Presiden bersama anggota DPR RI yang menetapkannya menjadi UU No. 35 Tahun 2008, mungkin saja lupa, sengaja lupa atau tidak cermat dalam memperhatikan kata “Provinsi Papua“ yang dirumuskan secara berulang-ulang pada hampir setiap materi muatan Pasal-pasal dalam batang tubuh UU No. 21 Tahun 2001. Karena itu, merubah secara parsial tanpa memahami karakteristik substansi UU No. 21 Tahun 2001, justru menimbulkan masalah yuridis dan pemerintahan daerah dalam kerangka implementasi Otsus Papua.

Tokoh intelektual Papua Neles Tebay pada tengahan Juli 2009 mengungkapkan hal serupa bahwa telah banyak kebijakan di Papua ditempuh padahal bertentangan dengan UU Otsus. “Misalnya saja adalah pembentukan MRP setelah empat tahun berjalannya Otsus, padahal menurut UU Otsus itu cuma selang enam bulan. Kedua Inpres pemekaran tiga provinsi di Papua tahun 2003, dengan demikian posisi MRP yang ada menjadi rancu, sehingga mereka di sana (Papua Barat -red) menuntut pembentukan MRP. Ketiga Perpu No. 1 tahun 2008, tentang percepatan pembangunan, yang secara cepat disetujui oleh Pemprov padahal secara jelas tumpang tindih dengan UU Otsus,” kata Tebay. Hal inilah yang pernah disebut sebagai sebuah pembohongan publik oleh pemerintah pusat terhadap orang Papua.

“Itu suatu upaya untuk memporak-porandakan Otsus yang sedang berlangsung di tanah Papua,“ ungkap Jhon Ibo, suatu ketika kepada Foja. Menurutnya, secara ilmiah politis dan asas hukum, maka jelas Perpu itu telah salah posisi karena negara ini juga menganut asas hukum internasional, di mana suatu Perpu hanya lahir di atas UU, apabila negara sedang dalam keadaan darurat (state in emergency). Lagipula, kata Ibo, lahirnya Perpu maupun UU tersebut juga dilakukan tanpa melibatkan lembaga-lembaga seperti gubernur, DPRP, MRP, serta sejumlah stakeholder lainnya di Papua maupun Papua Barat. Karena itu, Jhon Ibo menghendaki perlu adanya dialog bersama untuk mengantisipasi persoalan yang akan terjadi di kemudian hari. Sebab lahirnya Perpu ini justru akan memunculkan gejala-gejala politik di Papua oleh kelompok masyarakat tertentu untuk melahirkan provinsi-provinsi baru yang kontradiktif. Menurut Tebay, yang menjadi masalah selain itu persoalan lembaga KKR, dan pengadilan HAM, yang sudah diatur dalam UU Otsus tetapi tidak direalisasikan. “Tapi hal ini terjadi karena pada dasarnya dari awal pemerintah pusat memang tidak serius memberikan Otsus. Hal ini hanya untuk meredam tuntutan merdeka dari masyarakat Papua, yang gaungnya telah sampai ke dunia Internasional,” kata Tebay.

“Hal ini sudah pernah diusulkan namun pihak DPRP menyatakan tidak perlu dilakukan revisi. Cepat atau lambat jika kita tidak bergerak maka Jakarta (pusat) akan melakukan langkah untuk sebuah revisi. Kalau ini sampai terjadi saya khawatir nantinya tidak akan sesuai dengan aspirasi serta tidak mengakomodir kepentingan masyarakat Papua. Perlu diingat bahwa UU Otsus buka kitab suci, yang tidak bisa diubah,” jelas Musa’ad. Menurutnya kita harus berkaca pada pada sesama penyandang Otsus, Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD), kerangka kebijakan yang bisa dijadikan pedoman yang sesuai dengan aturan resmi jelas sangat ketinggalan jauh, karena UU Otsus di Aceh sudah direvisi sesuai perkembangan daerah.

Hal ini diamini oleh Ketua PWI Papua Frans Ohoiwutun. “Jika DPRP tidak mengambil sikap tegas, maka Jakarta akan mengambil kebijakan revisi. Sudah saatnya hal ini segera disikapi dengan cepat,” tegasnya. Praktisi hukum Zainal Sukri turut memberikan komentar mengatakan bahwa berbicara tentang Otsus di Papua, orang lebih banyak berbicara tentang uang. “Ini adalah kesalahan dari awal para pembuat undang undang yang tidak melakukan prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang,” kata Sukri.

Beberapa hal yang ditekankan Musa’ad untuk evaluasi 2010 pada kesempatan itu adalah; pertama, harus ada sebuah keberanian untuk menentukan rekonstruksi tentang Otsus yang saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi dinamika sosial di masyarakat. Ke dua UU itu dibuat hasil kompromi antara Papua-Jakarta mengawali reformasi sehingga masih banyak hal yang dianggap tabu, yang hari ini sebenarnya tidak tabu lagi. Hal ini menjadi pergumulan masyarakat di Papua dan internasional. Kemudian yang ke tiga, banyak pasal-pasal yang pada saat itu seperti pasal karet yang tidak bisa dilaksanakan yang menimbulkan multitafsir dan menimbulkan kontroversi, dan ke empat adalah mempertegas Perdasi dan Perdasus karena banyak uang yang dihambur-hambur untuk membuat perdasi/perdasus yang ada.

Dukungan untuk melakukan revisi UU Otsus datang dari berbagai kalangan. Budi Setyanto dari ICS mengungkapkan bahwa Otsus mengalami keredupan dalam pelaksanaannya. “Dalam aspek normatif, mengalami inkonsistensi, dan terdapat banyak penyalahgunaan kewenangan. Indikatornya adalah pembagian alokasi anggaran yang mencapai 70% untuk Birokrat, dan 30% untuk publik. Budi juga mengungkapkan sejumlah persoalan yang menjadi evaluasi dan harus diselesaikan dengan cepat.

Di antaranya adalah munculnya tuntutan pengembalian Otsus, temuan penyalahgunaan dalam pelaksanaan anggaran yang mencapai tiga trilliun lebih, adanya desakan untuk penegakan hukum yang dinilai lambat, lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus, kebijakan RESPEK yang tidak efektif, alokasi anggaran pembangunan dalam APBD yang timpang, dan wacana untuk rekonstruksi/revisi UU Otsus. Menurutnya akar permasalahan dari hal tersebut di atas adalah ketidak pahaman berbagai elemen termasuk Pemda dan DPR terhadap filosofi dan tujuan Otsus, inkonsistensi pelaksanaan UU Otsus, serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus, karena tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas.

Hal ini juga pernah diakui oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH, saat membawakan materi pada seminar dan lokakarya tentang evaluasi 7 tahun Otonomi Khusus di Tanah Papua yang diselenggarakan Universitas Cenderawasih pada November 2008 lalu mengatakan, Otsus kini menjadi “kacau balau”. Kekacaubalauan itu tak lain karena saat Otsus dilaksanakan hingga kini, sejumlah instrumen penunjang berupa perlunya pembuatan 18 Perdasi dan 11 Perdasus belum ditetapkan seluruhnya.

Kepala Biro Antara Jayapura Peter Tukan sangat menyesalkan implementasi UU Otsus yang belum berjalan sebagaimana mestinya. “Yang sekarang aja belum dilaksanakan, tetapi sudah harus di revisi atau rekonstruksi,”. Menurut Peter rekonstruksi hanya bisa dilakukan jika telah melalui evaluasi dan dinyatakan gagal. “Siapa yang memulainya? Jika hanya satu orang bicara itu sama saja dengan teriak di padang gurun. Untuk itu Rekonstruksi harus segera menjadi sebuah gerakan, dan tugas kita adalah mengingatkan DPR, ” ujarnya.

Selanjutnya ICS dalam press realesenya menyatakan bahwa yang harus memotori hal ini adalah pemerintah daerah, DPRP, MRP dan perguruan tinggi negeri dan swasta dengan melibatkan berbagai stakeholders yang ada di Papua dan anggota DPR serta DPD dari Papua di Jakarta. Dengan demikian syarat mutlak untuk melakukan rekonstruksi UU Otsus harus didukung oleh seluruh elemen yang ada di Papua, tanpa ini maka bisa diprediksi bahwa prose rekonstruksi akan mengundang konflik internal di kalangan masyarakat Papua dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu.

Selanjutnya ICS, bersikap bahwa dilihat dari aspek normative secara umum memang sudah selayaknya dan sudah seharusnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua di rekonstruksi dan/atau direvisi, karena di samping telah adanya perubahan-perubahan terkait dengan pelaksanaan ketentuan hukum dari UU Otsus sebagai akibat adanya pemekaran provinsi atau pemekaran kabupaten/kota di Papua, serta adanya pemilu dan pilkada secara langsung, juga banyaknya ketidak jelasan dari klausul-klausul yang tercantum dalam UU Otsus itu sendiri (tidak rinci dan multi tafsir). Sehingga jika tidak ada rekonstruksi/revisi UU Otsus dalam pelaksanaanya akan selalu tidak jelas, dan cenderung digunakan pemegang kekuasaan atau pelaksana Otsus, untuk kepentingannnya sendiri.

Namun demikian dari aspek politik harus dicermati, dipahami dan disadari bahwa untuk melakukan revisi UU, apalagi rekonstruksi terhadap UU Otsus yang notabene berlaku di Provinsi Papua yang dikategorisir sebagai daerah konflik, maka rekonstruksi akan mengalami/sarat dengan kepentingan politik tingkat tinggi yang dilakukan oleh elit-elit lokal maupun elit-elit nasional, sehingga jika rekonstruksi Otsus dilakukan dengan asal-asalan dan tidak dengan hati-hati dikhawatirkan rekonstruksi bukan menuju pada perubahan yang lebih baik tetapi bisa menjadi lebih buruk daripada yang sudah ada. Untuk itu sebelum adanya upaya rekonstruksi/revisi terhadap UU Otsus diperlukan kesepahaman pemikiran atau satu persepsi baik ditingkat masyarakat (Orang Asli Papua), pemerintah, DPRP/DPRD, MRP dan organisasi keagamaan, organisasi masyarakat sipil dan seluruh elemen yang ada di Papua, jika tidak maka akan menjadi kontraproduktif.

Jadi untuk memperoleh legitamasi yang kuat bagi upaya melakukan rekonstruksi terhadap UU Otsus, sebaiknya dilakukan penelitian secara ilmiah terlebih dahulu terhadap implementasi Otsus selama sembilan tahun yang telah berjalan, dengan demikian hasil penelitian tersebut bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi pelaksanaan rekonstruksi Otsus di Papua. Tanpa adanya peneltian secara ilmiah, gagasan atau upaya melakukan rekonstruksi Otsus akan dianggap mencari popularitas atau hanya upaya mendesakkan kepentingan kelompok tertentu saja.

Ketua PWI Papua Frans Ohoiwutun, menyatakan komitment dukungannya. “Gerakan ini harus segera diangkat melalui media yang ada,” ujarnya. Sementara itu Frits Ramandey dari Komnas HAM Papua mengungkapkan bahwa tahun 2010 adalah sebuah perenungan, dimana perlu dirumuskan kembali kebijakan yang mengikat orang Papua, sehingga ketika hukum ditegakkan maka hak asasi manusia akan dihormati. “Semua kebijakan harus bisa diakses sehingga semua pihak bisa berpartisipasi dalam mengawasi,”.

Beberapa alternatif yang ditawarkan oleh Budi adalah upaya reformasi di institusi Pemda, DPR, MRP, dan penegak hukum agar lebih didorong, memilih pemimpin harus berdasarkan kapasitas, moralitas, kejujuran, bukan dengan dasar primordialisme, instrumen hukum pelaksana Otsus diseriusi, dan perlunya pemikiran komprehensip untuk menjembatani konflik politik antar pemerintah pusat, dan masyarakat Papua.

Pada akhir diskusi Agus Ohee menyimpulkan beberapa hal tekait pandangan dari para panelis maupun pembahas, yang menjadi “PR” di 2010, di antaranya UU Otsus harus segera direvisi, karena tidak sesuai lagi dengan dinamika yang berkembang, perlunya penegakan hukum yang tegas di Papua, dan perlunya transparansi atau keterbukaan dalam pengelolaan negara dan keuangan, penataan kota yang lebih baik, agenda pelaksanaan Pilkada secara serentak di 22 kabupaten dan 1 kotamadya. (R3-R4)

Rabu, 20 Januari 2010

Awal Mulus Gabus Sentani


Musim Kompetisi Liga Indonesia 2008/2009, sepertinya menjadi bulan madu bagi klub-klub asal Papua. Tercatat dua tim sepakbola yaitu Persipura dan Persiwa Wamena, memuncaki klasmen akhir Indonesia Super League di akhir kompetisi, yang mendaulat mereka sebagai wakil Indonesia di ajang Liga Champion Asia Maret 2009. Sementara dua tim lainnya yaitu Persiram Raja Ampat dan Persidafon Dafonsoro, menembus Divisi Utama Liga Indonesia. Satu tim lainnya yaitu Perseman Manokwari, sebelumnya telah berada di kasta kedua Liga Indonesia tersebut.

Sebelum kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia dimulai, berbagai persiapan dilakukan oleh tim Persidafon Dafonsonro. Pembenahan tehnik dan skill, dan mental menjadi menu utama coach Freddy Mulli, sebelum masuk pada tahap pematangan kerjasama. Training center pun dilakukan di kota “apel” Malang.

Di Grup II Persidafon akan “dikeroyok” oleh sepuluh tim asal Jawa, plus satu tim asal Kalimantan Timur, yaitu Mitra Kukar. Sadar akan menghadapi tim-tim yang lebih berpengalaman di kancah Liga Indonesia di grup II semisal Persikota Tangerang, Persis Solo, PSIS Semarang, dan Persikab Kabupaten Bandung, dan demi merealisasikan target menembus ISL musim depan, manajemen kemudian merekrut sejumlah pemain yang pernah memperkuat Timnas seperti Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Purwanto, Ellie Aiboy, dan tidak lupa juga bakat alam Papua seperti Patrick Wanggai, dan Okto Maniani, yang disebut sebagai rising star baru, serta sejumlah pemain asing sepperti Carlos Raul asal Argentina, Javier Rocha Sapulveda asal Chili, dan Bruno Casmir asal Kamerun.

Bukan hanya pembenahan tim, stadion Bas Youwe yang menjadi markas tim juga dipermak sehingga mampu menggelar laga sekelas Divisi Utama Liga Indonesia. Melalui dana APBD, fasilitas seperti ruang konfrensi pers, ruang ganti, tribun peralatan menjadi prioritas perbaikan.

Tidak lupa juga rumput yang didatangkan langsung dari Malang, yang merupakan rumput kualitas import. Tidak heran jika stadion berkapasitas 6.000 penonton ini menjelma menjadi salah satu stadion terbaik di wilayah timur. “Semuanya dari dana APBD. Tidak ada bantuan pemprov. Lampu stadion yang kami usulkan pun tidak mendapat tanggapan, demikian pula dari Menteri Pemuda dan Olahraga. Tapi secara umum kami tidak mendapat hambatan yang serius, termasuk soal dana,” kata Wakil Sekretaris Persidafon Dafosoro, Alfius Demena.

Setelah semua usaha dilakukan tentu harapan besar kemudian dibebankan pada tim berjuluk gabus Sentani ini. ”Yang dibutuhkan Persidafon adalah prestasi dan bukan pembinaan lagi untuk itu semua pemain dan pelatih dituntut untuk memberikan kotribusi dan loyalitas yang tinggi terhadap Persidafon karena Persidafon ini bukan hanya milik Pemkab Jayapura tetapi milik seluruh masyarakat Kabupaten Jayapura dan Papua secara umum. Dengan kontribusi yang maksimal itu Persidafon ditergetkan bisa melenggang ke kasta ISL musim depan,” kata sang manejer, Habel Melkias Suwae, di sela acara launcing skuad Persidafon Dafonsoro musim kompetisi 2009/2010 pada Oktober 2009 lalu di Gunung Merah, Sentani.

Kompetisi baru bergulir beberapa partai, namun tanda-tanda bakal terealisasinya harapan publik kenambai umbai untuk menyaksikan tim kesayangannnya berlaga di ISL musim depan bakalan terwujud.

Pada 25 November 2009, Persidafon melakoni debutnya, dengan bertandang ke kandang PPSM Sakti Magelang, yang berakhir dengan skor 0-0. Laga kedua, Persidafon harus melalui partai awaynya melawan mantan penghuni ISL PSIS Semarang, namun dengan semangat juang tinggi, anak-anak Dafonsoro, berhasil meraup satu poin, dengan memaksakan skor imbang 1-1. Dua laga berikutnya menjadi ajang pembantaian klub ini. Tanggal 06 Desember 2009 bermain di stadion Bas Youwe, dengan mendapat dukungan penuh dari suporter fanatiknya Persidafon menggunduli Persis Solo, dengan skor telak 6-0, disusul kemudian dengan mempermak tim asal Kabupaten Bandung Persikab empat hari kemudian, dengan skor 4-2. Tak pelak perolehan poin dari empat laga awal ini medongkrak posisinya ke urutan kedua klasmen sementara grup II. Sebuah kado natal bagi publik sepakbola Jayapura.

Euforia tentu saja menyelimuti para Cyclopmania. Koordinator Suporter Boy Eluay, mengungkapkan kegembiraannya. “Saya optimis dengan hasil yang telah diraih bahwa musim depan Persidafon bakal menembus ISL. Untuk memaksimalkan dukungan, kami akan membentuk yayasan suporter berikut elemen-elemen di beberapa titik, bahkan instansi pemerintah. Kami juga berharap dukungan dari luar Kabupaten Jayapura,” kata Boy. Boy juga berharap agar suporter Persidafon bisa menjadi suporter yang cinta damai, dan menjadi panutan bagi kelompok suporter tim lain di Indonesia. “Tentu saja tim juga harus bermain fair play, sehingga tidak memancing kericuhan,” tambahnya.

Asisten pelatih Erens Pahelerang mengatakan bahwa grup II merupakan grup neraka, karena dihuni, oleh tim-tim yang sudah pengalaman di kancah sepakbola nasional, namun dengan persiapan matang dan melihat hasil yang sudah ada, maka ia yakin timnya mampu membuat kejutan. “Target kami tentu saja lolos ke ISL musim depan. Kualitas pemain yang direkrut sangat baik, yang merupakan pemain senir, yang telah mempunyai jam terbang tinggi. Mereka diharapkan menjadi penyeimbang tim. Mereka pun bisa langsung nyetel, dengan pemain lama. Pemain-pemain muda, juga tidak kalah bagus skillnya, walaupun masih minim pengalaman. Masih butuh pembinaan,”.

Erens juga tak menampik adanya kelemahan, yang masih menghantui anak-anak asuhnya. “Faktor mental seperti cepat puas dengan hasil sementara yang dicapai menjadi salah satu kelemahan kami, namun kami akan benahi secara pelan-pelan,” kata Erens.

Hal senada juga diungkapkan oleh Demena bahwa bergabung di grup II, yang dihuni oleh tim-tim eks ISL, Persidafon akan mendapat lawan-lawan berat. “Tim-tim yang terdegradasi dari ISL, sejatinya menjadi klub-klub kuat di Divisi Utama.
Dengan materi yang ada, dan melihat hasil pada awal kompetisi kami optimis mampu bersaing memperebutkan tiket ke ISL musim depan. Ini tergantung pelatih, bagaimana menyusun komposisi pemain yang tepat, di setiap laga, untuk memberikan hasil terbaik,”. (Tin/Bet/Pat)

Ketika Mutiara Tak Lagi Berkilau


Sebelum memasuki Musim kompetisi 2009/2010 sang juara bertahan Persipura Jayapura, dilanda berbagai masalah di antaranya; kasus walk out pada final Copa Dji Sam Soe di Palembang yang berbuntut pada sanksi yang dijatuhkan pada pengurus maupun denda materil. Selain itu Persipura juga sempat digoyang isu kepindahan pemain asing yang menjadi pilar utama di musim lalu, seperti Ernest Jeremiah dan Alberto Goncalves, akibat regulasi BLI. Dan kini yang paling merisaukan adalah kondisi stadion kebanggaan Mandala, yang terancam tidak bisa menggelar laga Liga Champion Asia, padahal moment ini sudah menjadi kerinduan tersendiri seluruh publik pecinta Persipura. Padahal Persipura telah “mengorbankan” partai kandangnya di ISL dalam rangka renovasi untuk memenuhi syarat dari AFC bagi sebuah stadion untuk menggelar laga internasional selevel LCA.

Perjalanan Persipura di ISL dan LCA 2009/2010 masih sangat jauh, namun berujuk pada analisis dalam sembilan laga awal kompetisi ISL musim 2009/2010, pencapaian poin Persipura masih sangat minim. Tercatat mereka hanya mencatat dua kali kemenangan, empat kali seri, dan selebihnya kalah. Hanya 10 poin. Sebuah angka yang tentu saja tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa piala presiden bakal dipertahankan.

Selain cedera beberapa pemain inti, seperti defender handal, Ricardo Salampessy, dan striker haus gol Boaz Solossa, masalah lain adalah pindahnya home base Persipura ke stadion Andi Mattalatta, Makassar. Di stadion kebanggaan PSM Makassar ini Persipura tidak mampu menunjukkan performa, layaknya ketika bermain di depan ribuan publiknya. "Kami dalam kondisi serba terbatas. Ada beberapa pilar tak bisa diturunkan dan itu cukup berpengaruh. Ini sangat menyulitkan," kilah pelatih Persipura, Jacksen F. Thiago, dalam sebuah konferensi pers di Stadion Andi Mattalatta.

Mantan kapten Persipura (1968-1977), Hengky Heipon mengungkapkan keprihtinannya terhadap kondisi Persipura. Menurutnya Persipura memiliki sejumlah kelemahan, yang digunakan oleh lawan untuk mengobrak-abrik pertahanannya. Hal yang paling nampak adalah fisik dan speed pemain. “Banyak pemain sudah memasuki usia tua sehingga tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan dan tenaga pemain lawan, yang jauh lebih muda.
“Poin maksimal yang seharusnya diraih tidak mampu dipertahankan, karena para pemain belakang tidak melakukan defence yang baik terhadap serangan lawan,”. Menurut Heipon sebenarnya latihan untuk mempertahankan keunggulan itu ada, cuma tidak mampu dijalankan dengan baik oleh pemain. Mereka terlalu membebaskan pemain lawan memasuki daerah pertahanan. Lebih lanjut Heipon menyarankan agar para pemain muda lebih diberi kesempatan, agar menambah jam terbang. “Mereka punya skill bagus cuma masih minim pengalaman. Untuk itu perlu diberi kesempatan lebih banyak, kemudian penampilan mereka dievaluasi dan diberi tahu tentang kekurangannya,”.

Jurnalis olahraga lokal Rocky Bebena, mengungkapkan bahwa seharusnya sejak awal Persipura sudah harus mempersiapkan kerangka tim yang solid untuk menghadapi ISL dan LCA, maupun COPA. “Melihat dari pertandingan awal ISL, tim-tim yang berkompetisi sudah sangat kompetitif, dan rata-rata memiliki strategi dan visi bermain yang baik.
Faktor lain yang menyebabkan kondisi seperti ini menurut Bebena adalah sanksi yang menimpa pilar utama lini tengah Imanual Wanggai, akibat mangkir dari tim nasional Sea Games 2009 Laos. “Pemain ini sudah menjadi motor baru lini tengah bersama Eduard Ivak Dalam, dalam menyuplai bola kepada para striker, namun tidak mungkin dimainkan. Ini sekaligus menjadi pembelajaran bahwa kita punya aturan-aturan oleh lembaga otoritas sepakbola tertinggi di tanah air, yaitu PSSI, yang harus ditaati,”.

Persipura tidak menggunakan Mandala sebagai home basenya juga dianggap sebagai penentu. “Ini sangat berpengaruh baik terhadap permainan tim maupun dari segi pendapatan. “Suporter merupakan pemain kedua belas, yang memberikan dukungan moril. Hal ini semakin diperparah oleh biaya operasional yang membengkak. Bayangkan kalau sekali main harus mengeluarkan biaya 90 juta hingga 100 juta sementara pemasukan cuma sekitar 15 juta hingga 20 juta,”.

Pemilihan Makassar, sendiri dipilih karena posisinya yang strategis, sehingga jika Persipura menjalani partai away-nya, maka jaraknya tidak terlalu jauh. “Tapi sangat disesalkan mengapa tidak menggunakan stadion Pendidikan Wamena atau Sanggeng Manokwari. Kalau Bas Youwe jelas belum memenuhi syarat dari segi fasilitas pendukung, walaupun kualitas rumputnya sudah memadai,”.

Hal ini juga diakui oleh pentolan suporter fanatik Persipura Yan Permenas Mandenas, yang juga anggota DPR Papua 2009/2014, mengungkapkan bahwa Persipura yang harus bermain di luar berpengaruh besar terhadap performance mereka. “Ini dapat dilihat pada beberapa hasil pertandingan di awal ISL, yang menuai hasil seri, bahkan kalah. Hal itu terjadi karena minimnya dukungan suporter, sementara tekanan dari suporter lawan sangat tinggi,” katanya. Anggaran yang sangat terbatas menyebabkan kelompok suporter tidak mampu mendukung tim kebanggaan masyarakat Papua ini secara langsung di Stadion Andi Matalatta, Makassar..

Rekor Baru Persipura
Di balik ketidakkonsistenan tersebut muncul sebuah hal yang cukup menggembirakan para pecintanya. Rekor Persib yang tidak terkalahkan dalam 17 partai ISL di lampaui oleh Persipura, yang tidak terkalahkan dalam 18 pertandingan. Yang istimewa adalah Persipura meraih prestasi tersebut, dengan menghempaskan Persib dengan skor tipis 1-0, lewat gol semata wayang Alberto Goncalves, di Stadion Andi Matalatta pada tanggal 29 November 2009. Walaupun kemudian dihentikan oleh Sriwijaya FC, tiga hari kemudian. Sebelumnya Maung Bandung dan Persipura sama-sama mengantongi rekor durasi tak terkalahkan selama 17 laga di ISL.

Renovasi Mandala Berjalan Lambat
Di LCA persiapan untuk menyelenggarakan event akbar ini terus dilakukan. Kendala soal faktor kelayakan stadion Mandala menemui sejumlah masalah, padahal hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menggelar sebuah pertandingan bertaraf internasional, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Badan Liga Indonesia (BLI), Andi Darussalam Tabussala, pada acara penyerahan trofi juara ISL Juni 2009 lalu. “Stadion Mandala belum memenuhi kriteria sesuai yang ditetapkan oleh AFC,” kata Tabusalla ketika itu. Pemerintah provinsi melalui Dinas PU kemudian bergerak cepat melakukan pembenahan stadion, mulai dari penanaman rumput, tribun, lampu stadion, ruang ganti dan ruang konfrensi pers. Waktu yang tersisa sebelum LCA bergulir dimanfaatkan sebaik-baiknya. Namun dalam kunjungan Direktur BLI Andi Darussalam Tabusalla yang didampingi manajer Komunikasi dan Informasi PT LI, Aswan Karim awal Desember 2009 lalu menilai bahwa stadion Mandala masih memiliki banyak kekurangan yang nantinya akan menjadi acuan tim ad hoc AFC yang akan berkunjung Januari mendatang untuk memindahkan laga LCA ke stadion lain seperti Gelora Bung Karno, Jakarta atau Jaka Baring, Palembang.

Beberapa persoalan yang diragukan tuntas adalah rumput yang kemungkinan besar belum bisa digunakan pada Maret mendatang. Penanamannya yang menggunakan cara one by one memakan waktu yang cukup lama, sekitar 6 bulan. Hal tersebut telah terjadi sebelumnya di stadion Jaka Baring Palembang. Solusi yang ditawarkan pada saat itu adalah panpel harus secepatnya bergerak dan menggunakan rumput sintesis. Selain rumput hal lain yang menjadi masalah adalah tata letak ruang ganti serta press konference.
Hal tersebut sangat disayangkan oleh Yan Mandenas. “Stadion Mandala bukan aset kota atau kabupaten, tetapi aset milik provinsi. Untuk itu ia menghimbau agar mempercepat pembangunan stadion, sehingga Persipura dapat memainkan laga kandang dan dapat disaksikan langsung oleh para masyarakat Papua. Ini adalah moment langka, tidak seperti ISL yang tiap tahun bergulir. Belum tentu tahun depan kita (Persipura-red) bisa ikut,".

Menurutnya pemerintah harus sadar bahwa LCA ini bukan sekedar event olahraga semata, tetapi juga merupakan ajang promosi daerah Papua ke luar, bahkan berpengaruh positif terhadap sektor ekonomi. "Hal ini juga akan memberi contoh bagi daerah lain, sehingga kita harus memperlihatkan keseriusan dalam pembinaan olahraga,".

Jika rumput yang sekarang memang tidak bisa digunakan pada waktunya, maka solusi yang paling baik yaitu adalah menggunakan rumput sintetis. Untuk itu peluang ini memang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. “Lucu aja jika dana Otsus yang jumlahnya trilliunan itu tidak mampu membangun sebuah stadion yang memadai, seperti di luar Papua,” kata Mandenas kesal. Hal yang bisa disimpulkan di sini adalah bagaimana menggunakan aset daerah untuk memajukan prestasi di kancah domestik maupun internasional.

Sayangnya pihak KONI, ketika dikonfirmasi menolak memberikan komentar. “Sana tanya PU. Kami tidak pernah tahu dan tidak dilibatkan dalam renovasi Mandala,” kata salah seorang pengurus hariannya.

Anggota BLI Jayapura Jefry Pattirajawane mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil peninjauan rumput yang ditanam bisa digunakan pada bulan Februari. “Sementara survey dari AFC bulan Januari, jadi kalau mau dipaksakan main di Mandala, maka harus menggunakan rumput sintetis, kalau tidak harus memilih antara GBK atau Jaka Baring, yang telah memenuhi syarat,” katanya. “Sebaiknya pengerjaannya melibatkan banyak kontraktor. Jangan cuma satu. Kalau begini kapan selesainya,” tambah Bebena.

Liga Champion Asia
Boaz Solossa dalam pernyataannya beberapa waktu lalu kepada Foja mengungkapkan rasa optimismenya dalam menghadapi kompetisi LCA. Menurutnya berdasarkan rekaman pertandingan club-club peserta LCA yang lain ia dan teman-temannya menilai jika kualitas calon lawan tidak terlalu baik dibanding Persipura. “Saya, kaka Edu, dan rekan-rekan lain sudah nonton permainan mereka. Saya bilang kalau mereka mainnya seperti itu berarti kita sangat optimis mengalahkan mereka. Kualitas mereka biasa aja. Tidak terlalu istimewa. Ini hanya faktor mental,” kata pemain yang akrab disapa Bochi ini.

Kondisi tim saat ini justru sangat diragukan oleh Mandenas. Menurutnya hal yang harus dilakukan agar Persipura bisa kembali ke bentuk permainannya, maka sudah saatnya Persipura membenahi diri terutama lini depan. “Kehilangan Ernest Jeremiah begitu terasa, sementara ini dari pemain yang ada belum ada pengganti yang sepadan. Pemain muda sebenarnya mempunyai skill yang bagus namun belum punya jam terbang yang cukup serta belum bermental baik dalam menghadapi tekanan baik dari dalam maupun dari luar lapangan (suporter-red). Untuk itu perlu dicari pemain bertipe seperti itu untuk membuka ruang bagi Beto maupun Bochi,” kata Mandenas.

“Persipura yang ada sekarang memiliki kepincangan dari setiap lini. Bahkan ada pemain yang sudah tidak layak lagi bermain. “Satu hal yang paling berpengaruh adalah kehilangan Ernest Jeremiah di Lini depan. Tinus Pae bagus cuma perlu jam terbang lebih banyak. Ini tugas pelatih untuk memikirkan komposisi pemain yang lebih baik. Dengan kondisi tim yang ada sekarang, saya tidak yakin mereka mampu mempertahankan titel juara ISL, jika tidak ada perubahan yang signifikan. Jangankan ISL apalagi bersaing di LCA,” kata Bebena.

Senada dengan Bebena Hengky Heipon menilai hasil pertandingan di ISL, seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi pelatih dan manajemen untuk menghadpi LCA, yang levelnya lebih tinggi. “Kalau di ISL saja tidak mampu bagaimana di LCA nanti,” katanya. Heipon juga sangat berharap Persipura akan bermain di Mandala pda LCA mendatang. “dukungan suporter akan memberi suntikan moril bagi pemain, sehingga secara psikis akan lepas,” ungkapnya. (Junaedy Patading).

Jumat, 08 Januari 2010

Pasar Tradisional Hanya Tinggal Impian




Sejarah pasar
Ketua Komisi B DPR Papua, Paulus Sumino waktu itu mengungkapkan bagaimana orang Papua pedalaman mengenal pasar di Papua. ”Waktu Irian Barat kembali ke pangkuan RI, bapak Uskup Jayapura di undang oleh presiden Soekarno ke Jakarta, ia meminta dibuatkan Pasar oleh pemerintah. Hal ini membuat presiden kaget,”. Menurut Uskup pada saat itu pasar akan digunakan sebagai tempat bertemu untuk melakukan proses jual beli, sehingga terjadi sebuah dinamika.

”Pada waktu pembuatan pasar di Wamena orang belum terbiasa dengan pasar, dan awal tahun 70-an saya mulai mendidik mama-mama. Saya membeli hasil panen mereka, dan misioner dari Swiss mengajari mereka menanam wortel, dam koll. Di asrama misi, Pagi-pagi saya meminta mereka datang membawa hasil pertaniannya kemudian saya timbang dan beli. Masyarakat mulai berkumpul dan mulai tertarik,” ungkap Sumino.

Awalnya mereka merasa aneh terhadap hal tersebut, termasuk menggunakan uang. ”Kami mulai memperkenalkan dan menjual alat-alat pertanian seperti sekop, parang menggantikan peralatan mereka yang terbuat dari kayu. Jadi awalnya yang mengenal pasar adalah mama-mama Wamena, kemudian orang Paniai,” katanya.

Perbedaan orang Papua dengan pedagang pendatang, dimana orang Papua selalu berpindah tempat untuk berdagang, sementara pendatang menganggap tempat atau pasar itu sebagai tempat permanen untuk jualan. Waktu mereka dibuatkan loss untuk jualan, lama kelamaan mereka tergeser oleh para pendatang dan akhirnya keluar. Contohnya tempat yang didirikan di Wutung sekarang digunakan pendatang. Namun ada beberapa orang Papua yang mampu berjualan secara permanen di suatu tempat seperti orang Biak dan Serui.


Walikota Jayapura M.R Kambu M.Si, mengatakan sebelum tahun 80-an, belum ada orang asli Papua yang mau berdagang. Memasuki tahun 80-an hingga 90-an baru mulai mencoba untuk jualan. Hingga sekarang sudah makin banyak orang asli berjualan. ”Jadi orang asli Papua sebenarnya bisa berdagang, tapi itu butuh proses,” katanya.

Kita harus bergerak dari sistim ekonomi yang substansi ke ekonomi pasar atau ekonomi uang. Ekonomi substansi artinya hari ini mencari untuk kebutuhan hari ini. Sementara ekonomi pasar atau ekonomi uang, dimana hari ini pendapatan yang dihasilkan bisa diinvestasikan dan ditabung untuk mengembangkan usaha. Jadi ke depannya sistim ini harus diubah. Proses yang panjang ini akan membawa meraka menjadi pedagang yang tulen. Pembangunan pasar ini yang mengakomodir semua kepentingan tetapi juga memberi ruang dan tempat yang khusus bagi orang Papua.

Untuk mengakomodir kepentingan para pedagang pihak Pemkot sudah membuka pasar Youtefa, selain itu membangun pasar-pasar penyangga. Pasar penyangga adalah pasar kecil misalnya pasar kecil di dok VIII, di Angkasa, Polimak, Waena, dll. Pasar-pasar jenis ini hampir seluruhnya ada di kota Jayapura biasanya dekat dengan pemukiman warga. Dikatakan pasar penyangga karena barang yang dibutuhkan di pasar besar/pasar induk ternyata ada di pasar kecil ini sehingga memudahkan konsumen dari segi penghematan waktu, tenaga dan biaya.

Ada juga pasar-pasar yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat setempat misalnya di Cigombong, Waena, Uncen, dll itu kita tidak tertibkan karena kita memahami bahwa juga berusaha mencari nafkah. ”Seperti pasar di Galael kami tetap ijinkan itu bukan pasar liar, artinya diberi ruang dan kesempatan sambil berusaha. Sekarang kita sedang membangun 2 buah pasar di dok IX,” bebernya kepada Foja.
***
Hingga saat ini mama-mama Papua di Kota Jayapura memang sudah mengalami perubahan signifikan, dalam hal berdagang. Stigma bahwa mereka tidak mampu berdagang lambat laun mulai terkikis. Usaha-usaha pemerintah di atas menjadi salah satu faktor pemicunya. Sayangnya di tengah pesatnya niat kaum perempuan Papua untuk berdagang muncul pula sebuah masalah besar. Pasar Ampera Jayapura yang selama ini menjadi tempat berjualan terpaksa digusur, dengan alasan Tata Ruang Kota, yang semrawut. Sebagian dari mereka kemudian ”hijrah” ke depan supermarket Gelael, sambil menanti pembangunan pasar tradisional, yang telah dijanjikan pemerintah. Namun impian mereka hanya tinggal mimpi. Pasar impian yang dijanjikan tak kunjung dibangun.

Ditemui di tempat mangkalnya di depan kantor Badan Hukum dan HAM provinsi Papua di Abepura, Mama Helena sedang merapikan jualannya berupa sirih dan pinang. “Saya mulai bejualan di sini sejak Januari tahun lalu. Tiap harinya saya membeli sirih dan pinang di pasar Youtefa dengan modal Rp30.000, dan berjualan mulai dari sembilan pagi hingga petang, dengan keuntungan sebesar Rp10.000 perhari, namun kadang kurang dari itu jika jualan saya tidak habis. Pelanggan saya hanya para pegawai di dalam (Kantor Badan Hukum dan HAM provinsi Papua), dan sesekali orang yang lewat,” katanya kepada Foja.

Menurut Mama Helena sebenarnya ia mau berjualan di pasar tapi tidak ada tempat lagi, jadi terpaksa ia mengambil tempat di sini. “Penghasilan saya tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, sementara saya sudah tua dan sudah tidak punya suami yang memberi nafkah. Beruntung anak saya yang sudah bekerja sering kirim uang untuk biaya hidup saya disini,” kata wanita asal Biak ini. Mendengar tentang rencana pemerintah untuk membangun pasar tradisional Mama Helena sangat gembira. “Saya baru mendengar hal itu. Saya juga mau punya tempat sendiri di pasar supaya saya bisa menjual berbagai macam barang selain sirih dan pinang,” kata wanita berumur 62 tahun tersebut.

Lain halnya dengan Mama Letha Wanggai yang ditemui di depan supermarket Gelael Kota Jayapura mengungkapkan keluhannya kepada Foja. “Dulu saya jualan di kawasan ruko, Jayapura bersama teman-teman tetapi setelah kontrak pemerintah habis, terpaksa kami dipindahkan ke sini tahun 2004, jadi kami telah lima tahun berada di sini,” katanya. Menurutnya pendapatan yang diperolehnya di tempat ini tidak sebesar waktu ia masih jualan di ruko. “Di sana (ruko-red), saya masih bisa memperoleh keuntungan Rp200.000 perhari tapi setelah pindah ke tempat ini kami hanya bisa memperoleh keuntungan sebesar Rp100.000, bahkan kalau lagi sepi keuntungan saya hanya sebesar Rp50.000 sehari, sementara setiap harinya modal yang mesti dikeluarkan Rp300.000, hingga Rp400.000, untuk membeli ikan, sirih dan pinang,”ungkapnya.

Maklum saja Letha dan teman-temannya baru bisa berjualan setelah matahari mulai terbenam, antara pukul 16.00 hingga 09.30 malam. Soalnya tempat mereka berjualan hanya beralaskan aspal yang tentu saja panas pada siang hari, karena tanpa pelindung atap. Belum lagi kalau hujan mereka harus merelakan sebagian ”jatah” waktu berjualannya kalau tidak mau kebasahan. Ia mengaku sangat sulit untuk terus bertahan dalam keadaan sekarang.

“Dengan penghasilan yang kecil seperti ini kami cukup kesulitan untuk membiayai hidup, apalagi saya harus berjuang sendiri menghidupi keluarga,” katanya. Seperti yang diungkapkan kepada Foja, dari hasil keringatnya tersebut ia berhasil menyekolahkan dua orang anaknya hingga perguruan tinggi, sementara satu orang lainnya terpaksa putus sekolah karena keterbatasan biaya. “Saya harap pemerintah mau memperhatikan nasib kami. Saya memimpikan sebuah pasar bagi mama-mama Papua di jantung kota Jayapura,” harapnya.

Menurut Letha, ia dan teman-temannya sudah sering melakukan aksi demo ke DPRP, menuntut pembangunan pasar tradisional bagi mama-mama Papua, namun belum ada keputusan. Pemerintah hanya menjanjikan akan merealisasikannya setelah pemilu 2009. ”Mereka tipu. Buktinya tahun 2009 sudah mau berakhir tapi belum ada kejelasan,”.
***

Wakil Ketua DPR Papua waktu itu Paskalis Kossay mengungkapkan keberangannya. “Saya tidak mengerti alasan mengapa anggaran pembangunan pasar itu tidak diterima dan ditolak masuk dalam anggaran 2009. Tapi yang penting bahwa sudah ada perjuangan dari pihak DPRP, baik komisi maupun fraksi, sudah mengusulkan, bahkan sudah disetujui oleh gubernur dalam sidang perubahan anggaran (ABT). Saya mendengar beberapa waktu di media massa, Ahmad Hattari (Kepala Biro Keungan Prov. Papua) mengatakan bahwa ‘itu adalah wilayahnya kota Jayapura, sehingga walikota harus menyurati gubernur untuk meminta dana. Kita akan tanyakan mengapa Gubernur tidak menyediakan dana untuk pembangunan pasar,” kata Paskalis
Ia mengaku pihaknya sudah melakukan survey lokasi berkoordinasi dengan walikota, dan sudah disepakati bahwa tahun ini pasar akan mulai dikerjakan. ”Tapi pihak eksekutif sungguh-sungguh melanggar, karena namanya kesepakatan jadi harus dilaksanakan, apalagi sudah ditetapkan dalam APBD. Tim Pansus akan tetap bekerja walaupun tidak ada dana. “Saya sudah memerintahkan ada uang atau tidak ada uang tim pansus harus tetap bekerja, dan kami akan mengundang instansi terkait untuk membahas bersama masalah tersebut”.

Soal membangun Papua dari segi kultur
Paskalis mengatakan bahwa Otsus untuk orang Papua dan amanat dari otsus adalah pemerintah harus memperhatikan nasib orang, termasuk tuntutan mama-mama Papua ini. ”Kenyataan bahwa kita sendiri (Pemerintah, anggota DPRD, DPRP) sebagai orang Papua tidak mau memperhatikan orang kita sendiri. Mama-mama itu harus diperhatikan dan pembinaan agar mereka bisa survive,” tandasnya.

Terkait penggusuran dan penertiban pedagang mama-mama Papua dari pasar Ampera, Sumino mengatakan bahwa inimemang menjadi dilema. ”Andaikata pemerintah membiarkan mereka tetap berjualan di tempat itu ada kemungkinan mereka akan betah, karena laris, namun jika dipandang dari segi tata ruang kota hal ini menjadi tidak layak. Maka sekarang yang dipikirkan adalah bagaimana mencarikan tempat yang layak bagi mereka,”. Menurutnya jika terpaksa digusur seperti sekarang ini maka yang harus diperhatikan adalah orientasi pada segi pendapatan. ”Tempatnya tidak usah terlalu bagus, tetapi bisa menghasilkan pendapatan yang cukup bagi mereka, seperti di terminal Entrop,” kata Sumino.

Menurutnya ini adalah tanggung jawab Walikota, tapi karena tidak punya dana, maka harus ada bantuan dari provinsi ke kota. Sama seperti ketika pasar Hamadi terbakar maka komisi B melakukan tindakan membantu pemerintah kota. Ini adalah mekanisme anggaran yang keliru di eksekutif. Ketika eksekutif melakukan rasionalisasi anggaran tanpa sepengetahuan dan persetujuan DPR, termasuk pendidikan gratis, dan kesehatan gratis. Dalam hal ini walikota mempunyai tugas menentukan lokasi, gubernur menyiapkan anggaran, namun anggaran ini yang tidak masuk ke dalam APBD dan belum diterima oleh DPR.

Wakil ketua Komisi F, yang juga anggota tim pansus pasar tradisional Ismail Rahakbaw, mengatakan hal ini cukup menjadi polemik karena terkait dengan banyak hal seperti lokasi pembangunan yang belum pasti, dan anggaran, karena tuntutan mama-mama Papua tersebut belum dianggarkan. Hal ini akan dibahas dalam ABT (Anggaran Belanja Tambahan). Menurut Ismail tim Pansus telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) untuk menangani masalah tersebut. “Pansus telah membentuk tiga kelompok kerja yaitu Pokja Anggaran, Pokja Lokasi, dan Pokja Desain,” ungkap Ismail.

Ismail mengatakan yang aktif saat ini adalah pokja Lokasi. “Kami telah mengusulkan kepada Sekwilda dan Walikota bahwa sebelum rapat ABT, penentuan lokasi pasar sudah mendapat kepastian. Rencananya pasar tradisional tersebut akan dibangun minimal empat lantai, dengan fasilitas antara lain ruang pertemuan, tempat bermain anak-anak, koperasi perkreditan untuk para pedagang, dan tangga escalator untuk kemudahan. Walikota sendiri menginginkan pasar yang lebih megah lagi dengan merencanakan pasar delapan lantai. “Dengan demikian nantinya pasar ini akan disebut Pasar traditional Modern,” ujar Ismail.

Sementara itu Ketua Komisi F DPRP Papua, Pdt. Yosia Tebay, STh. MA, mengatakan hal ini sebenarnya telah berlangsung lama. “Setelah rapat dengar pendapat di Keuskupan Jayapura beberapa waktu lalu dengan mama-mama Papua, mereka menuntut untuk percepatan pembangunan pasar tersebut. Ini menyangkut hak dasar orang Papua. Mereka sering bertanya kami ini orang Papua tetapi diusir dari tanah sendiri, jadi kami mau dikemanakan?.

Mereka bahkan lebih semangat lagi melakukan tuntutannya setelah mereka terusir dari pasar Ampera,” ungkap Yosia. Menurutnya hingga saat ini lokasi yang telah disurvei oleh tim Pansus Pasar tradisional sebanyak tiga tempat, yaitu Pelni lama, Pasar Ampera lama, dan bekas gedang Irian Bhakti di jalan Ahmad Yani Jayapura.

Namun Yosia mengakui hal ini sulit untuk direalisasikan dalam waktu dekat karena lokasi dan anggaran yang belum ditetapkan. “Di antara ketiga tempat yang disurvei tersebut yang paling berpeluang dan dianggap paling strategis adalah gedung Irian Bhakti, yang juga telah mendapat persetujuan dari Walikota, namuan akan diputuskan dalam rapat pansus pertengahan Juni ini,” kata Yosia, yang diamini Ismail.

Sementara itu Walikota Jayapura MR. Kambu hampir semua warga kota ini mempunyai tuntutan, seperti sekolah khusus, rumah sakit khusus, dan pasar khusus. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menyediakan utilitas tuntutan kebutuhan masyarakat yang ada dikota. Kita harus menyediakan sekolah dari tingkat SD sampai dengan SMA sesuai kewenangannya dipercayakan ke Pemerintah Kabupaten Kota, begitu juga dengan pelayanan kesehatan. Yang merupakan kewenangan adalah jika rumah sakit dikelola oleh provinsi. Kewenangan yang dipercayakan untuk kota ini adalah untuk menangani tingkat puskesmas dan pustu. Dengan demikian di pojok-pojok dibangun sekolah dan menyebar.

”Bicara soal pasar yang kita upayakan adalah semua warga masyarakat kota ini turut memanfaatkan, menggunakan, dan berakses lewat pasar. Sejak saya menjabat sebagai walikota tahun 2000 lalu kita terus berusaha untuk membangun pasar. Salah satu pasar yang dibangun adalah pasar Youtefa Kotaraja. Pasar ini dibangun dengan 8 los dan ratusan kios. Kemudian dibagi-bagi untuk warga Papua dan non papua merata untuk semua orang. Sementara dari delapan los saya mengambil kebijakan tiga los khusus untuk mama-mama Papua, lima lainnya terbuka untuk umum siapa saja boleh.

Tetapi dalam perjalanannya ternyata mama-mama Papua tidak betah berjualan di dalam karena mereka bukan pedagang tapi mereka hanya sebagai penjual karena selain sebagai penjual mereka juga sebagai pekebun, pemetik, dan pengangkut. Sementara pedagang sesungguhnya adalah dengan tekun akan menjaga dan menunggu barangnya terjual,”ungkap Kambu.

“Mengenai tuntutan mama-mama beberapa waktu lalu yang menginginkan pasar di tengah kota, sementara ini kita (pemkot) tidak memiliki asset tanah di tengah kota. Jadi tuntutan lokasi pasar di tengah berarti kita harus melakukan pelepasan tanah. Yang kedua adalah dana pemerintah kota yang terbatas, dan yang ketiga adalah permasalahan tata ruang kota. Langkah yang ditempuh sekarang ini adalah membangun koordinasi dengan pemerintah provinsi. Kami sudah melakukan persuratan, dan proposal ke gubernur, karena yang punya aset di tengah kota hanya pemerintah provinsi, seperti gudang Irian Bhakti di jalan Percetakan. Selain itu yang mempunyai dana dan kewenangan, hanya Pemprov.

Menurut Kambu sesuai dengan standar bangunan untuk jalan Percetakan harus minimal empat lantai. “Jadi jika gudang Irian Bhakti tersebut dibongkar untuk dijadikan pasar, maka bangunannya harus minimal empat lantai, bahkan saya ingin bangunannya hingga delapan lantai, untuk parkiran akan di rencanakan bawah tanah sementara lantai satu untuk tempat jualan mama-mama Papua, sementara lantai atasnya untuk kepentingan bisnis yang lain,” ungkapnya. Menurutnya jika hal ini bisa direalisasikan berarti akan menjawab semua persoalan.

Anggota Komisi B DPR Papua Benyamin Patondok waktu itu mengatakan bahwa dengan menjamurnya pasar modern, seperti mall, akan mematikan ekonomi lemah, oleh karena itu dibutuhkan niat tulus, dari setiap stakeholder untuk melihat secara jeli nasib dari mama-mama Papua ini.

“Pasar merupakan penggerak ekonomi bagi masyarakat lapisan paling bawah, sehingga perlua ada kebijkan khusus atau regulasi bagi masyarakat, sesuai dengan kemapanan, dan keterbatasan mereka. Caranya adalah support dari pemerintah baik dari segi modal, pelatihan, maupun sarana sehingga mereka mampu bersaing. Jadi dalam hal ini kita tidak perlu terkendala soal jumlah anggaran yang mesti disiapkan, tetapi yang perlu diutamakan adalah dampaknya bisa menyentuh kalangan ekonomi lemah, agar mereka tidak termarginalisasi terutama mama-mama Papua dan sebenarnya dana untuk membangun pasar tersebut ada,” jelasnya. (Junaedy Patading)