Sabtu, 31 Juli 2010

FOJA Edisi 26 / VI / 2010


Korupsi Merajalela
di Tanah Papua

Indonesia negara terkorup nomor satu di Asia Pasifik. Perilaku korupsi merata di seantero negeri. Konon, sepak terjang koruptor justru semakin mengganas di daerah-daerah. Tak kecuali di Tanah Papua tercinta. Para pejabat seolah berlomba melakukan korupsi. Berkas kasus mereka kini menumpuk di BPKP, Polda, Kejaksaan Tinggi Papua, bahkan KPK. Milyaran hingga triliunan rupiah uang rakyat dirampok. Dikuras habis-habisan. Koruptor dan keluarganya menjadi kaya raya, sementara rakyat Papua kian miris dan terlunta-lunta. Mengerikan!!

Berkas kasus yang ditangani pihak Kejati Papua. Kata Aspidsus Kejati Papua, Muhammad Yusuf, SH, Kejati menangani 42 perkara
Papua, negeri kaya raya. Mata seantero dunia tertuju. Emas, perak, tembaga, minyak, gas alam, dll tersimpan dalam perut buminya. Hutan belantaranya menjadi emas hijau. Kayu-kayuan berlimpah. Belum lagi panorama alamnya bagai lukisan kanvas. Adat budaya, tarian, ukiran, koteka, anyaman, kanguru, burung cendrawasih, kain tenun ikatnya seperti kelap kelip pijaran permata mirah delima. Namun ironisnya mayoritas masyarakat Papua sampai saat ini masih hidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.

Konon, karena miskin para pejabat di Tanah Papua nekat menjadi koruptor. Pasalnya korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan. Sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi. Namun tidak sedikit pula yang berpandangan korupsilah yang menyebabkan rakyat di Tanah Papua menjadi miskin.

Data yang dihimpun FOJA memperlihatkan realita mengerikan. Korupsi di Tanah Papua semakin mengganas dan membabi buta. Menyebar secara masif, bagai gurita beracun mencengkram Tanah Papua. Saat ini tidak kurang dari 42 kasus dalam penanganan BPKP. Tujuh (7) kasus lain ditangani Polda, kini memasuki tahap dua. Sementara Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua antara Januari sampai Juni 2010 terdapat 42 kasus, 35 di antaranya dalam proses penyelidikan, 7 lainnya disidik.

Yang menjadi janggal dalam kasus korupsi di Papua menyangkut nilai kerugiannya. Korupsi yang melibatkan sekian banyak pejabat ini nilai kerugian tertinggi hanya sekitar Rp 21 M. Yang lain nilai kerugiannya berada di bawah angka tersebut. Bahkan secara keseluruhan total kerugian negara untuk semua kasus yang saat ini ditangani Polda dan Kejati Papua justru kurang dari Rp 50 M. Angka ini kontroversi, mengundang cibiran. Berbagai kalangan yakin nilai kerugian negara akibat korupsi di Tanah Papua seharusnya mencapai angka yang jauh lebih besar. Karena total anggaran pembangunan Papua mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.

Karena bila yang dikorupsi hanya sebesar Rp 50 M seharusnya sejak lama rakyat Papua sudah mencapai sejahtera. Tapi faktanya hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih hidup dalam kemelaratan. Lantas dana-dana itu menguap kemana? Entahlah. Yang pasti gurita korupsi di Tanah Papua sudah semakin bertambah parah. Orang tidak lagi takut melakukan korupsi. Hukum dan peraturan tak digubris. Bahkan disinyalir penyimpangan keuangan daerah justru berasal dari mata anggaran yang dalam pembahasan sudah tidak disetujui. Namun dengan berbagai cara tetap dipaksa untuk diproses, tanpa melalui pembahasan di DPR Papua.

“Contohnya, pada tahun 2007- 2008 dikeluarkan dana Rp 10 M untuk operasional TVP. Namun pada tahun 2009-2010 dana yang dikucurkan menjadi lebih besar melalui Bikda. Bila tidak ada Perda seharusnya tidak bisa, tetapi diakali sedemikian rupa melalui Bikda sehingga total dana yang dikucurkan mencapai lebih dari Rp 20 M,” kata Paulus Sumino, Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Papua.

Demikian pula dengan kasus Ketua DPR Papua JI. Menurut Sumino, orang nomor satu di tubuh DPRP ini diduga telah menilep dana rakyat sebesar Rp 5,2 M. JI disinyalir selama tahun anggaran 2006 telah meraup dana belanja bantuan keuangan kepada instansi vertikal senilai Rp 2,6 M dan bantuan keuangan untuk rumah tangga senilai Rp 2,6 M. Kejati Papua telah ditetapkan JI sebagai tersangka.

Pejabat lain yang terseret dalam pusaran kasus korupsi, demikian Sumino, adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Papua ABB dan mantan Kepala Biro Keuangan Setda Papua, PO. Keduanya telah disidik pihak berwajib, berkas perkaranya sudah siap dilimpahkan ke Pengadilan. Total dana yang diselewengkan mencapai sekitar Rp 9 M. Khabarnya, uang haram ini dibagi kepada dua Institusi Pemerintah bergengsi sebagai dana dekonsentrasi. Ditengarai, dalam kasus ini Ketua Komisi A DPR Papua YK ikut terlibat. Sementara AH disangkakan terlibat dalam kasus proyek pembangunan jalan fiktif di Sorong Selatan yang menghamburkan uang negara sebesar Rp 1,2 M.

Meningkat
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Palty Simanjuntak, SH, mengaku kasus korupsi di Tanah Papua mengalami trend peningkatan. Saat ini sudah ada 35 orang yang dijadikan tersangka setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Realita ini dibenarkan Wakajati Hardjono Tjatjo, SH. Yang menarik bahwa kasus-kasus ini tidak seluruhnya merupakan temuan BPKP dan Kepolisian. Sejumlah kasus justru ditindaklanjuti dari laporan masyarakat. Rakyat Papua tampaknya sudah sangat muak melihat perilaku pejabat korup yang seenaknya mencuri uang negara. Mereka inilah yang telah menyengsarakan rakyat Papua selama puluhan tahun. Mereka diduga menggiring rakyat Papua masuk dalam konflik politik untuk anti NKRI guna menutupi borok kotor sepak terjang mereka sebagai koruptor.

Padahal dalam era Otonomi Khusus (Otsus) sekarang ini Pemerintah Pusat mengucurkan dana triliunan rupiah demi mensejahterakan segenap rakyat Papua. Tapi lihatlah apa yang terjadi sepanjang sembilan tahun Otsus. Kucuran dana berlimpah dikorupsi para pejabat jahat. Korupsi dilakukan secara merata, pelakunya merasuk dan tersebar di berbagai lapisan. Mulai dari oknum pejabat Pemda, pimpinan proyek, entitas swasta, anggota DPRP, DPRD, pengurus partai politik, kepala distrik, kepala desa, bahkan hingga kepala sekolah dan guru dalam pengelolaan dana BOS. Kronis.

Di level kepala daerah lebih mengerikan. Sejumlah bupati telah ditetapkan sebagai tersangka. Bupati Serui, Waropen, Boven Digul dan Supiori bikin bulu kuduk kita merinding. Bukan tak mungkin akan menyusul nama bupati atau wakil bupati atau ketua DPRD dari kabupaten lainnya.

Korupsi yang menjalar ke seluruh lapisan peyelenggaraan pemerintahan patut diduga akibat buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Karena itu memberantas korupsi sesungguhnya bukan tujuan akhir. Korupsi harus diberantas untuk mencapai tujuan lebih luas yakni suatu tata kelolah pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien. Tapi yang terjadi di Papua sangat berbeda. Korupsi semakin merajalela akibat lemahnya tindakan hukum. Padahal ketegasan hukum terhadap koruptor sangat penting. Maksudnya agar pejabat lainnya tidak melakukan hal serupa. Sebab saat ini ada kecenderungan semua orang berjuang menggunakan segala macam cara untuk menjadi pejabat publik agar bisa korupsi.

Korupsi terbukti merupakan jalan termudah untuk memperkaya diri.
Dampak dari merajalelanya korupsi di Tanah Papua sangat fatal. Data statistik memperlihatkan jumlah keluarga miskin di Tanah Papua sampai saat ini masih sangat tinggi, mencapai sekitar ........%. Jumlah anak-anak buta huruf dan putus sekolah juga tinggi. Busung lapar dan kasus gizi buruk masih menimpa sebagian balita di Tanah Papua. Sebaliknya para pejabat korup dan keluarganya hidup dalam kemewahan dan tak pernah tersentuh hukum. Ironis.

Kendala Internal
Kendati berada dalam sorotan publik namun Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua, Muhammad Jusuf, SH, MH berkilah pihaknya telah bersikap tegas menuntut hukuman berat kepada semua pelaku korupsi. Namun secara internal ia mengaku institusinya masih memiliki sejumlah kendala yang menghambat proses penanganan kasus korupsi di Tanah Papua.

”Saya harus berterus terang bahwa jumlah penyidik untuk penanganan perkara Pidana Umum (Pidum) masih kurang. Biasanya perkara Pidum ditangani Jaksa antara 1 hingga 6 bulan. Sedangkan untuk Pidana Khusus (Pidsus) hanya 4 orang. Padahal kasus Pidsus sangat banyak dan tersebar sampai ke daerah-daerah. Ini yang menyulitkan kami,” kata Jusuf.

Kendala lain, demikian Jusuf, menyangkut angaran operasional di Kejaksaan yang terbilang terbatas. Padahal untuk memproses suatu perkara mereka harus mendatangi sejumlah daerah seperti Sorong, Biak, Wamena, Supiori, dll yang membutuhkan biaya tidak kecil.
”Kami berbeda dengan daerah lain. Kami menangani kasus korupsi di dua propinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Wilayah kerja kami meliputi 39 kabupaten/kota (Papua 28 kabupaten 1 kota dan Papua Barat 9 kabupaten 1 kota). Dengan dana operasional serba terbatas sebisanya kami menjalankan tugas dengan baik,” ujar Jusuf.
Muhammad Yusuf, SH, MH lebih jauh mengungkapkan bahwa sampai saat ini jumlah Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Tanah Papua hanya 10 buah, tersebar di 10 kabupaten induk. Ini yang menyebabkan ketika para saksi dan tersangka dipanggil terkait suatu kasus sering beralasan soal biaya transportasi, sakit, dll. Semua ini menghambat proses penyelidikan maupun penyidikan. Apalagi bila saksi atau tersangka berdomisili di kabupaten-kabupaten pemekaran akan sangat sulit terjangkau transportasi yang ada.
“Inilah faktor yang menghambat penanganan berbagai kasus korupsi di Tanah Papua,” kata Yusuf.

Faktor penghambat lainnya menyangkut pemeriksaan terhadap para pejabat seperti gubernur, bupati/ wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dan anggota DPRDP dan DPRD yang terindikasi kasus korupsi. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, untuk memeriksa pejabat tersebut harus ada surat ijin dari Presiden. Kendala inilah yang membuat berbagai kasus korupsi di Papua proses hukumnya masih terkatung-katung.
Berdasarkan data tahun 2008 Kejati Papua menangani 56 kasus. Perkara yang sudah dirampungkan sebanyak 11 kasus. Tahun 2009 ada 8 kasus diproses hingga tuntas. Sementara untuk periode Januari sampai Juni 2010 terdapat 42 kasus, 9 kasus sudah sampai tahapan penyidikan, 4 kasus diantaranya telah dilimpahkan ke pengadilan.
”Kendala memang banyak, namun kami sudah berkomitmen untuk menuntaskan setiap kasus korupsi di Tanah Papua. Saat ini memang baru 9 kasus yang diproses. Kita akan terus kembangkan untuk menjerat sejumlah pelaku korupsi lainnya,” kata Yusuf.

Di balik nada optimis petinggi Kejati Papua ternyata dorongan dari Kejaksaan Agung terasa begitu kencang. Konon Kejagung memasang target penyelesaian kasus korupsi sebagai upaya mendorong kinerja jajarannya di daerah. Untuk Kejati Papua, Kejagung menetapkan target menyelesaikan 5 kasus korupsi sepanjang tahun 2010. Sementara untuk masing-masing Kejari di Tanah Papua ditargetkan 4 kasus. Hal ini sesuai Inpres No: 001 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pembangunan Bidang Hukum.

“Kami pasti bisa memenuhi target tersebut. Semua kasus korupsi akan kita buka kepada masyarakat. Tidak akan ada yang ditutup-tutupi,” ucap Yusuf.
Sementara soal modus korupsi di Papua menurutnya sangat beragam. Yang paling menonjol adalah mark-up biaya pembangunan, mark-up harga pengadaan barang, juga proyek fiktif. Sedangkan untuk perhitungan kerugian negara biasanya dilakukan BPKP dan BPK. Kecuali jika perhitungan itu tidak rumit, Kejaksaan bisa menghi tungnya sendi r i . Sedangkan menyangkut kebiasaan pejabat di Papua mengeluarkan dana untuk masyarakat diambil dari pos-pos anggaran yang tidak sesuai,Yusuf mengatakan untuk mengeluarkan anggaran tidak bisa sembarangan karena ada aturannya. Pada simpul inilah tata kelolah pemerintahan yang baik harus menjadi cita-cita. Reformasi birokrasi harus mampu menjawab tuntutan ini. Dengan demikian reformasi diperlakukan sebagai perubahan sistemik, tidak ditujukan pada manusia tetapi sistem tempat manusia bekerja.

Sementara Direskrim Polda Papua Kombes Pol. Petrus Waine mengaku sedang menangani 7 kasus korupsi yang sudah masuk tahap kedua. Yang diselewengkan adalah dana Otsus. Pengadaan barang oleh oknum PNS AR menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2 M. Pengadaan barang cetakan dengan tersangka H merugikan negara sekitar Rp 2 M. Pengadaan tanah Balai Karantina Kelas II Jayapura dengan tersangka Y merugikan negara sekitar Rp 136 juta. Pengadaan kapal di Asmat tahun 2006 dengan tersangka M merugikan negara sekitar Rp 5,5 M. Pembuatan jalan Sorong Selatan dengan tersangka S merugikan negara sekitar Rp 1,9 M. Sedangkan kasus Boven Digoel yang sudah dalam proses penyidikan dengan tersangka J merugikan negara sekitar Rp 2 M.

Disiplin Anggaran
Kepala BPKP Papua Eddy Rachman, MM,Ak menyebutkan untuk melaksanakan sistem pengawasan BPKP menempuh melalui dua cara. Pertama, pengawasan administratif atau non justicia. Kedua, Pengawasan pro justicia, yakni berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengembangkan penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang terindikasi.
Dalam sistem akuntansi, sifatnya harus balance antara pemberi dan penerima. Karena itu, disiplin akuntansi merupakan pilar dalam pertanggung jawaban maupun audit keuangan. Dari sisi akuntabilitas, Eddy Rachman mengatakan, akuntabilitas di Papua dapat dikatakan sudah berjalan baik, tapi perlu diperbaiki. Buktinya, setiap tahun tidak banyak kabupaten di Papua yang lambat melaksanakan sidang LKPJ Bupati. Salah satu kendala adalah masalah disiplin anggaran. Soal akuntabilitas sudah diatur dalam undang-undang.

Kabupaten pemekaran masih mengalami keterlambatan, karena dari sisi personel masih sangat terbatas, termasuk tenaga keuangan (akuntan). Akibatnya, lambat dalam memberikan pertanggung jawaban keuangan. Selain itu, akses komunikasi dan transportasi di daerah pegunungan relatif sulit dibanding daerah pesisir. Tapi ada fenomena daerah pemekaran, di mana daerahnya relatif bergerak maju, seperti Sarmi, Pegunungan Bintang, yang laporan keuangannya termasuk kategori baik. Kuncinya memang ada pada pimpinan daerah. Harus ada komitmen tinggi untuk membangun daerahnya, komunikasi dan hubungan transportasi yang relatif mudah.

Ada beberapa kabupaten pemekaran yang hubungan transportasi dan komunikasi cukup sulit, tapi kabupaten itu cenderung maju. Misalnya, Kabupaten Mamberamo Raya dan Nduga. Selain itu, ada daerah-daerah yang berkembang secara akuntabilitas, tapi terjadi masalah seperti Supiori dan Yapen serta Waropen yang bupatinya bermasalah. Soal kasus Sorong Selatan dengan pembangunan jalan Sesor Boldon yang dilakukan tahun 2007 hingga 2008, SPJ terlambat, namun sudah ditandatangani sebelum proyek selesai.
”Dari sinilah, ditelusuri oleh BPKP,” kata Eddy Rachman.

Menurut Eddy periode Januari hingga Mei 2010 BPKP Papua menangani 42 kasus korupsi. Namun ada yang merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya dengan perkiraan kerugian negara mencapai miliaran rupiah. Ada sebuah fenomena bahwa pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari komitmen seorang kepala daerah. Daerah-daerah di Papua yang pengelolaan keuangannya bagus dan tertib, rata-rata dipimpin oleh seorang kepala daerah dari kalangan birokrat, karena mereka sudah belajar cara mengelola administrasi.


Penegakan Hukum Lemah

Menyikapi merajalelanya korupsi di Tanah Papua, Ramses Wally, Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Papua mengatakan, Papua merupakan salah satu daerah terkorup di Indonesia. Kucuran dana Otsus berlimpah, ditambah DAK, DAU bahkan APBD ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat. Ini patut dipertanyakan.
“Dalam era Otsus sekarang ini seharusnya masyarakat asli Papua mencapai tingkat kesejahteraan lebih baik. Tapi kenapa rakyat malah menderita. Kehidupan orang Papua sebelum era Otsus jauh lebih baik dibanding sekarang,” ujarnya.

LAKI berkomi tmen hendak menjadikan s e luruh e l eme n masyarakat Papua sebagai laskar anti korupsi. Semua orang harus ikut mengawasi proses pembangunan di Tanah Papua. Harus ada satu kasus korupsi dituntaskan sehingga dapat membuka kasus lainnya yang selama ini tidak tersentuh hukum.

”Kami memiliki sejumlah data-data mengenai kasus korupsi. Kami akan buka ke publik kasus-kasus ini pasca dilakukan deklarasi LAKI,” janji Ramses.
Menurut Ramses dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah tersebut jika digunakan secara baik maka orang asli Papua yang jumlahnya tidak begitu banyak bisa sejahtera. Dalam pengamatannya belum ada transparansi sehingga data-data korupsi hanya tersembunyi di BPKP. Seharusnya BPKP sebagai lembaga audit keuangan dan pembangunan mesti membeberkan semua temuan ke publik. Sehingga jangan ada kesan telah terjadi gerakan-gerakan saling menutup mulut antara BPKP dengan pihak yang diaudit. Sebab akibat dari perbuatan korupsi telah menyebabkan rakyat asli Papua sangat menderita.
Dimata Ramses sampai hari ini rakyat asli Papua yang berada di pesisir, lembah dan gunung belum menikmati dana Otsus. Karenanya bila mereka meminta “merdeka,” itu merupakan luapan kekecewaan luar biasa akibat tak pernah menikmati kemerdekaan dalam pembangunan.

Selama ini rakyat dikelabui para pejabat korup. Sudah saatnya kenyataan ini dibuka seterang-terangnya agar rakyat tahu siapa sesungguhnya yang selama ini menyengsarakan mereka.
“Saya yakin dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah bisa menyejahterakan rakyat asli Papua. Dengan begitu gesekan-gesekan dan teriakan kemerdekaan bisa dieliminir,” kata Ramses.
Untuk itu korupsi di Tanah Papua harus diberantas. Koruptornya mesti ditangkap dan dihukum berat. Bila ada pejabat atau oknum tertentu menyelewengkan uang rakyat, mereka harus diproses hukum. Korupsi ibarat suatu mata air. Kalau mata airnya jernih, pasti akan mengalirkan air jernih hingga ke muara. Kalau mata airnya keruh atau kotor yang mengalir ke muara juga keruh, bahkan kotor. Sama halnya dengan korupsi yang melibatkan pejabat besar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Soal budaya kebersamaan (kolektivitas), kekerabatan dan hubungan sosial pada masyarakat Papua yang cenderung mempengaruhi adanya korupsi, Ramses mengingatkan agar jangan menjadikan budaya sebagai argumentasi pembenaran terhadap suatu tindakan korupsi.

“Jangan korupsi memakai alasan rakyat, atau pakai kepala suku punya tanda tangan, padahal mereka tidak terima dana itu. Kalau seorang pejabat memberi sesuatu kepada rakyatnya harus bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi,” tandasnya.
Kepada pejabat eksekutif dan legislatif Ramses meminta mereka segera menghentikan perbuatan korupsi. Gunakan dana-dana pembangunan sesuai aturan yang ada. Sedangkan kepada aparat penegak hukum diharapkan menghindari kerjasama dengan pejabat-pejabat korup dan senantiasa berkomitmen memberantas korupsi.
Hal senada dikemukakan Budy Setyanto, SH, Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua. “Yang harus disampaikan secara jujur kepada masyarakat bahwa korupsi di Tanah Papua sudah berada pada level sangat memprihatinkan,” ungkapnya kepada FOJA.
Menurutnya, dana sangat besar telah masuk ke Papua, tapi banyak yang disalahgunakan dan pemborosan. Tidak efektifnya penggunaan anggaran dan pemborosan telah menyebabkan perbuatan korupsi menjadi hal yang laten.

Ia menekankan, perlu dua hal pokok dalam rangka pemberantasan korupsi. Pertama, pengawasan (control) yang ketat dari badan pengawas dan pemeriksa, BPK, BPKP dan Bawasda. Kedua, sebagai skala prioritas, perlu penegakan hukum yang tegas.
“Kalau korupsi ditempatkan pada aspek preventif saja, itu tidak akan jalan dan hanya menjadi lips service semata,” ungkapnya.
Pengawasan dan penegakan hukum harus benar-benar terpadu. Bila BPK dan BPKP melakukan pemeriksaan secara jujur dan mampu mengabaikan iming-iming amplop, pasti akan banyak temuan kasus korupsi.

Gubernur sebagai pemegang kekuasan eksekutif di daerah, hendaknya memainkan perannya dalam mendukung pengawasan yang dilakukan badan pengawas dan pemeriksa. Gubernur harus serius mendorong publikasi hasil temuan badan pengawas jika ada aparatnya terindikasi korupsi. Temuan korupsi yang dilakukan Inspektorat Provinsi Papua sebagai pengawas internal maupun BPKP dan BPK harus dibuka ke publik.
Budy Setyanto justru memberi apresiasi positif kepada KPK yang begitu tanggap menangani kasus korupsi di daerah hingga bisa disidangkan di pengadilan. Padahal KPK berada jauh di pusat namun begitu respek menindaklanjuti laporan. Sementara badan pemeriksa yang ada di daerah terkesan kurang peka.
“Siapapun yang melanggar harus dihukum,” ujarnya.

Pengamat Hukum Pidana Uncen, Budiyanto, SH menambahkan, sistem hukum menyangkut pemidanaan memang sudah memberi batas minimum bagi pelaku korupsi adalah 4 tahun. Tapi dasar pemidanaan yang diterapkan selama ini sering dilihat dari jumlah uang (besar dana kerugian negara) yang dikorupsi. Padahal, dalam hukum pidana telah diatur bahwa korupsi itu dilarang. Jadi berapa pun nilai uang yang dikorupsi, itu sudah termasuk perbuatan melanggar karena dasar pemidanaan adalah perbuatan. Masalahnya, bisa saja dalam suatu kasus korupsi ada kemungkinan tawar menawar antara aparat penegak hukum dengan koruptor.

Ia sangat prihatin terhadap upaya penanganan korupsi di Tanah Papua. Banyak proses hukum kasus korupsi menjadi tidak jelas proses penyelesaiannya karena kasus-kasus korupsi justru ditangani oleh lembaga yang juga korup.
“Kalau pelaku korupsi ditangani oleh lembaga yang korup hasilnya pasti tidak maksimal. Koruptor tidak akan jera,” ujar Budiyanto. Ia minta, pemberantasan korupsi tidak hanya janji belaka, tapi harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Transparansi dari badan pengawas dan aparat penegak hukum juga sangat diperlukan dalam memberantas kasus korupsi, khususnya di Papua masih sangat lamban. Meskipun ada beberapa pelaku korupsi yang telah diproses hingga dipidana kurungan. Tapi semuanya belum sesuai harapan karena masih banyak koruptor yang kini berkeliaran di Tanah Papua. Budiyanto mengatakan, umumnya jika seorang pejabat terindikasi korupsi dan harus diproses hukum, mestinya bawahannya juga ikut diproses. Sebab seorang pejabat tidak mungkin melakukan korupsi seorang diri.

Terkait beberapa kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat di Papua yang proses hukumnya hingga kini masih belum tuntas, menurut Budiyanto aparat penegak hukum (Kepolisian) harus bekerja keras. Misalnya melengkapi bukti-bukti pendukung. Menyangkut hukuman yang keras terhadap koruptor, menurutnya memang bisa memberi efek jera. Sedangkan cara untuk memberantas korupsi, selain dibutuhkan komitmen, perlu adanya kerjasama antar lembaga pengawas/ pemeriksa, penegak hukum dan keterlibatan seluruh elemen dalam masyarakat.

Yakinlah bahwa tindakan korupsi tidaklah berbahaya, yang justru sangat berbahaya adalah mental korupsi itu sendiri. Dan inilah tugas kita bersama pada hari ini, besok, maupun hari-hari yang akan datang. Selamat berjuang membebaskan Tanah Papua dari keganasan sepak terjang para koruptor. (Tim Fokus Foja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar