Jumat, 16 April 2010

Nasib Malang Si Bocah Tumor


Ruangan berukuran 3x4 meter pagi itu kelihatan ramai oelh beberapa orang. Seorang ibu sedang menyusui bayinya, bersama dengan tiga orang laki-laki yang sedang memandangi seorang bocah yang terbaring lemah. Namun tidak satupun yang bersuara. Suasana terasa hening. Hanya suara pembaca berita tentang kasus Bank Century dari TV ukuran 17 inch yang sengaja dikecilkan volumenya di sudut ruangan memecah kesunyian.

Abraham Soplanit terlihat sibuk merapikan tikar rajutannya yang terbuat dari beberapa karung beras bekas yang telah dijahit. Seakan tidak mempedulikan kedatangan Foja ia kemudian mengalasi tikar buatannya itu dengan beberapa lembar koran usang sambil sesekali mengelus dengan kedua telapak tangannya seperti sedang menyeterika. Suasana belum juga cair. Di sisi ruangan lain Yakobus Mokoibimo duduk terpekur memeluk kedua lututnya. Diam seribu bahasa, entah apa yang ada di benaknya. Matanya seperti tidak mau lepas mengawasi seonggok tubuh kurus kering dengan perut buncit di depannya.

“Namanya Alex. Ia menderita tumor,” kata Abraham membuka pembicaraan. Suasana jadi cair. Rupanya ia telah selesai dengan pekerjaannya. ”Tikar ini saya buat untuk terapi dia nanti,” tambah laki-laki, yang akrab disapa Bram ini. Ia menjelaskan bahwa tikar buatannya itu akan ditaburi dengan pasir yang telah dipanaskan dan selanjutnya tubuh Alex dibaringkan di atasnya. ”Mau apa lagi. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk meringankan rasa sakitnya,” katanya lagi. Menurut Bram terapi ini dilakukan atas saran dari seorang bernama Ibu Morin, yang sering mengobati berbagai jenis penyakit dengan metode alternatif.

Tumor ganas yang diderita Alex sudah berlangsung setahun, namun akibat dari kemiskinan, maka terpaksa dibiarkan. Desember 2009 ia dibawa ke RSUD Merauke oleh Yakobus, pamannya. ”Kami tinggal di Mappi, sementara dokter di sana (Mappi-red) bilang harus ke RS Merauke,” ungkap Yakobus. Di Rumah sakit Merauke bocah cilik itu divonis menderita tumor ganas. Sayangnya keterbatasan peralatan medis menjadi penghalang untuk operasi. Pihak rumah sakit kemudian menganjurkan untuk dibawa ke RSUD Dok II, Jayapura, yang mempunyai peralatan lebih lengkap. Yakobus hanya bisa tertunduk lesu mendengar keputusan pihak rumah sakit. Maklum saja mereka bukanlah keluarga yang berada. Jangankan untuk biaya berobat atau operasi, untuk sekedar ongkos jalan ke Jayapura pun tidak ada.

Sebersit harapan kembali muncul. Atas bantuan dari berbagai pihak, Yakobus akhirnya membawa keponakannya itu ke Jayapura.

Masuk Rumah Sakit Dok II Jayapura, penderitaan yang dialami Alex tidak lantas berhenti. Bukan hanya rasa sakit yang mendera. Jalan satu-satunya untuk sembuh harus melalui operasi. Namun kata pihak RS harus menyediakan sedikitnya delapan kantong darah golongan AB. Yakobus bingung harus mencari ke mana. Sementara itu Alex hanya mendapat perawatan ala kadarnya, bahkan cenderung terabaikan.
Rasa iba Abraham Soplanit yang merupakan petugas kamar jenazah di rumah sakit ini muncul. Rasa kemanusiaannya seperti terusik melihat keadaan Alex. ”Saya tidak punya hubungan apa-apa namun saya tidak tega melihat ia terbaring menderita di situ,” kata Bram dengan nada sedih. Bram bersama istrinya kemudian memutuskan untuk membawa Alex ke rumah mereka yang tidak jauh dari lokasi rumah sakit.

Dengan penuh kasih ia merawat Alex, dengan berbagai cara yang bisa dilakukannya, termasuk dengan pengobatan alternatif. Sementara itu sang paman, Yakobus setiap hari berkeliling untuk mencari darah untuk persiapan operasi kelak. Dari berbagai informasi mengenai tempat yang kemungkinan mempunyai persediaan darah pun ia datangi. Tidak mudah. Di samping golongan darah yang dibutuhkan memang tergolong langka, ia juga mesti melakukan ini dengan berjalan kaki. Panas terik matahari kota Jayapura tidak dipedulikan demi keselamatan Alex. ”Saya telah mendatangi berbagai tempat, namun saya tidak dapat darah,” kata Yakobus pasrah.

Tumor yang bersarang di perut Alex menyebabkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Badannya kurus dengan perut membuncit seperti busung lapar. Tidak hanya itu setiap saat ia harus merintih kesakitan, dengan nafas tersengal seperti tertahan di kerongkongan. Sesak.

Beberapa waktu kemudian perawatan dan terapi yang dilakukan oleh Bram sudah mulai menampakkan hasil. Terbukti perut yang tadinya membuncit berangsur-angsur surut. Rasa sakit dan sesak pun mulai hilang. Walaupun begitu tidak lantas semuanya menjadi selesai. Ia masih harus menjalani operasi pengangkatan tumor di perutnya, itupun jika ia mampu menyediakan delapan kantong darah, belum lagi biaya lain-lain. Adakah yang tergerak hatinya?. (Junaedy Patading)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar