Kamis, 03 Desember 2009
Para Pegiat Kemanusiaan Papua
RORIWO KARETJI
Kesederhanaan dan motivasi untuk mengembangkan daerah terpencil di Papua, menjadi awal dari keterlibatannya dalam pelayanannya.
Menurut Roriwo Karetji ia mulai terlibat di Wahana Visi Indonesia Papua, sejak tahun 1989, sebagai evaluator, selama satu tahun. Berbeda dengan sebagian besar anak muda saat itu yang lebih memilih kota besar sebagai tujuannnya, Karetji malah memutuskan untuk bergabung dengan WVI, yang notabene melakukan pelayanan di daerah-daerah, yang sangat terpencil, di Papua.
“Waktu itu pelayanan kami masih terfokus pada pengembangan masyarakat Papua, terutama daerah terpencil. Saya sangat tertarik dengan kesederhanaan. Setelah melihat kehidupan orang-orang di pedalaman Papua, saya sangat tersentuh, dan tergerak untuk terlibat dalam pelayanan. Saya ingin melihat mereka maju dan berkembang dengan cara meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kami waktu itu memulainya dengan mengajar bercocok tanam dan beternak,” kata lulusan Antopologi Uncen ini.
Merebaknya kasus HIV memaksa pihaknya untuk tergerak melakukan tindakan preventiv guna melakukan pencegahan terutama bagi anak-anak. Awal keterlibatan WVI untuk penanganan HIV-AIDS, berawal ketika pada tahun 1994 kami mengundang Sekretaris KPA Nasional Nafsiah Mboy, dan mulai mempromosikan bahaya HIV AIDS, dari suatu tempat ke tempat yang lain, seperti lokalisasi dan tempat-yang disinyalir sebagai tempat prostitusi. “Waktu itu kami masih sangat awam tentang HIV-AIDS. Satu hal yang kami pahami adalah HIV itu penyakit yang berbahaya,”.
Di tahun yang sama juga Karetji kemudian dipercayakan sebagai Branch Office Manager WVI Papua, setelah tiga tahun sebelumnya sebagai koordinator WVI untuk wilayah Jayawijaya.
Karena fokus dari WVI adalah anak-anak maka aspek penting ditekankan adalah preventive atau pencegahan. Kami juga mulai melakukan program kerjasama dengan sekolah-sekolah, dan dengan gereja. Jadi ada pelajaran tentang HIV sekolah minggu menerbitkan buku sekolah minggu yang punya muatan HIV-AIDS, jinggle tentang HIV di radio di berbagai stasiun agar informasinya semakin luas. Bukan hanya informasi bahayanya, tetapi lebih supaya anak-anak punya sikap yang tepat baik untuk mencegah maupun kepada orang yang terinfeksi. Tidak bersikap diskriminasi terhadap ODHA. Kami juga punya program Care and support, yang selalu memberi semangat kepada para ODHA.
Kita juga ingin agar gereja juga terlibat. Ada pelatihan bersama tokoh gereja. Hal ini kami lakukan karena bisa jadi yang terinfeksi adalah bagian dari jemaat. WVI juga mempunyai program chanel of hope (saluran pengharapan). Tujuan dari program ini adalah agar mereka memiliki pemahaman yang lengkap, ada mobilisasi informasi dan mengembangkan care and support bagi penderita,” kata pria asal Halmahera ini. Selain kedua program diatas WVI juga juga mempunyai Program Siaran Sistim Informasi Remaja, yang dilaksanakan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Kota untuk membentuk KPA di setiap distrik.
Kendala
Menurut Roriwo Hingga saat ini akses yang sangat sulit dan medan alam yang berat merupakan kendala utama, dalam melakukan pelayanan, serta penyebarluasan mengenai informasi HIV-AIDS. Selain itu tingkat pendidikan juga merupakan faktor penghambat yang cukup berpengaruh. “Di beberapa daerah tingkat pendidikan masyrakat masih sangat rendah, dengan komunikasi yang juga belum lancar, mengakibatkan kami kesulitan dalam menyampaikan informasi tentang HIV-AIDS. Yang dikuatirkan juga terjadi kesalahan maupun kurang paham dalam menerima informasi. Kami masih sering memanfaatkan penterjemah di beberapa daerah,” katanya.
Ditanya soal alasan mengapa ia tidak pernah merasa jenuh dan lelah melakukan pelayanan, sambil tersenyum ia menjelaskan; bekerja di WVI seperti sebuah perjalanan iman. Kita akan merasa bahwa Tuhan ternyata memakai kita untuk berperan, dan demikian kita juga akan semakin dikuatkan dan memiliki kepuasan jiwa. (R3)
AGUS "Pecandu" HAYONG
Antusias, dan ramah adalah sifat yang dimilikinya tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang bekas pecandu Narkoba (narkotika dan obat terlarang) dan Miras (minuman keras).
Agus Pecandu demikian ia menyebut dirinya. “Saya menggunakan nama tersebut untuk selalu mengingatkan bahwa saya dulunya seorang pecandu narkoba dan Miras, yang sekarang sadar dan ingin berguna bagi orang lain terutama menolong teman-teman yang masih terikat dengan narkoba dan miras,” kata pria bernama asli Agus Hayong.
Ditemui di salah satu kegiatan penjangkauan SMP (Sekolah Menengah Pertama) YPPK Taruna Mulia di Argapura, 2 Juni lalu, ia tampak begitu bersemangat memberikan materi tentang bahaya narkoba, miras, dan HIV-AIDS bagi kalangan remaja utamanya anak sekolah. “Hallooo” katanya menyapa peserta. “Halloo,” jawab peserta. “Narkoba” teriaknya yang spontan dijawab para peserta “No”. “Prestasi” katanya lagi. “Yes” jawab para murid, yang diiringi dengan riuhnya tepuk tangan peserta. Yel-yel serupa dilakukan berulang-ulang sehingga menumbuhkan semangat peserta dalam mengikuti materi yang dibawakan. Menurut Agus kegiatan ini merupakan salah satu program dari Yayasan Permata Hati Kita, yang dilaksanakan oleh kelompok Muda Berdaya Papua.
Masa kelam
Dulunya saya adalah pecandu berat Narkoba dan Miras,” katnya mengawali kisahnya. Awal keterlibatan Agus terjerumus dengan Narkoba Miras dimulai saat Ia duduk di kelas dua sekolah menengah atas di Jayapura. “Awalnya saya hanya ingin mencoba, karena ajakan teman (tekanan sebaya). Waktu pertama kali pakai rasanya tidak enak sama sekali. Saya bahkan mual dan muntah hingga jatuh sakit. Tapi karena dorongan teman dan takut disebut kurang gaul jika tidak menggunakan Narkoba, dan Miras, hingga lama-kelamaan akhirnya saya merasa ketergantungan. Biasanya miras itu hanya sebagai tipuan untuk mengelabui orang lain, sehingga mereka mengira kami hanya mengkonsumsi Miras dan tidak berfikir kami menghisap ganja,“ ungkapnya.
Kelakuan Agus dan teman-temannya ini sebenarnya diketahui oleh pihak sekolah, bahkan orang tua Agus sering dipanggil menghadap di sekolah. Ada kejadian lucu dari kejadian tersebut. “Saya tidak pernah menyampaikan penggilan tersebut kepada orang tua. Biasanya saya meminta teman yang agak tua datang menghadap ke sekolah dan mengaku sebagai orang tua saya, dan pihak sekolah percaya,” katanya tersenyum.
Berbagai kelakuan buruk juga dilakukan oleh Agus untuk mendapatkan barang tersebut seperti kekerasan dan pemalakan. Pergaulan menyimpang tersebut terus dilakoni hingga Agus duduk di bangku perguruan tinggi. Sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga. Kelakuan Agus tercium juga oleh Sang Ibu. “Ibu saya begitu sayang sama saya hingga beliau tidak tega bilang sama bapak,” ujar Agus. Bahkan karena terlalu sayang dengan sang anak sang ibu nekad memberi uang lebih untuk membelinya.
Insyaf
Mei 2008, melalui anjuran salah seorang teman Agus kemudian mencoba mendatangi pihak Yakita untuk mengikuti program rehabilitasi. “Waktu itu saya cuma iseng-iseng. Berbagai program yang dijalani terasa sangat berat. Setelah melalui beberapa program bersama teman-teman yang lain akhirnya saya merasa disinilah komunitas orang-orang yang bisa mengerti saya. Saya merasa Yakita merupakan satu-satunya tempat yang bisa menolong orang untuk lepas dari jeratan Narkoba,” ungkapnya.
Keinginan untuk sembuh dan menolong orang lain yang hidup dalam kungkungan alkohol dan obat terlarang mendorong Agus untuk berbuat lebih dari sekedar sembuh. Setelah melalui pelatihan Muda Berdaya selama tiga bulan, yang dilanjutkan dengan basic program di Bogor selama 1 bulan, akhirnya Agus terpilih sebagai koordinator Muda berdaya Papua. “Ini adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan kepada saya. Apa yang saya lakukan dulu, membuat hidup saya hancur, hubungan dengan keluarga dan teman-teman retak, pengalaman ini membuat saya ingin mengajak teman-teman yang aktif (pecandu-red) untuk memperoleh masa depan yang cerah, serta memberi pemahaman kepada para remaja agar lebih baik tidak usah mengenal barang haram itu,” ujar lulusan D3 Teknik Elektro ini.
Kegiatan- kegiatan yang dilakukan sekarang ini seperti penjangkauan ke sekolah-sekolah, lingkungan Gereja, Mesjid, dan komunitas anak-anak muda. Penjangkauan tersebut meliputi pemberian informasi tentang bahaya Narkoba, Miras, dan HIV-AIDS, melalui pendekatan sebaya (anak muda-red). “Setiap bulannya kami menargetkan sepuluh kali penjangkauan. Untuk sekolah dan lingkungan Gereja serta Mesjid biasanya kami lebih mudah direspon.
Hambatannya jika kami melakukan penjangkauan ke komunitas anak muda atau lingkungan perguruan tinggi informasi yang kami sampaikan biasanya kurang mendapat tanggapan serius, padahal mereka ini termasuk kelompok yang beresiko tinggi,” katanya. Disamping Penjangkauan Agus dan teman-temannya di komunitas Muda Berdaya Papua juga membantu program rehabilitasi para pecandu narkoba dan miras di Yayasan Permata Hati Kita Papua. “Sayangi dirimu, sayangi dan tolong orang lain, serta jauhi Miras dan Narkoba!!!,” tegasnya. Setuju Bung. (R3)
ESTHER SANGGENAFA
Yayasan Persekutuan Penginjilan Masirey (YPPM) adalah sebuah yayasan Kristen yang didirikan tahun 1982 di Jayapura, Papua. Pada awal pembentukannya, yayasan ini hanya bergerak di bidang pekabaran Injil ke daerah-daerah yang belum mengenal Injil, khususnya menangani suku-suku terasing atau kampung-kampung yang belum mengenal pemerintah dan masyarakat lain yang hidupnya semi nomaden (berpindah-pindah) di Papua. Seiring berjalannya waktu, yayasan in tak hanya melayani dengan suku-suku tersebut, tetapi sudah merambah ke penanganan bidang lain, antara lain pembinaan anak-anak jalanan, perawatan orang-orang penderita HIV/AIDS, dan bimbingan terhadap anak-anak yang kena narkoba. Yang membedakan YPPM dengan LSM lain adalah Visi dan Misinya yang senantiasa bernafaskan injil. “Kira-kira demikian sekilas sejarah YPPM,” ungkap Pdt Esther Wanda.
Wanita bersahaja ini adalah direktur YPPM. Wanita berumur 42 tahun ini sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya demi masa depan anak anak jalanan yang terlantar. “Kami melakukan koordinasi dan kerjasama dengan KPA dan HCPI sejak tahun 2005 untuk ikut terlibat dalam penanggulangan HIV-AIDS di tanah Papua, karena bagaimanapun anak jalanan yang menjadi fokus kami merupakan salah satu kelompok yang beresiko terhadap bahaya narkoba, IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV-AIDS. Anak jalanan yang kami tangani senantiasa kami rangkul melalui mental dan rohani agar dapat menemukan jati dirinya. Dari 48 anak binaan kami 12 diantaranya terjangkit IMS dan dua diantaranya terinfeksi HIV-AIDS. Melalui pembinaan diantara mereka ada yang sudah menjadi petugas lapangan, memberdayakan mereka sesuai dengan minat dan bakat, memberikan keterampilan, dan menjadi mediator agar mereka bisa mandiri. Wilayah yang kami layani sekarang ini seperti Sarmi, Waropen, Kepulauan Yapen, Jayapura, dan kami juga telah mempunyai cabang di Jakarta.
Dalam kesehariannya Esther sering diperhadapkan pada tantangan seperti donatur untuk pendanaan berbagai program, dan susahnya menumbuhkan komitmen anak untuk berubah. “Ada yang kembali lagi seperti dulu,” katanya lagi. “Saya juga harus belajar sistim bagaimana merekrut staff,”. Bahkan Esther mengaku pernah merasa jenuh dengan kesibukannya. “Saya bahkan pernah mengusir mereka (anak binaaanya-red) dan menyuruh mereka mencari LSM lain, walaupun akhirnya saya juga menyesalinya,” kenangnya. Namun hal itu bukan menjadi halangan. Esther sudah berkomitment untuk menyelematkan Papua dari jeratan HIV-AIDS. “Saya tidak pernah terobsesi untuk menjadi seorang pendeta hebat, tapi saya mau Papua bebas virus HIV-AIDS!. Saya bermimpi suatu saat punya klinik khusus untuk menolong anak jalanan,” kata lulusan Sekolah Tinggi Theologia Malang, Jatim ini Hal tersebut dibenarkan oleh salah seorang anak binaannya, Semuel Jerry. “Ibu adalah figur orangtua yang sangat perhatian terhadap kami. Beliau selalu menegur kami secara halus. Ia menerima anak-anak yang telah diabaikan oleh orang kandung. Kami sudah menganggapnya sebagai orangtua sendiri,” kata Semuel.
Sebuah pengalaman lucu yang tak terlupakan Esther ketika ia harus dijemput paksa oleh aparat karena anak binaanya tertangkap mencopet dompet orang. “Ketika mereka disuruh menyebut nama orang tuanya, mereka menyebut nama saya, jadi terpaksa saya menjadikan diri saya sebagai jaminan untuk membebaskan mereka,” ungkapnya tersenyum.
Suatu waktu ia juga sering mendapati anak-anak tersebut mencuri di toko, dan dengan terpaksa ia harus mengejar mereka untuk menyuruhnya megembalikan barang tersebut, dan segudang pengalaman lainnya. “Tapi tidak apa ini semua adalah panggilan dan komitmen bagi generasi Papua yang bebas Virus,”. (R3)
CONSTANT KARMA
“Kalau kita tidak bekerja keras sehingga HIV-AIDS menjadi bencana social di Papua, maka kita sangat bersalah, karena kita sudah belajar dari pengalaman dari negara lain, kita punya banyak ahli, punya informasi, punya LSM, punya fasilitas, punya Perguruan Tinggi, punya waktu dan kesempatan, kita punya lembaga eksekutif dan legislatif juga orang Papua, dan kita punya Otsus”
Bersemangat, dan ramah adalah kesan pertama yang diingat dari sosok Constan Karma. Latar belakangnya sebagai seorang dokter hewan plus ketulusannya untuk mengabadikan diri demi kemanusiaan membuatnya dipercaya memimpin Komisi Penanggulangan HIV-AIDS Papua. Bahkan tugas berat yang dilakoninya dari tahun 2002 tersebut dikerjakan tanpa imbalan. “Ini semua semata-mata demi kemanusiaan” katanya tersenyum.
Ispirasi
Menurut Karma awal keterlibatannya di KPA, berawal dari sebuah pengalaman tak terlupakan ketika pada November tahun 2001 lalu Karma diajak untuk melihat kondisi epidemic HIV-AIDS di Uganda. “Waktu itu saya masih sangat buta dengan masalah ini (HIV-AIDS –red). Jadi waktu itu saya hanya ikut ajakan saja,” katanya. Menurut Karma pada awalnya korban HIV-AIDS di Uganda divonis sebagai pendosa oleh kalangan religius, namun lama kelamaan orang-orang dari kalangan religius tersebut mulai terinfeksi HIV-AIDS. Disana Karma dan teman-teman, diajak mengunjungi LSM yang menangani masalah HIV-AIDS, shelter penampungan ODHA, Angka kematian akibat HIV-AIDS disana begitu tinggi akibat dari pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta perilaku beresiko penduduknya sendiri. Bahkan peti mayat sangat banyak dijual di pinggir jalan. Salah satu fenomena yaitu banyaknya burung nazar (burung bangkai) yang beterbangan di atas udara di tengah kota Kampala (ibukota Uganda). Hal ini mengisyaratkan bahwa di daerah tersebut ada banyak kematian. “Pada waktu itu HIV-AIDS sudah menjadi bencana nasional di Uganda. Tidak ada hari tanpa ibadah perkabungan, dan tidak ada keluarga yang anggotanya luput dari HIV-AIDS,” ungkapnya. Pengalaman mengerikan yang disaksikan di sana membuatnya tersentak. “Saya tidak bisa membayangkan kalau hal itu jika terjadi di tanah kelahiran saya Papua,” kenangnya.
Satu hal yang membuatnya salut dengan kesadaran penduduk Uganda untuk memeriksakan diri ke VCT, serta perbincangan bagaimana menangani HIV-AIDS, di semua kalangan masyarakat. “Per tahunnya ada sekitar 500 ribu hingga 600 ribu warga Uganda yang sukarela mejalani tes HIV-AIDS,” ungkapnya. Yang membuat Karma prihatin adalah anggapan dari kalangan agama di Uganda bahwa orang yang terinfeksi HIV-AIDS itu merupakan pendosa, dan kalau ia bersina berarti ia juga sebagai pembunuh karena telah menularkan virus HIV-AIDS.
Pengabdian
Sekembalinya dari Uganda bayang-bayang penglihatan miris tersebut begitu terpatri kuat dalam benaknya. Ia kemudian berkomitmen untuk menjaga Papua agar terhindar dari bencana social (baca : HIV-AIDS) seperti yang terjadi di Uganda. Karma kemudian mendapat SK Gubernur Drs. JP. Salossa untuk menangani masalah HIV-AIDS di Papua. Sebuah lompatan besar dilakukan Karma pada tahun adalah aktif mengkampanyekan kondom sebagai bagian dari pencegahan HIV-AIDS. “Waktu itu saya mendapat tentangan dari berbagai kalangan, terutama kalangan agama, tetapi saya terus maju, karena ini menyangkut kelangsungan hidup umat manusia,“ tegasnya
Untuk lebih mensosialisasikan pengetahuan masyarakat terhadap HIV-AIDS, Karma berupaya melakukan berbagai macam hal, seperti menerjemahkan buku yang dikarang oleh Rev. Gideon Byamugisha ke dalam bahasa Indonesia. Buku yang di beri judul ‘Memecah Kebisuan HIV-AIDS di Afrika’ ini memberi contoh bagaimana institusi masyarakat membicarakan isu-isu seksual kepada masyarakat. Selain itu ia juga menerbitkan buku tentang pengetahuan dasar tentang HIV-AIDS bagi kalangan anak sekolah. “Buku tersebut sudah saya serahkan ke Dinas P dan P, tetapi sampai sekarang saya tidak melihat peredaran buku tersebut di sekolah-sekolah. Karma juga telah mengikuti berbagai seminar HIV-AIDS seperti Australian Society Of HIV Medicine tahun 2007 lalu di Australia, dan International AIDS Society ke 12 yang dilaksanakan oleh WHO di Mexico tahun 2008 lalu.
Constan Karma begitu prihatin dengan angka HIV-AIDS di Papua yang jumlahnya semakin meningkat. Dalam sebuah kesempatan Karma mengungkapkan kekhawatirannya bahwa ‘Kalau kita tidak bekerja keras sehingga HIV-AIDS menjadi bencana social di Papua, maka kita sangat bersalah, karena kita sudah belajar dari pengalaman dari negara lain, kita punya banyak ahli, punya informasi, punya LSM, punya fasilitas, punya Perguruan Tinggi, punya waktu dan kesempatan, kita punya lembaga eksekutif dan legislative juga orang Papua, dan kita punya Otsus’.
Walaupun menghadapi berbagai tantangan seoerti pendanaan, maupun dari kalangan tertentu namun Karma sudah bertekad bulat untuk membebaskan tanah kelahirannya Papua dari HIV-AIDS. “Sekali lagi ini adalah demi nama kemanusiaan,” tegasnya. (R3)
VENERANDA KIRIHIO
Pengabdiannya terhadap kemanusiaan tidak perlu diragukan lagi. Dana terbatas tidak menjadi halangan untuk bekerja. Bahkan dengan cucuran air mata.
Menurut Veneranda Kirihio keterlibatan di Yayasan Harapan Ibu (YHI) Papua berawal dari keprihatinannya terhadap banyaknya anak-anak jalanan Papua yang terlantar, ia kemudian berkomitment untuk menyelamatkan masa depan mereka. “Tahun 2004, waktu itu saya masih bekerja sebagai pedagang di kawasan ruko, Jayapura. Pada malam hari saya melihat begitu banyak anak perempuan Papua, yang berkeliaran bahkan ada yang menginap di sana. Kasihan tidak ada yang memperhatikan mereka,” ungkapnya. Beberapa waktu kemudian ia berkenalan dengan staf YHI, dan tertarik untuk bergabung dengan mereka.
“Saya melihat apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka menyampaikan informasi dan memeriksa kesehatan. Hati nurani saya seperti terpanggil untuk bergabung”. Pada awal keterlibatannya ia sebagai seorang petugas lapangan, yang melakukan penjangkauan ke beberapa daerah di kota dan kabupaten Jayapura. Ketekunan dan keuletannya dalam bekerja membuatnya diangkat menjadi koordinator lapangan pada tahun 2006. Awal tahun 2007 ia menduduki posisi program manager, dan melihat ketekunan dan dedikasinya yang begitu tinggi, akhirnya pada Agustus tahun 2008 drs. David Wambrauw mempercayakan dirinya memegang tongkat kepemimpinan YHI. David Wambraw sendiri merupakan pendiri dari Yayasan Harapan Ibu Papua.
“YHI ini asalnya dari Pusat Studi Kependudukan (PSK) Universitas Cenderawasih, yang didirikan oleh David Wambraw untuk menjangkau pekerja seks di kota Jayapura, dan mendampingi dan memberikan informasi HIV-AIDS,” ungkap Veneranda. Kegiatan YHI sendiri adalah melakukan penjangkauan bagi kelompok-kelompok sasaran atau dampingan, untuk memberikan informasi dasar HIV-AIDS, dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Hingga kini kelompok dampingan YHI bukan hanya menjangkau PSK jalanan, tetapi juga pramuria bar, panti pijat High Risk Man (HRM) misalnya pelanggan pramuria bar atau lokalisasi, TKBM, tukang Ojek, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, bahkan komunitas lintas agama. “Kami juga bekerjasama dengan puskesmas untuk melakukan mobile clinic. Jadi di manapun diminta, kami siap,” tegasnya.
Selain itu YHI juga melakukan pembinaan terhadap para ODHA, dengan membentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), yang beranggotakan 40 ODHA. Sayangnya yang aktif hanya sekitar 20 orang. “Anggota KDS positif kemudian disupport, diberi keterampilan, di samping informasi tentang pengetahuan akses pengobatan,” ungkap wanita kelahiran 26 Mei 1971 ini. YHI sendiri saat ini mendampingi ODHA sebanyak 94 orang (16 meninggal). “Wilayah jangkauan kami masih sebatas kota dan Kabupaten Jayapura.
Satu hal yang membuat Veneranda sedih ketika ia harus merelakan kepergian beberapa ODHA dampingannya untuk selama-lamanya. “Mereka ada yang dikubur tanpa peti mati, tanpa pakaian layak, tanpa salib sebagai nisannya. Kami hanya bisa membeli plastik untuk membungkus mayat. Ini seperti bumerang bagi kami di mana kami melakukan penjangkauan, sementara kami tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai pemakaman mereka. Kami bahkan harus menggunakan dana pribadi untuk membantu mereka, karena pihak keluarga sendiri biasanya sudah lepas tangan. Namun bagaimanapun kami sudah berkomitmen untuk terus bekerja dan mendampingi mereka,” katanya. (R3)
JHONS PATRICH KUSMAWAN
Latar belakangnya sebagai seorang tenaga perawat membuatnya nalurinya untuk mendampingi ODHA tergugah. “Tahun 2003 saya lulus D3 Keperawatan Uncen, saya sempat bekerja sebagai perawat di RS Dok II Jayapura. Pada saat itu stigma dan diskriminasi terhadap ODHA begitu kental. Hati nurani saya kemudian terpanggil untuk mendampingi dan melayani mereka. Saya ingin mereka punya sahabat yang bisa berada di dekat mereka di segala kondisi,” ungkap Jhon Patrich Kusmawan.
“Awalnya saya bergabung dengan kelompok dukungan Jayapura Support Group (JSG), sebelum akhirnya bergabung dengan YPKM tahun 2006. Sejak Agustus 2007 saya dipercayakan oleh YPKM sebagai penanggungjawab pondok Cristami, yang merupakan tempat penampungan bagi orang yang terinfeksi HIV-AIDS,” kata pria campuran Cina-Papua ini.
“Pada prinsipnya pendampingan yang kami lakukan bagaimana melibatkan orang yang terinfeksi langsung untuk mengatur diri mereka sendiri seperti mengepel, memasak yang sehat untuk gizi, sehingga dengan demikian akan berfungsi sebagai anti bodi. Kami juga memberdayakan ODHA yang sehat sebagai tenaga pendamping bagi temannya yang sakit. Menurut Jhons prinsip yang ditanamkan kepada ODHA bahwa pondok ini hanya sebagai penampungan sementara untuk perlindungan dan pemulihan kesehatan, advokasi, sebelum dikembalikan ke keluarganya. Mereka juga diajarkan bagaimana mereka menerima kenyataan bahwa mereka berstatus HIV, yang secara otomatis akan dibawanya seumur hidup. Program lain yang dilakukan adalah perubahan perilaku seperti menghentikan kebiasaan merokok, minum minuman keras, dan bagaimana menjaga kesehatan. “Yang saya syukuri bahwa teman-teman ODHA yang kami dampingi sebagian besar telah kami kembalikan ke pihak keluarga, dan kelurganya sendiri telah menerima, walaupun harus melalui berbagai penjelasan. Contohnya ketika kami mengembalikan seorang ODHA ke keluarganya di Keerom, semula pihak keluarga tidak mau menerimanya, tetapi setelah diberikan penjelasan, maka akhirnya keluarga menerimanya. Ini adalah sebuah tantangan, bagaimana meyakinkan pihak keluarga untuk bisa menerimanya kembali, dengan cara menyampaikan informasi dasar yang benar tentang HIV AIDS, terkait penularan, dan pencegahan,” ungkapnya.
Berbagai kerajinan seperti membuat bantal, pita peduli HIV-AIDS, berkebun, dan menjahit, pelayanan kesehatan di kampung-kampung. “Kami melibatkan mereka yang sudah testimoni sebagai tim untuk memberikan informasi tentang HIV-AIDS kepada masyarakat, dan hampir semuanya sudah mau membuka diri kepada masyarakat, karena sudah memiliki kepercayaan diri,”. Menurutnya hal ini juga akan membuka mata masyarakat umum, bahwa mereka (ODHA) bisa produktif, seperti layaknya orang yang sehat. Selain itu dengan membuka diri terhadap masyarakat, akan memutus mata rantai penularan HIV-AIDS. Contohnya jika seorang mantan pekerja seks komersial telah menyatakan dirinya terinfeksi, maka ia tidak mungkin kembali lagi ke dunianya. “Tapi bukan berarti ODHA yang membuka diri (testimoni) tidak menemui tantangan. Mereka bisa saja mendapat stigma dari masyarakat yang tidak mengetahui informasi tentang HIV-AIDS yang benar,”.
Pendampingan yang dilakukan pihak YPKM ada tiga yaitu di shelter (pondok), di rumah, dan rumah sakit. Bagi yang sudah sampai pada tahap AIDS, yang harus rutin minum ARV, pihak YPKM akan tetap melakukan kontrol kesehatannya, walaupun mereka sudah kembali ke keluarganya. “Jadi kami tetap melakukan kunjungan 2 hingga 3 kali sebulan. Jika tidak bisa ditangani di rumah, maka akan dirujuk ke rumah sakit, dan kami tetap melakukan pendampingan berupa dukungan spiritual dan moril,”. Jumlah pasien yang ditangani saat ini adalah sebanyak 14 orang. “Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan pendampingan. Setiap ODHA, memiliki sifat dan karakter berbeda, apalagi latar belakang mereka yang berasal dari anak jalanan maupun PSK, terutama pada program perubahan perilaku,” ujar lelaki kelahiran 11 Maret 1980 ini.
Salah seorang ODHA Sipora Inhuar sangat bersyukur dengan pola pendampingan dari pondok Cristami. “Saya sudah satu tahun di sini (Shelter) Kami sangat bersyukur didampingi oleh pak Jhons beliau selalu mendampingi kami dengan informasi yang benar. Di sini kami dilatih berbagai keterampilan, kesaksian di gereja, dan pelayanan di kampung-kampung, bagi-bagi obat ke masyarakat. Sudah satu tahun lebih di shelter. Sipora Inhuar. Saya bersyukur cuma saya dengan suami yang terinfeksi, sementara anak saya tidak. Suami saya aktif sebagai sopir taxi,” kata Sipora. Tim Bersahaja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar