Sabtu, 31 Juli 2010
Fokus FOJA Edisi 26 / VI / 2010
Benarkah Kekejutan Budaya Jadi Jerat Korupsi?
Korupsi di Tanah Papua kian ganas dan brutal. Miliaran hingga triliunan rupiah dana rakyat masuk ke kantong-kantong pribadi. Benarkah kecenderungan korupsi di Papua karena kentalnya hubungan timbal balik dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli Papua? Ataukah ini akibat keserakahan para petinggi Papua yang tak terkendali?
Elok nian Tanah Papua. P a n o r ama n y a i n d a h menawan. Budayanya unik dan khas. Orang-orangnya polos, jujur, tulus dan santun. Rasanya sulit dipercaya bila kini Papua dianggap sebagai sarang koruptor. Para pejabat seolah-olah berlomba mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri dan keluarganya, membiarkan mayoritas rakyat Papua tetap terbelenggu kemiskinan.
A n t r o p o l o g U n i v e r s i t a s Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Drs. Frans Apomfires, MA, mengatakan orang Papua sesungguhnya hidup dalam adat budaya yang kuat. Mereka dididik dengan budi pekerti, moralitas, menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebenaran dan kesetiaan.
Itu sebabnya pada masa silam bangsa Belanda mempercayakan orang Papua duduk dalam pemerintahan. Karena santun, jujur, baik pula pekertinya menyebabkan mereka mendapat kepercayaan untuk tanggung jawab lebih besar. Begitu pula ketika sudah bersatu dengan Indonesia, putra-putri Papua mendapat kepercayaan menempati posisi penting dalam pemerintahan.
Menurut Apomfires yang mula-mula terlibat dalam pemerintahan, baik pada jaman Belanda maupun awal bersama Indonesia baru sebatas orang asli Papua dari wilayah Saireri. Seperti Biak, Yapen, Wondama, Waropen dan Nabire. Warga dari Saireri dikenal santun dan jujur.
“Pada saat itu tidak ada orang Papua yang korupsi. Mereka bekerja dengan nurani dan penuh rasa tanggung jawab,” kata Apomfires.
Dalam perjalanan waktu orang asli Papua dari suku-suku yang lain juga mulai mendapat kesempatan memasuki lingkungan pemerintahan. Mereka menduduki jabatan-jabatan penting. Mereka pun berbaur dengan sanak saudara dari suku-suku lain di Papua, juga para pendatang dari luar. Saat itulah terjadi proses akulturasi kebudayaan. Yaitu proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.
Dalam proses akultrasi inilah telah terjadi kekejutan budaya atau shock culture. Apakah shock culture kemudian mempengaruhi terjadinya korupsi? Dalam perkembangan selanjutnya korupsi lalu menjadi semacam kebiasaan kolektif yang secara perlahan berkembang menjadi budaya. Apalagi didukung sistem birokrasi yang memberi peluang terjadinya korupsi. Birokrasi model rekanan sangat berpotensi mendorong siapa saja untuk lakukan korupsi.
“Suku-suku di Papua yang berada pada zona ekologi pegunungan dan hidup bercocok tanam sangat berpotensi terjadi korupsi karena mas ih kentalnya hubungan resiprositas. Yang hidup pada zona ekologi dataran rendah, rawa-rawa, hingga kepulauan, korupsi sedikit menurun dibanding zona pegunungan. Sama halnya dengan masyarakat di dataran rendah hingga pesisir kepulauan, korupsi agak menurun. Tapi pada masyarakat pesisir dan kepulauan tertentu, korupsi terjadi sama tinggi dengan suku-suku dari wilayah pegunungan,” jelas Antropolog Uncen ini.
Kentalnya hubungan timbal balik (resiprositas) dalam struktur sosial ekonomi suku-suku asli di Papua inilah diduga yang mendorong terjadinya korupsi. Penyelewengan anggaran yang kemudian disebut korupsi bisa dikatakan wajar sebagai konsekuensi dari upaya memperkokoh hubungan sosial dan kekerabatan. Karena hubungan sosial dan kekerabatan adalah energi kolektif yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan suku-suku asli Papua.
Dengan demikian apakah orang asli Papua telah lakukan korupsi? Menurut Apomfires bisa ya, bila dana yang dikorupsi untuk kepentingan diri sendiri. Tapi bisa juga tidak, apabila dana yang dikorupsi demi kepentingan banyak orang, seperti keluarga, kerabat, dll.
“Anjuran saya orang-orang Papua yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan maupun swasta hendaknya diberi gaji yang tinggi. Ini sebagai konsekuensi dari adanya resiprositas orang Papua yang masih kental,” ucap Apomfires.
Karena apabila kasus korupsi di Papua hanya dilihat secara hukum normatif tanpa memperhatikan aspek budaya maka para pejabat di Tanah Papua, khususnya kepala-kepala daerah pasti akan terjerat hukum. Padahal, mungkin saja tindakan menggunakan uang negara itu demi mempertahankan hubungan kekerabatan dalam budaya mereka.
Bermula dari Freeport
P. Drs. Gregor Neonbasu, SVD, PhD ant r opo l o g y ang menamatkan pendidikan S2 dan S3 dalam bidang antropologi dari The Australian National University of Canberra, Australia, dalam perbincangan dengan FOJA di Kupang, NTT baru-baru ini mengatakan sejarah korupsi di Papua tidak bisa dipisahkan dari masuknya PT. Freeport di Tanah Papua. Orang Papua dengan mata kepala sendiri menyaksikan bagaimana berlimpahnya kekayaan bumi Papua dibawa ke Amerika.
“Pada masa-masa itu warga asli Papua pertama kali menyaksikan praktek korupsi di Freeport. Kemewahan Freeport begitu luar biasa. Saking glamournya seorang sahabat saya dari Havard yang telah melakukan penelitian di Freeport sampai mengatakan Freeport telah memindahkan New York, LA, atau Washington ke Tanah Papua. Semua yang serba waaah ada di Freeport. Tapi ironisnya rakyat Papua tetap menjadi penonton dan dibiarkan dalam kemiskinan,” kata Gregor.
Pelajaran kedua tentang korupsi ket ika Freepor t diambi l al ih Pemerintah Indonesia. Banyak saham swasta nasional masuk ke Freeport. Pada saat ini rakyat Papua menyaksikan suatu kondisi yang lebih parah karena semua uang yang dari Freeport lari ke Jakarta. Lagi-lagi rakyat Papua hanya menjadi penonton dan tidak kebagian apa-apa.
“Saya kira apa yang terjadi hari ini di Papua karena mereka mencontoh dari apa yang terjadi di Freeport, baik saat dikuasi penuh Amerika maupun ketika diambil alih Indonesia. Tak perlu kaget jika mereka pun lakukan hal serupa ketika kesempatan itu ada. Mereka tidak perlu takut karena selama ini korupsi di Freeport pun dianggap biasa-biasa saja,” jelas Gregor.
Dengan demikian apa yang kini terjadi di Papua, kata Gregor, dari segi budaya kerusakannya sudah teramat sangat parah. Di Papua saat ini sudah terjadi pelapukan kultur, sebab orang melakukan suatu perbuatan salah dalam keadaan sadar, tahu dan mau.
“Inilah resiprositas itu. Inilah kesalingan itu, dimana saya korupsi, kamu korupsi dan kita sama-sama duduk untuk lakukan korupsi. Bagi saya ini suatu tindakan praktek korupsi yang ganas dan brutal. Semua orang tahu ini tindakan negatif tetapi sudah diklaim sebagai hal yang positip dengan berbagai argumentasi yang berlindung dibalik adat dan budaya,” urai Gregor.
Gregor mengaku sangat sulit mengatasi masalah ini, tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Karena korupsi telah merusak tatanan budaya di Tanah Papua menjadi begitu rapuh, bahkan lapuk.
“Untuk atasi masalah ini saya tidak punya rekomendasi yang pas. Kita bisa saja katakan harus melakukan revitalisasi budaya, revitalisasi mainset, atau revitalisasi nilai apa saja. Tapi nanti akan buntu sendiri. Sebaiknya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua perlu melakukan penelitian mendalam mengenai hal ini. Hasil penelitian inilah yang akan digunakan untuk memetakan persoalan yang ada di Tanah Papua. Dari situ baru kita akan merevitalisasi nilai-nilai apa saja yang kini sudah lapuk,” saran Gregor.
Sengaja Dibiarkan?
Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. Dr. Berth Kambuaya justru berpandangan beda. Ia menuding P eme r i n t a h P u s a t s e n g a j a membiarkan kasus korupsi terjadi di Papua. Indikasinya terlihat sejak Otsus digulirkan pada tahun 2001. Dana Otsus yang masuk Papua sangat besar, mencapai triliunan rupiah per tahun. Sayangnya kucuran dana tersebut tidak dibarengi adanya regulasi hukum yang mengatur proses penyaluran dan penggunaan dana tersebut.
“Bagi saya, ini pancingan yang menjebak para pejabat di Papua masuk dalam perangkap korupsi,” tandasnya.
Akibat tidak adanya regulasi bukan tak mungkin dana-dana yang telah disalurkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi sulit dipertanggung jawabkan. Pejabat tersebut kemudian dianggap bersalah dan diduga telah melakukan korupsi. Padahal ini terjadi akibat tidak adanya landasan hukum yang menjadi acuan dalam pengelolaan dana Otsus.
Ir. Weynand Watory Anggota DPRP, Wakil Ketua Komisi A mengibaratkan Tanah Papua sebagai negeri yang jauh dari bulan. Orang yang berkuasa susah kelihatan jejak cahaya korupsinya, dibanding bulan yang bisa dilihat cahayanya. Korupsi di Papua untuk tingkat provinsi sesungguhnya sudah tampak pada pembahasan APBD yang mestinya bisa dilakukan berbulan-bulan, namun ironisnya hanya dilakukan 3 hari. Waktu untuk mempelajari buku yang tebal, dokumen APBD harusnya membutuhkan waktu yang lama.
” P r o s e s y ang d inama k a n desentralisasi menuju resentralisasi, ibarat orang melempar umpan ke sana, tapi mereka juga makan umpan itu. Papua dikasih uang banyak-banyak, tetapi pemberi uang juga ikut makan. Ini namanya kan tidak ikhlas dan semuanya ini ada buktinya,” kata Watori.
Terhadap Dinas PU Watori me n g i n g a t k a n a g a r d a l a m melaksanakan proyek harus jelas, bukan hanya menyebut nama lokasi proyek. Soalnya, DPRP sulit mendapatkan akses untuk transparansi karena semua berada dalam lingkaran. Dalam proses penyusunan APBD saja, sering ada alasan BPK belum melaksanakan audit. Ini karena korupsi sudah dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Sementara jaksa-jaksa dan polisi menurutnya rata- rata sudah rusak.
”Bagaimana bisa memperbaiki sesuatu yang rusak, bila yang mau memperbaiki saja sudah rusak,” tukasnya.
Menurutnya, para pejabat di Tanah Papua harus dirubah cara berpikir dan cara kerjanya. Ia melihat ada kesalahan besar dalam sistem, banyak aspek harus diperbaiki. Pertanggung jawaban administrasi keuangan, harus lebih terarah. Ia menyarankan dibentuknya badan kerjasama antarlembaga. Antara lain, jalin kerjasama dengan LSM, gereja, perguruan tinggi, dan lain-lain.
Kapasitas SDM Minim
Kepala Inspektorat (dulu: Bawasda) Papua, Daulat Tampubolon, Ak,MM, ikut bicara soal korupsi di Tanah Papua. Di Provinsi Papua dengan 29 kabupaten/kota jika dilihat dari kemampuan SDM dan dana, sangat terbatas jangkauannya untuk melakukan pengawasan. Tenaga pemeriksa (auditor) di Inspektorat Papua saat ini hanya 56 orang. Satu tahun paling sedikit ada 60 objek pemeriksaan dengan rata-rata 5 hingga 6 tim pemeriksa dari tenaga yang ada.
Ini sudah termasuk tugas-tugas pemeriksaan reguler di SKPD-SKPD, pemeriksaan laporan masyarakat, tugas pemeriksaan yang diamanatkan gubernur, hingga review pengawasan. Pemeriksaan kinerja pemerintah daerah, di dalamnya juga termasuk pemeriksaan masa akhir jabatan bupati/pejabat. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat dan lain-lain yang urgen sesuai permintaan gubernur.
Untuk menunjang proses pengawasan, ia mengakui, kapasitas SDM pengawas di tingkat kabupaten/kota untuk mereview pengawasan masih sangat kurang. Ketika ditanya soal adakah indikasi bahwa selama tahun 2009 ada pejabat yang melakukan korupsi, ia mengatakan indikasi itu pasti ada, tapi dibutuhkan proses pembuktian. Sayang, ia tidak menyebutkan pelakunya.
Disinggung soal pemekaran wilayah yang berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran, menurutnya perlu ada grand design pemekaran. Ini dimaksudkan agar bisa diketahui berapa ideal dana yang dibutuhkan untuk membangun suatu daerah. Sebab diharapkan dana pembangunan yang diturunkan ke kabupaten-kabupaten pemekaran bisa dinikmati masyarakat. Pada sisi lain, memang di daerah pemekaran telah tersedia dana pembangunan, namum kapasitas SDM pengelolaannya masih menjadi masalah.
Ada fenomena lain yang cukup unik, katanya. Misalnya ada beberapa tenaga pengawas di Inspektorat Provinsi yang telah dilatih hingga ke Jakarta, ketika terjadi pemekaran kabupaten dan dibutuhkan tenaga pengawas, mereka lalu direkrut ke daerah-daerah pemekaran untuk memperkuat kapasitas SDM. Ironisnya, setelah bertugas di kabupaten pemekaran, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ini problem internal yang terjadi.
Kepala BPKP Papua Eddy Rachman, mengatakan, BPKP tetap konsisten mengawasi dana-dana yang terkait dengan program prioritas utama dalam Otsus, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Namun kultur kedisiplinan perlu ditingkatkan di Papua. Selain itu karakter individual juga harus dirubah karena sangat mempengaruhi pelaksanaan birokrasi. Karena itu bagaimana memangkas kultur-kultur negatif agar kinerja pemerintahan bisa berjalan baik.
Eddy mengaku terkadang kasus korupsi di Papua susah ditelusuri, karena sering terkait dengan persoalan budaya, atau adat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi. Misalnya pembayaran denda yang menggunakan kas daerah, sementara hal tersebut tidak ada alokasi anggaran, sehingga sulit dipertanggungjawabkan.
”Kita punya tiga strategi penanganan korupsi. Penanganan preventif mengacu pada PP No. 60 Tahun 2008, tentang Pengawasan Internal Pemerintah. Penanganan represif, mengacu pada Inpres No 5 Tahun 2004. Lalu alokasi anggaran sebesar 40% untuk melakukan tindakan pencegahan (preventif) sudah cukup untuk melayani Papua dan Papua Barat, kendati medan geografis sangat sulit diakses,” kilahnya.
Soal kinerja birokrasi, Pengamat Pemerintahan FISIP Uncen, Drs. Untung Muhdiarta, M.Si mengatakan yang saat ini diperlukan adalah kepercayaan (trust) masyarakat kepada pemerintah.
“Krisis kepercayaan publik kepada pemerintah akan menjadi masalah yang serius. Jika dibiarkan akan menjadi bumerang bagi pemerintah,” ujarnya.
Menurut Untung, birokrasi selama ini bereuforia dengan dirinya sendiri, sementara di luar birokrasi terjadi perubahan yang besar di masyarakat. Karena perubahan itu tidak diikuti birokrasi, akibatnya program pemerintah menjadi tidak sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Inilah dampak dari birokrasi yang tidak bisa mengikuti perkembangan lingkungan secara strategis, baik secara internal maupun eksternal.
“Birokrasi harus netral (apolitis),” ujar Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Uncen ini. Sayang, dalam prakteknya tidak demikian. Ada orang-orang yang memiliki pewarisan sosial yang sangat kuat dari resim sebelumnya. Misalnya gaya kepemimpinan (style leadership), struktur organisasi dan karakter birokrasi. Namun selama ini hanya struktur birokrasi yang berperan aktif. Sementara gaya kepemimpinan dan karakter birokrasi tidak begitu menonjol.
Demikian pula dengan penempatan seseorang untuk menduduki jabatan, harusnya didasarkan pada karir pemerintahan (birokrasi) dan bukan politik. Tapi yang lebih menonjol adalah karir politik. Inilah yang menyebabkan pelaksanaan birokrasi pemerintahan tidak berjalan sesuai harapan.
”Korupsi di kalangan pejabat terjadi karena salah satu faktornya sistem birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya upaya mempertahankan kekuasaan birokrasi. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan penyalahgunaan proyek pembangunan untuk memperkaya diri,” jelasnya.
Karena itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak terjadi. Sebab jika hanya transparansi, tapi tidak ada akuntablilitas akan sia-sia. Pengawasan fungsional yang selama ini dilakukan Inspektorat, menurutnya hanya mengawasi dirinya sendiri. Karena itu, diperlukan pengawasan politik yang bisa dimainkan pihak legislatif (DPRD kabupaten/kota dan DPRP) maupun pengawasan sosial masyarakat. Tapi masalahnya, ruang bagi berlangsungnya pengawasan sosial belum diatur secara baik.
Rubah Kultur dan Kebiasaan
Dalam kaitan dengan kasus korupsi ini Anggota DPD RI dari Dapil Papua, Paulus Sumino mengatakan penegakkan hukum di Tanah Papua harus dilihat secara keseluruhan. Aturan labil, kalau diterapkan secara kaku, banyak orang Papua masuk penjara. Penerapan hukum di Papua tidak bisa diterapkan secara kaku.
“Harus diperhatikan asas manfaat dari keuangan tersebut, tidak hanya semata-mata penerapan hukum belaka. Kalau korupsi dalam arti memperkaya diri dan berfoya-foya itu yang harus ditangkap,” tandasnya.
Untuk langkahkedepan Paulus menawarkan lima pandangan agar kondisi Papua menjadi lebih baik. Pertama, harus ada pertobatan. Kedua, harus dilengkapi dengan Perdasi/Perdasus. Ketiga, Gubernur harus memberi petunjuk konkrit. Keempat, SDM ditata dengan baik. Kelima, mekanisme penggunaan uang harus diatur dengan baik.
Direskrim Polda Papua, Petrus Waine berpendapat apa yang saat ini terjadi akibat lemahnya pengawasan internal dari Inspektorat dan pengawasan eksternal dari BPK, BPKP dan KPK. Kelemahan pengawasan internal lebih banyak menganut asas pembiaran, yang sifatnya pembinaan administrasi, sementara sudah nyata-nyata orang tersebut telah melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara.
Sementara pengawasan eksternal menganut sistem pembinaan yang bersifat administrasi, maupun penegakan hukum. Tetapi penegakan hukum persentasinya kecil, karena menganut asas pembiaran. Penegakan hukum ini ditempuh jika sudah sangat keterlaluan. Karena itu sangat ironi Papua yang memiliki dana besar dari dana Otsus, APBN, APBD, namun masyarakatnya tetap hidup dalam penderitaan.
”Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kedepan program yang digulirkan harus menyentuh dan sampai kepada masyarakat,” ujarnya.
Sementara Budi Setyanto menilai kasus korupsi di Papua masih sangat sedikit yang terangkat kepermukaan karena pertimbangan politik, kultur, alasan kurang bukti, dan sebagainya. Padahal sesungguhnya kasus korupsi di Papua sudah sangat memprihatinkan.
“Seharusnya siapa pun yang melanggar aturan harus diproses secara hukum,” ujarnya. Proses penegakan hukum untuk kasus korupsi mestinya dilakukan secara profesional. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan harus benar-benar profesional. Mereka harus betul-betul melakukan penyelidikan dan penyidikan yang serius dan sungguh-sungguh dan bukan menjadikan setiap kasus sebagai lahan bisnis.
Katanya, sejak dana Otsus Papua dilontorkan tahun 2002 hingga kini telah mencapai Rp 20-an triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua (penduduk asli sekitar 1,5 juta jiwa) yang hanya 2,6 juta jiwa (termasuk Papua Barat), tentu jumlahnya terlampau besar. Meskipun untuk perbandingan luas wilayah Tanah Papua, total dana itu masih kecil.
Secara konseptual visi-misi pembangunan Papua terbilang baik dan muluk. Ironisnya, pada tataran implementasi hal itu tidak diwujudkan dengan baik. Misalnya, reformasi pemerintahan yang digembar-gemborkan Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik belum berjalan sebagaimana dijanjikan.
Padahal dengan adanya reformasi pemerintahan akan terbangun suatu sistem yang mengatur secara mantap menyangkut birokrasi pemerintah, struktur anggaran, karakter birokrat, pelayanan publik, dan sebagainya untuk mewujudkan tata kelolah pemerintahan yang baik. Reformasi anggaran pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Konsep pembagian anggaran sebagaimana komitmen Gubernur juga tidak berjalan sepenuhnya. Di satu sisi transparansi dokumen APBD tidak pernah dibuka ke publik. Terkesan dokumen APBD sering dianggap sangat sakral sehingga publik tidak berhak mengetahuinya. Hal ini harus dirubah.
Ketua PWI Frans Ohoiwutun ikut prihatin dengan kasus korupsi yang menggerogoti Tanah Papua. Katanya, belakangan muncul dua fenomena di masyarakat. Pertama, bingung gunakan dana yang banyak. Kedua, bingung mempertanggung jawabkan setelah dana habis terpakai.
”Semua perencanaan yang dibuat di tingkat kampung, distrik, kabupaten hingga provinsi, tampaknya bagus, karena semuanya untuk mempercepat pembangunan. Tapi setelah dana dicairkan tidak digunakan sesuai yang direncanakan,” kata Ohoiwutun.
Ia memaklumi ketika alasan geografis, budaya dan sosial ekonomi Papua yang kompleks menyebabkan anggaran tidak digunakan sesuai peruntukannya dalam DIPA dan DPA. Harus diakui pembangunan fisik di Tanah Papua sudah begitu nampak dengan adanya infrastruktur jalan, jembatan, rumah, dan lainnya. Tapi banyak juga pembangunan yang tidak menyentuh masyarakat. Dari survei di beberapa wilayah dalam tugas jurnalistik dapat disimpulkan dana yang sampai ke masyarakat tidak lebih dari 20 persen.
“Pertanyaannya dana yang sebagian besar hilang itu larinya ke mana,” ucap Ohoiwutun.
Dalam kaitan dengan maraknya kasus korupsi di Tanah Papua Ohoiwutun mengharapkan agar dapat disikapi secara bijaksana. Sebagai daerah Otsus paling tidak ada hal khusus dalam penanganan terhadap kasus korupsi di Papua.
“Seandainya seorang pejabat menggunakan dana tertentu untuk masyarakat tapi tidak sesuai peruntukkannya, apakah itu bisa dikatakan kosupsi?. Inikan sulit,” ujarnya lagi.
Pada wilayah-wilayah kabupaten pemekaran, bupati dan pejabat bisa saja mengeluarkan uang untuk masyarakat dengan jumlah ratusan juta hingga miliar rupiah. ”Kalau mereka tidak keluarkan dana itu, nanti serba salah karena masyarakat setiap hari ada di kediaman atau kantor mereka. Kebutuhannya macam-macam, ada kebutuhan untuk beli beras, anak sakit, beli obat, pendidikan, dan sebagainya,” tambah Ohoiwutun.
Karena itulah, Ohoiwutun berharap penanganan kasus korupsi di Tanah Papua harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat yang sering membuat para pemimpin wilayah menjadi dilematis dalam mengambil keputusan. Padahal kehadiran mereka selaku pejabat publik sepenuhnya untuk melayani masyarakat.
Bedakan Privat dan Publik
Pengamat Politik Yohanes Fransiskus, SIP, M.Si dari FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta menilai apa yang saat ini dipersoalkan di Papua mengenai korupsi sebetulnya bukan masalah yang pelik jika semua orang paham dan bisa membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik.
”Kalau bicara soal negara, pemerintah, itu urusan publik. Kalau bicara soal keluarga, famili, kakak adik, suku, dan lain-lain, itu berarti kita bicara hal yang privat. Yang terjadi di Papua itu karena salah kaprah. Orang mencampuradukan urusan publik dan urusan privat. Itu salah besar. Tidak bisa karena alasan keluarga, beri uang negara ke keluarga, famili, suku lantas minta pembenaran. Padahal dana itu tidak sesuai peruntukannya,” kata Pengamat Politik yang biasa disapa Ansy ini.
Menurut Ansy umumnya korupsi itu ada dua jenis. Pertama, orang melakukan korupsi karena memang terdesak kebutuhan. Kedua, korupsi karena memang pelakunya serakah. Yang di Papua tampaknya terjadi karena keserakahan. Tidak ada bedanya dengan yang terjadi di pusat kekuasaan negara ini, atau pun sejumlah daerah lain di Indonesia.
”Saya harap semua kasus di Papua harus diproses secara hukum. Kalau memang kita mencintai rakyat Papua, sudah saatnya harus bawa semua pelaku korpsi ke hadapan pengadilan. Tidak bisa membiarkan begitu saja dengan berlindung di balik budaya masyarakat. Jangan persalahkan budaya masyarakat. Itu tidak benar,” katanya.
Proses hukum menjadi sangat penting sehingga harus ada yang dihukum untuk menumbuhkan efek jera. Tapi kalau lantas kita membiarkan semua ini bebas terjadi maka kondisi di Tanah Papua akan semakin memprihatikan. Yang akan tetap menderita itu rakyat jelata yang ada di berbagai pelosok Papua.
”Coba direnungkan kalau para koruptor itu selama ini membagi uang ke rakyat, lantas kenapa sampai hari ini rakyat Papua tetap berada dalam cengkraman kemiskinan. Karena itu soal benar atau tidak dana mengalir ke rakyat harus dibuktikan di depan pengadilan. Tidak boleh ada toleransi,” timpalnya.
Agar korupsi di Papua bisa ditekan/dikurangi, Ansy menghimbau kepada semua elemen yang ada di Papua mendorong demokrasi secara lebih baik. Kekuatan rakyat harus bergerak dan bersinergi. Mahasiswa, LSM dan semua yang peduli pada rakyat Papua harus berdiri di lini paling depan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
”Bila hari ini orang Papua tidak berjuang untuk membebaskan diri mereka dari korupsi maka sampai kapan pun rakyat Papua tidak akan pernah keluar dari kemiskinan dan penderitaan,” tandas Ansy.
Karena korupsi adalah penipuan, dusta yang mengorbankan manfaat bersama atau kepentingan umum. Korupsi memberi ketenangan bagi patologi sosial yang memecah belah, menimbulkan keadaan tidak stabil dan membuat orang tidak peka. Korupsi tidak saja membawa masyarakat ke arah yang salah, tapi juga melunturkan legitimasi pemerintah, mendukung pemimpin yang salah dan memberi teladan yang salah bagi generasi yang akan datang. (Tim Fokus FOJA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
trus menimpementasikan dalam mendia intenet, sehinga suatu persolan jang menjadi di papua trus kami anak plajar saling mengikuti untuk itu. Dengan kesempatan korupsi yang dilakukan oleh parah peyabat derah mebuat sebuah selitan ini kami tak lupa sampaikan terima kasih.
BalasHapus